Penulis: Erri Subakti
Kami tumbuh bersama semenjak masa kanak-kanak tanpa pernah membedakan fisik, usia, latar belakang, agama, kebangsaan, atau ekonomi keluarga.
Ada Chris Peter yang biasa dipanggil Petrus, anak dari seorang pilot yang tinggal di kompleks perumahan maskapai penerbangan nasional.
Ada Oji, anak betawi tulen yang tinggal di perkampungan persis di sebelah kompleks perumahan airport.
Ada Lia anak seorang keturunan Tionghoa yang usaha ayahnya adalah membuka warung tenda makanan seafood.
Ada Nyoman yang berasal dari Bali, merupakan tetangga saya, seorang anak dirjen perhubungan. Dan saya sendiri.. anak yang biasa-biasa saja.
Kami semua bersekolah di sebuah sekolah negeri yang sama, kecuali Lia yang bersekolah di sebuah sekolah swasta, yang letaknya bertetangga dengan sekolah kami.
Persahabatan kami terjalin karena mencintai buku. Memiliki hobby yang sama, yaitu membaca buku, membuat kami sangat dekat satu sama lain.
Saat kami masih duduk di bangku sekolah dasar, setiap pulang sekolah, kami langsung menuju ke perpustakaan tempat Lia bersekolah. Meskipun kami tidak bersekolah di sekolah tersebut, kami terdaftar menjadi anggota dari perpustakaan itu. Karena saking hobby-nya kami berpertualang lewat ‘jendela dunia’ itu.
Tahun berganti…, masing-masing dari kami memilih jalannya sendiri-sendiri. Meski setiap hari besar keagamaan kami sempatkan untuk selalu berkumpul kembali.
Ya.. seperti yang sudah-sudah kita lakukan semenjak kecil. Saat Idul Fitri kita merayakan bersama di rumah Oji, saat Galungan kita semua mampir ke rumah Nyoman, saat Imlek sudah barang tentu akan seru-seruan di rumah Lia, dan saat natal tiba kami semua berkumpul di rumah Petrus.
24 Desember 2000…
Sebuah panggilan masuk dari Lia ke HP-ku. Segera kuangkat.. dan bersiap untuk berkumpul di rumah Petrus.. seperti biasa kami lakukan setiap tahunnya.
“…. (tak ada suara…) hanya isak tangis….”
“Halo.. Lia…? ada apa..? kamu kenapa nangis…?”
“Petrus………..”
Petrus yang tergabung dalam sebuah LSM, saat itu sedang menjadi fasilitator untuk peningkatan pendidikan suku Wana di wilayah Sulawesi Tengah.
Suku Wana adalah satu suku terasing yang mendiami belantara di wilayah Sulteng. Mereka membuat rumah dan tinggal di atas pohon. Suku ini pun enggan bertemu dengan orang luar. Mereka telah lama terisolasi dari peradaban modern. Tergerak oleh rasa kemanusiaan, LSM tempat Petrus bergiat waktu itu turut aktif ambil bagian menjadi mediator atas konflik dan kerusuhan antar agama/etnis yang terjadi di Poso…
Meskipun posisi LSM-nya netral, tak pelak…, Petrus yang selalu bersikap positif terhadap siapa pun, tanpa pretensi apapun, justru menjadi korban atas orang yang tak bertanggung jawab.
Ia terbunuh…, entah oleh siapa…, hingga kini kejadian itu menjadi lembar hitam paling buruk bagi kita semua.
Mendengar kabar yang menyesakkan dada itu aku kelimpungan.
Ingin segera terbang ke Poso…. Aku lantas menghubungi pimpinan LSM tempat Petrus bergiat. Kebetulan aku kenal dengan pimpinannya karena pernah satu meja dalam sebuah seminar bertema cross culture affiliation.
Melalui beliau akhirnya aku bisa sedikit tenang dan menunggu jenazah Petrus kembali ke Jakarta.
Tanah merah ini masih basah…, sebagaimana air mataku yang tak jua mengering…, semakin kugenggam tanah kuburan Petrus dimakamkan…, airmata ini semakin tumpah membanjiri….
Kami semua, Lia, Nyoman, Oji, dan aku, larut berpelukan bersama saling memberi penghiburan atas luka bersama ini.
Selamat jalan sahabat…, saudaraku…, 25 Desember 2000 ternyata menjadi Natal terakhir bagimu. 25 Desember di akhir abad 21 ini ternyata kita berkumpul seperti janji kita saat sejak masih kanak-kanak. Namun ada yang berbeda kali ini…, sosokmu lebih dulu menuju ke hadirat Ilahi…, tunggu kami sahabat…. Kami akan berjanji pada diri kami sendiri… bahwa tak akan pernah kami tumpahkan darah hanya karena umat manusia di bumi ini berbeda-beda….
(Erri Subakti)