Nasib Kaum Marhaen di Tengah Pusaran Kapitalis

Penulis: Dahono Prasetyo

Memahami Marhaen dalam prespektif abad millenial ini tentunya berbeda dalam kisah dramatis Bung Karno bertemu kang Marhaen, di era kolonialis. Sistem penjajahan dengan terang benderang mendoktrin rakyat untuk tidak boleh merdeka. Negara jajahan harus tunduk pada sistem yang diciptakan penjajah berbeda berkulit.

Kini setelah 79 tahun Indonesia memproklamirkan kemerdekaan, skema penjajahan masih terwariskan, baik secara sistem maupun monopoli.

-Iklan-

Bung Karno menyatakan: Apa gunanya merdeka tetapi tidak berdaulat jika rakjat satoe orang jang dewasa tjoekoep makan dengan sebenggol sehari?

Sejarah mencatat kolonialis menjadi ibu kandung dari kapitalisme yang ber-ayah kandung sistem perdagangan.

Era perdagangan bebas yang disepakati sejak 1 dasawarsa terakhir, pada gilirannya melahirkan sistem kapitalis baru juga. Bagi yang bermodal (kapital) mendapat privilege mengelola Sumber Daya Alam (SDA) semau yang dia suka dan butuh.

Berapa juta batang pohon ditebang diperjualbelikan, jutaan metrik ton batubara dibeli murah, sumber daya mineral tanpa tersaring jenisnya dihitung pembelian sekilo tanah dan batu. Jutaan barel minyak mentah disedot hanya dihargai sekarung lumpur.

Siapa yang mampu membeli, mengolah lalu menjualnya lagi dengan harga tinggi. Bukan pemerintah, tetapi para kapitalis.

Di sisi lain, market place, online shop, start-up hingga pinjol menjadi bentuk penguasaan sumber daya manusia (SDM). Masyarakat dimanja dengan kemudahan untuk kemudian ketagihan.

Dunia digital memaksa masyarakat analog terpinggirkan, bukan karena tidak mampu beli. Tetapi jeratan sistem mempersyaratkan akses perbankan dan teknologi daripada tawar menawar penjual dan pembeli di pasar tradisional.

Bagaimana juga sebuah sistem penindasan dan penguasaan selalu diawali dari modus kapitalisasi dan kapitalisme. Menjadi pertanyaan yang sama bagi sebagian besar bangsa, khusus negara berkembang dan berkategori miskin.

Bung Karno sempat berpikir: SDA dan SDM itu aset, bukan komoditas yang bisa diperjualbelikan.

Maka saat negara melegalkan kapitalisme, semua rakyat pada akhirnya akan menjadi Marhaen. Tidak harus miskin dulu untuk disebut kaum Marhaen. Cukup dengan keterbatasan akses perekonomian menjadikan mereka tak berdaya.

Sistem perbudakan ekonomi selalu ada sepanjang negara masih melindungi para kapitalis. Dan keuntungan penguasaan SDA pada akhirnya untuk biaya meng-kolonialisasi juga.

Kolonialisasi kaum marhaen selalu muncul tiap siklus 5 tahunan. Sebuah Partai besar dengan jargon memperjuangkan wong cilik menjadi penyumbang terbesar tradisi mengatasnamakan kemiskinan untuk meraih suara. Partai lainpun sama.

Siapapun pemenang Pemilu, tidak lantas menghapuskan kemiskinan. Mereka masih butuh itu untuk pemilu periode berikutnya.

Karena ada kemiskinan-lah tulisan ini tersusun. Sama seperti caleg dan capres yang memanfaatkan kemiskinan sebagai jargon politik.

@Dahono Prasetyo

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here