Penulis: Adi Ketu
Garuda Indonesia tidak boleh di-grounded, karena Garuda pembawa Bendera Republik, demikian perintah Soeharto kepada Tanri Abeng, Menteri (Negara Pendayagunaan) BUMN pertama.
Garuda Indonesia pernah nyaris bangkrut karena utang yang besar kepada para keditur asing di masa Soeharto.
Utang dalam dolar digunakan untuk menutupi kerugian selama tujuh tahun maskapai penerbangan nasional itu.
Kondisinya menjadi sangat parah ketika krisis ekonomi pada 1998. Nilai tukar rupiah meroket menjadi Rp15.000 per dolar Amerika Serikat.
Presiden Soeharto menugaskan Meneg Pendayagunaan BUMN pertama, Tanri Abeng, untuk menyelamatkan Garuda.
“Ini tentang Garuda yang akan dibangkrutkan oleh krediturnya. Tugas saudara menyelamatkan agar Garuda tidak di-grounded karena Garuda membawa bendera Republik,” kata Soeharto.
Soeharto menyerahkan map berisi berkas Garuda kepada Tanri Abeng.
Setelah mempelajari berkas itu, dia menyimpulkan bahwa tidak satu pun dari direksi Garuda saat itu yang tahu duduk persoalannya.
“Perusahaan adalah sebaik pemimpinnya –prinsip manajemen ini melintas di kepala saya,” kata Tanri Abeng.
“Data-data dari berkas di tangan saya memperlihatkan tidak satu pun dari direksi Garuda Indonesia saat itu yang tahu duduk persoalannya. Maka seluruhnya harus diganti!”
Tanri Abeng kembali ke kantornya yang masih menumpang di Bappenas.
Dia membicarakannya dengan pembantunya, Marzuki Usman dan Barcelius Ruru.
Mereka memiliki pandangan yang sama: seluruh direksi harus diganti.
Namun ada usulan untuk tidak mengganti Dirutnya karena dia mantan ajudan Soeharto yang baru saja ditempatkan di sana.
Konon tidak ada yang bisa menggeser mantan ajudan bila ditugaskan Pak Harto di suatu tempat.
Ternyata, Soeharto menyetujui pergantian semua direksi Garuda.
“Mengapa hanya Dirutnya? Ganti seluruh direksi, di situ sudah lama ada mafia,” kata Soeharto yang menyerahkan sepenuhnya perombakan direksi Garuda kepada Tanri Abeng.
Dalam No Regrets, Tanri Abeng menyebut tiga kriteria dalam memilih dirut Garuda yang baru.
Pertama, agar keuangannya tidak berdarah-darah lagi, maka dia harus tahu keuangan. Kalau bisa dia berasal dari perbankan.
Orangnya harus kredibel agar dapat dipercaya kreditur.
Kedua, dia harus jujur agar dapat memberantas KKN (korupsi, kolusi, dan nepotisme).
Ketiga, kepribadiannya harus kuat karena dia harus melakukan perubahan.
Pilihannya jatuh pada Roby Djohan.
“Kriteria itu hanya ada di Robby Djohan,” kata Tanri Abeng yang telah mengenalnya lama sekali.
Latar Belakang Siapa Robby Djohan?
Bagi kalangan perbankan terutama di era 80 – 90 an tentu tak asing dengan sosok yang satu ini.
Banyak para bankir Indonesia yang nota bene adalah anak muridnya. Bahkan itu termasuk mantan Gubernur BI Agus Martowardojo sebelum digantikan yang sekarang Perry Warijo.
Robby Djohan, atau dikenal dengan nama pendek Rodjo; lahir di Semarang 1 Agustus 1938
Robby merintis karier di Citibank Indonesia pada tahun awal berdirinya di 1968.
Awalnya ia berposisi sebagai staf umum hingga akhirnya mencapai jenjang karier sebagai Group Head pada tahun 1972 hingga 1976.
Ia adalah orang Indonesia pertama di Citibank yang mengikuti Executive Development Program dan menerapkan apa yang ia dapat saat bekerja di Bank Niaga pada akhir dekade 1970 hingga 1990-an.
