Muhdor Tanggul, Diam Lebih Baik daripada Bicara Tampak Kebodohan

Penulis: Imaduddin Utsman Al Bantani

Pak Muhdor dengan berapi-api berpidato di hadapan awam. Rupanya ia sangat kesal sekali dengan penulis. Ia instruksikan kepada gerombolannya untuk menolak penulis di beberapa daerah yang ia sebutkan.

Mungkin menurutnya daerah daerah itulah yang menjadi basis fans-nya. Dia tidak tahu, bahwa daerah-daerah yang disebutkannya itulah sebenarnya tempat bercokolnya para pionir-pionir dan tokoh-tokoh yang pertama memunculkan wacana “habaib bukan cucu Nabi’.

-Iklan-

Daerah-daerah yang disebutkannya itulah, para kiai dan tokohnya banyak yang mengunjungi penulis atau mengundang penulis untuk suatu acara. itu membuktikan, bahwa sebenarnya secara sosio-antropologis, keberadaan ba’lawi di suatu daerah memunculkan masalah-masalah kemasyarakatan yang unik. Bahkan ada seorang tokoh Jember yang menghadiahkan penulis tiket haji khusus untuk tahun depan, mungkin sebagai tanda terimakasih atas kajian penulis akan terputusnya nasab habaib di Indonesia.

Provokasi yang Pak Muhdor lakukan dalam pidato itu, bisa dianggap oleh pribumi Indonesia sebagai arogansi warga keturunan pendatang terhadap warga pribumi asli Indonesia. ini yang harus dihindari. Tentang kajian ilmiyah terputusnya nasab habib yang penulis sampaikan, itu bisa dijawab dengan kajian ilmiyah pula. Dan dari semua jawaban, baik berupa kitab berbahasa Arab atau buku yang berbahasa Indonesia, semuanya terbukti tidak bisa membawa dalil-dalil yang menjawab keterputusan nasab Ba’alwi itu.

Dalam pidato itu Pak Muhdor dengan jumawa membawa sebuah kitab yang katanya abad ke-4 Hijriah. Dengan itu ia mengatakan bahwa kitab itu adalah dalil yang kuat untuk menjawab keterputusan nasab Ba’alwi.

Namun sayang, kitab yang dibawa dan dibaca dengan cara baca yang di bawah standar kiai Indonesia itu ternyata adalah kitab “Abnaul Imam”. Rupanya Pak Muhdor ketinggalan kereta. Kitab Abnaul Imam adalah kitab yang sudah lama dibahas oleh penulis. dan terbukti kitab itu kitab palsu. kitab itu dicetak tidak sesuai manuskrip aslinya. Dan hal itu telah diakui oleh muhaqqiqnya yaitu Yusuf Jamalullail.

Oleh karena itu, sungguh sangat disayangkan, orang yang dianggap jama’ahnya sebagai ulama, ternyata tidak mempunyai wawasan yang dalam tentang kitab-kitab kuning terutama kitab tentang nasabnya sendiri. nasab yang selama ini diyakini dan dibanggakan serta digembar-gemborkan di hadapan khalayak umum itu, ternyata tidak berbasis pengetahuan dan data dari para pengasongnya, contohnya Pak Muhdor ini.

Selain kebodohannya tentang kitab Abna’ul Imam ini, Pak Muhdor juga telah menampakan kebodohan beberapa waktu lalu dengan menyebutkan bahwa para Imam Madzhab yang empat: Imam Abu Hanifah, Imam Malik, Imam Syafi’i dan Imam Ahmad bin Hanbal, tidak menolak nasab Ba’lawi. Ini adalah sebuah pernyataan yang jauh dari ilmiyah. Bagaimana mereka menolak nasab Ba’lawi, sedangkan Imam Abu Hanifah contohnya, ia wafat tahun 150 H? Bagaimana orang yang wafat tahun 150 H bisa menerima atau menolak nasab Ubed yang wafat tahun 838 H?

Penulis, sangat menghargai kebijakan Ustad Taufik Segaf tentang instruksinya kepada Ba’lawi agar tidak menjawab tesis penulis dengan sembarangan. karena memang menjawab sebuah tesis ilmiyah memerlukan sebuah penalaran yang paripurna dan ketelitian yang sempurna. Jika setelah mengadakan kajian kemudian hasilnya tidak sesuai dengan yang diharapkan memang “diam” adalah jalan terbaik. walaupun mengakui nasabnya batal itu lebih baik untuk kehidupan dunia dan akhirat.

Jadi, penulis menyayangkan adanya provokasi Pak Muhdor Tanggul agar fansnya mengadakan gerakan menolak para kiai dan ulama yang setuju dengan kajian tesis penulis. Penulis mengharapkan, aparat keamanan menindak tegas oknum radikal semacam Pak Muhdor Tanggul ini, karena hal itu akan mencederai keharmonisan, kerukunan dan kedamaian warga negara, sekaligus mengancam keamanan dan ketertiban negara.

Khusus tentang usaha Pak Muhdor yang berusaha menjawab tesis penulis dengan kitab kuning itu, penulis acungkan jempol. Namun, sebelum jawaban itu disampaikan ke hadapan publik, sebaiknya dimusyawarahkan terlebih dahulu dengan orang alim di kalangan Ba’lawi, sehingga tidak tampak memalukan seperti itu: menjawab dengan berapi-api namun dengan kitab semacam kitab “Abnaul Imam” yang terbukti palsu.

Dalam kesempatan ini pula, penulis sampaikan, khusus untuk Pak Muhdor Tanggul, jika sudah dirasa mampu untuk menjawab tesis penulis, maka penulis tantang Pak Muhdor untuk berani berhadapan langsung dengan penulis untuk mengadu data tentang terputusnya nasab Ba’lawi ini.

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here