Misteri Insyaf

Penulis: Dahono Prasetyo

Lelaki itu aku kenal 2 jam lalu, saat kami tak sengaja bertemu di warung kopi sebelah parkiran mall. Ngobrol saling sok akrab sekedar membuang terik pandangan matahari siang. Pakaiannya seragam biru muda lengkap dengan priwitan khas senjata tukang parkir. Obrolan kami pun beralih pada kisah masa lalu masing-masing.

“Saya bener bener sudah insyaf mas, semua kejahatan sudah pernah saya lakukan. Keluar masuk penjara di separo usia saya,” ucap lelaki dengan lengan penuh tatto itu.

-Iklan-

“Kalo insyaf setiap orang akan melalui titik itu, Kang. Saya sendiri juga belum sepenuhnya merasakan telah insyaf. Tapi setidaknya sudah mulai belajar membedakan mana yang baik dan buruk,” kataku sambil meneguk teh manis yang tinggal setengah.

“Iya mas, butuh alasan yang logis menurut hati dan fikiran kita sendiri,” sambungnya.

“Tapi kalo boleh tahu apa yang membuat Akang benar benar ingin insyaf?” tanyaku kemudian.

Lelaki setengah botak itu sedikit menunduk dari tatapan mata di obrolan kami yang mulai serius.

“Sederhana saja kok mas, tapi buat saya itu begitu menyentuh hati. Saat itu saya tertangkap lagi kasus penipuan mobil, korbannya tetangga saya sendiri. Padahal baru 5 bulan saya keluar dari LP. Karena lokasi TKP di wilayah kampung sendiri, akhirnya saya ditahan di sel Polsek dekat rumah. Istri saya cukup terpukul, tapi dia masih tetap memaafkan saya dengan segenap kesetiaan dan kesabaran yang tersisa. Tiap pagi mengantar anak perempuan saya yang sekolah TK. Mereka berdua selalu menyempatkan mampir ke sel, sekedar menuruti keinginan anak saya Si Nela berpamitan,” cerita lelaki itu sambil merebak air matanya.

Aku persilahkan dia menyelami isi hatinya sendiri.

“Pada Nela, istri saya bilang kalau bapaknya kerja di kantor polisi itu. Tiap pagi saya selalu berpakaian rapi, kemeja dan celana kantoran demi menemui anak saya. Kebetulan ada tetangga saya yang dinas di situ, jadi dapat dispensasi. Setelah anak saya pergi, saya ganti kaos tahanan dan celana pendek lagi.

Tiap pagi Nela selalu berkata: “Ayah, aku pergi sekolah dulu. Nanti kapan-kapan gantian ayah yang anter Nela ya?”

“Dan saya hanya bisa membiarkan dia mencium tanganku yang cuma bisa kuulurkan dari sela sela jeruji besi. Dia pun tak berkurang senyum cerianya, dan saya juga tak berkurang sesak menahan tangis agar tak tumpah di depannya. Itu saya rasakan setiap hari,” lelaki pincang bekas luka tembak di betis itu bertutur tanpa batas padaku.

Aku coba membayangkannya cerita lelaki itu menjadi sebuah adegan dramatis. Yang paling terasa tergambar jelas adalah senyum dan celoteh si bocah Nela yang lugu tak sadar dengan apa yang sedang dijalani ayahnya.

(Bahwa sejahat-jahatnya orang, akan sampai pada titik keinsyafannya. Dia hanya butuh layaknya dimanusiakan)

Baranangsiang 2008

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here