Di Bank Niaga ia pernah memegang beberrapa jabatan seperti General Manager Bank Niaga cabang Jakarta dari 1976 hingga 1977, kemudian dipromosikan menjadi Managing Director hingga 1983 sebelum menjadi Presiden Direktur Bank Niaga pada tahun 1984.
Saat berada di Bank Niaga, ia berhasil membawa bank yang saat itu kurang dikenal menjadi bank swasta nomor dua terbesar di Indonesia
Robby juga menulis beberapa buku
The Art of Turn Around: Kiat Restrukturisasi (2005) yang berisi biografi dirinya sendiri
Leading in Crisis (2006) yang berisi masa kepemimpinannya di Bank Mandiri,
Lead to Togetherness (2007) yang berisi pemikiran-pemikirannya mengenai pertumbuhan ekonomi sebuah negara akan terus berkembang jika didukung dengan modal sosial yang kuat.
Robby juga menulis esai di Majalah Infobank dalam rubrik Message from Robby Djohan.
Kumpulan esainya ini lalu dibukukan dengan judul Robby Djohan, No Nonsense Leadership yang terbit pada 15 September 2016.
Infobank bekerja sama dengan Bank Niaga juga meluncurkan buku berjudul The Guru yang berisi rangkuman kepemimpinan Robby selama di sana.
Menurut Tanri Abeng, “Robby ketika saya tawari posisi tersebut menyatakan bahwa dia tak butuh kerjaan karena dia sudah kaya dan ingin pensiun.” Namun Tanri Abeng membujuknya.
Robby bersedia dengan dua syarat, “Beri saya kewenangan mengambil orang-orang yang saya mau dan kasih waktu enam jam per hari.”
Tanri Abeng menyetujuinya dengan mengatakan, “Anda butuh enam, dua atau dua puluh jam sehari terserah asal pekerjaan selesai.”
Apa uang Kemudian Dilakukan Robby Djohan Membenahi Maskapai Garuda Indonesia?
Kondisi Garuda saat itu benar benar parah. Utang Garuda saat itu telah mencapai 1,2 miliar dolar, lebih besar dari seluruh asetnya. Selain itu, Garuda memiliki karyawan hampir 13.000. Padahal kebutuhannya hanya sekitar 6.000 orang. Banyak rute yang tidak produktif, sepi penumpang tetapi dibiarkan bertahun-tahun. Citra pelayanannya buruk, sering delay tanpa pemberitahuan. Sehingga Garuda diplesetkan sebagai Garuda Always Reliable Until Delay Announced.
Menurut Roby Djohan dalam bukunya, The Art of Turn Around, manajemen Garuda tidak pernah diurus secara profesional: Pengangkatan CEO tidak berdasarkan keahlian manajerial, keputusan-keputusan strategis tidak diambil oleh direksi tapi oleh siapa saja dari Cendana, BPPT, Menteri Perhubungan, atau Menteri Keuangan. Akibatnya, banyak kontrak aneh. Misalnya, pesawat Airbus 330 disewa dengan harga 1,2 juta dolar padahal hasilnya paling tinggi 800 ribu dolar. Belum lagi perilaku para direksi sebelumnya yang mencampuradukkan keperluan bisnis dengan keperluan pribadi.
Saat itu ia langsung dihadapkan pada situasi yang disebutnya sebagai, “… negative networth gila-gilaan, sebab utang (liabilities) jauh lebih besar dibanding harta (asset), sehingga saldonya negatif. Bottom line sudah merah, begitu juga saldo ditahan (retained earning) juga telah negatif.
“Pada posisi demikian, praktis tinggal dua hal yang akan bisa dilakukan yakni menambah modal atau melikuidasi,” katanya. Namun, sebagai bankir, membaca posisi keuangan sangat buruk semacam itu tetap bukan berarti datangnya kiamat.
“Kalau kita reevaluasi aset sesuai market, maka negative networth akan menjadi kecil. Yang penting, dia bukan bebas cash (noncash-charge), dan negative networth akibat akumulasi kerugian bisa diatasi. Yang perlu dijaga, Garuda tidak boleh rugi, cash flow harus positif. Selain itu, juga harus dijaga posisi serasi antara aset dalam rupiah serta liability dalam dollar AS,” tegasnya.
