Penulis: Suko Waspodo
Penelitian baru menunjukkan bias moral yang menyukai orang-orang cantik dan benda-benda.
Poin-poin Penting
- Orang sering percaya bahwa mereka menilai nilai moral berdasarkan sifat internal, tetapi karakteristik eksternal juga memainkan peran kunci.
- Kecantikan hewan memprediksi penilaian orang tentang nilai moral dan apakah hewan layak mendapat kasih sayang, menurut penelitian baru.
- Orang-orang memiliki keinginan yang lebih kuat untuk melindungi orang-orang cantik, hewan, dan bangunan daripada rekan-rekan mereka yang lebih jelek.
Bayangkan sebuah ruangan yang penuh sesak dengan berbagai macam makhluk dan benda — babon, kupu-kupu, lukisan, dan sebagainya. Jika sebuah tragedi terjadi dan ruangan itu harus segera dievakuasi, bagaimana Anda memilih apa yang harus diselamatkan di antara kebun binatang dan mahakarya?
Argumen filosofis tentang faktor-faktor yang seharusnya mendukung keputusan moral semacam itu cenderung menekankan relevansi kapasitas psikologis internal. Secara umum, intuisi orang berpadu dengan intuisi para filsuf; ada keyakinan luas bahwa ciri-ciri seperti mampu terlibat dalam pemikiran rasional dan mengalami emosi sangat penting untuk menganggap hak moral untuk entitas tertentu. Namun, ada bukti bahwa kepedulian moral juga didorong oleh lebih dari sekadar penilaian kecerdasan dan kepekaan. Baru-baru ini, para ilmuwan telah menemukan bahwa kecantikan merupakan penentu penting dari seberapa banyak seseorang atau sesuatu memunculkan rasa kewajiban moral.
Sebuah makalah baru di Journal of Environmental Psychology menemukan bahwa keindahan hewan memprediksi sejauh mana hewan-hewan ini dianggap berasal dari hak moral dan dianggap layak mendapat kasih sayang, terlepas dari sifat-sifat lain yang lebih biasanya dikaitkan dengan kedudukan moral (seperti kemampuan menderita, kemampuan berpikir rasional, dan kebajikan). Misalnya, meskipun burung merak dan kalkun dianggap memiliki kemampuan psikologis yang sama dan tidak terlalu rentan atau sangat berbahaya, burung merak dianggap jauh lebih layak mendapat pertimbangan moral karena lebih menarik.
Makalah baru lainnya oleh tim peneliti yang sama, dalam pers di Personality and Social Psychology Bulletin, menemukan bukti bahwa orang menganggap ketampanan untuk meningkatkan kedudukan moral, bahkan di luar ranah kerajaan hewan. Di enam percobaan, para peneliti menemukan bukti yang konsisten bahwa orang memiliki keinginan yang lebih besar untuk melindungi dan melestarikan hewan yang indah, orang yang cantik, pemandangan yang indah, dan bahkan bangunan yang indah dibandingkan dengan rekan-rekan mereka yang lebih jelek. Ini sebagian besar dijelaskan oleh persepsi bahwa entitas dan objek yang indah adalah “lebih murni” daripada entitas dan objek yang kurang indah.
Peneliti lain secara independen menemukan hasil serupa. Misalnya, anak-anak berusia 8 hingga 12 tahun mengevaluasi bahaya lebih parah ketika mereka diarahkan ke hewan yang lebih menarik. Bukti konvergen bahwa bahkan anak-anak menunjukkan kecenderungan untuk secara moral memprioritaskan keindahan daripada makhluk yang menjemukan menggarisbawahi bahwa fenomena “kecantikan itu baik” patut diperhatikan dan mungkin tersebar luas.
Temuan baru-baru ini memberi kita alasan untuk mundur dan lebih hati-hati memeriksa apakah intuisi kita tentang nilai moral dapat dipertahankan secara etis. Tentu saja, merasakan keindahan sangat menyenangkan. Namun, sulit untuk secara memadai mempertahankan maksimalisasi kesenangan kita sendiri sebagai alasan yang meyakinkan untuk menggunakan daya tarik estetika sebagai sarana untuk memutuskan entitas mana yang akan dimasukkan dalam lingkaran perhatian moral kita. Kegembiraan kita sendiri dalam melihat garis-garis agung harimau atau bulu burung kicau tropis yang menakjubkan memberikan dasar yang sangat lemah untuk memprioritaskan spesies ini dalam upaya konservasi, terutama jika ini mengorbankan hewan yang kurang menawan secara visual tetapi lebih cerdas, lebih emosional sensitif, lebih terhubung secara sosial, atau lebih merupakan batu kunci untuk perkembangan ekologis. Sifat problematik dari bias moral ini menjadi fokus yang lebih jelas ketika mempertimbangkan kemungkinan menganggap bobot moral yang lebih besar pada orang-orang yang menarik.
Secara umum, kecantikan mungkin merupakan tanda nilai moral yang menyesatkan. Penemuan ilmiah tentang kapan orang cenderung menggunakan daya tarik estetis sebagai isyarat untuk kedudukan moral dapat membantu kita untuk mengevaluasi kembali intuisi moral kita dan bergerak ke arah penilaian yang lebih berprinsip tentang kedudukan moral.
***
Solo, Selasa, 27 September 2022. 8:28 am
‘salam hangat penuh cinta’
Suko Waspodo
suka idea
antologi puisi suko