Kalau hanya berpikir seperti ketika sedang mengelola perusahaan biasa, ia pasti akan melakukan likuidasi. Tetapi, akhirnya ia memilih peluang restrukturisasi mengingat Garuda adalah pembawa bendera Indonesia sehingga terdapat ikatan emosional pada masyarakat luas serta kebanggaan yang sulit dihapuskan.
Pilihan ini tentu saja membawa konsekuensi. Dibutuhkan keberanian terutama untuk menghadapi kreditur.
Sebagai bankir, Robby tahu caranya memperlakukan debitur-debitur saat mengalami kesulitan membayar.
Dengan Emirsyah Satar, direktur keuangannya yang juga seorang bankir, dia berangkat ke London untuk berbicara dengan Bank Exim negara-negara Eropa.
“Benar saja, mereka langsung menggebrak, mengintimidasi dengan suara keras, dan mengancam akan menyita pesawat A330 yang disewa,” demikian kesaksian Rhenald Kasali dalam bukunya Change!
Dengan tenang, Robby menjawab: “Saya datang bukan untuk memecahkan masalah saya tapi masalah Anda.”
Alasan utama mengapa Garuda kolaps adalah karena bank-bank internasional memberikan pinjaman kepada Garuda yang neraca keuangannya defisit.
“Dari pengalaman saya selama 30 tahun di bank, saya tidak dapat memahami itu. Dan jika Anda ingin mengambil kembali pesawat Anda, silakan lakukan karena tidak produktif bagi kami.”
Negosiasi berlangsung alot awalnya, tapi Robby dan Emirsyah Satar tak mau mundur. Dia hanya mau membayar pinjaman dalam tempo 16 tahun dengan bunga satu persen di atas SIBOR (Singapore Interbank Offered Rate). Keras, tapi bisa berakhir dengan baik.
Apa yang dilakukan Pak Robby kemudian?
Salah satunya adalah menguatkan posisi manajer distrik. Para manajer distrik diminta menggenjot penjualan. Selain itu, ia menutup rute-rute domestik dan internasional yang merugi dan meningkatkan ketepatan waktu penerbangan. Namun, langkah Robby tidak berhenti di situ, ia juga mengoptimalkan pesawat-pesawat Garuda untuk terbang kembali.
“Saya ubah image, tutup rute, dan ganti orang,” jelasnya.
Di sisi lain Robby Djohan juga menghadapi demo karyawan Garuda. Kepada mereka yang menamakan diri Tim Reformasi, Pak Robby mengatakan, “Kesulitan utama memang adalah tidak adanya acceptance, karena organisasi seperti ini biasanya sudah dikuasai oleh establishment yang kuat.”
Sulit bagi mereka menerima seorang stranger yang dianggap belum tentu mampu dan jangan-jangan akan membubarkan establishment yang sudah dibangun.
“Tapi saya tidak mau mundur. Saya malah menyatakan bahwa Garuda sebenarnya sudah bangkrut dan saya di sini akan berusaha memperbaikinya.”
Robby meminta Tim Reformasi atau serikat pekerja tidak ikut campur soal manajemen. Soal kesejahteraan bisa diselesaikan bersama.
Tim Reformasi akhirnya tak terdengar lagi. Tapi juru bicaranya belakangan menjadi teman yang baik dalam pembenahan manajemen.
Menurut Tanri Abeng, untuk menerbangkan Garuda agar bertahan melayang di udara, Robby butuh uang Rp 800 miliar untuk rasionalisasi karyawan. Dia berjanji selama satu tahun uang akan kembali.
Ternyata, dalam delapan bulan saja utangnya telah dibayar. Dan prestasi gemilangnya dicatat dalam sejarah bahwa tak sampai setahun Pak Robby memimpin, Garuda Indonesia juga selamat dari kebangkrutan.
Baginya, restrukturisasi berarti membuang yang jelek-jelek dengan melakukan perubahan-perubahan mendasar.
Profesionalitas Robby Djohan teruji handal dalam kepemimpinan, proses manajemen dan operasional, pemasaran, dan sebagainya yang diubah secara bersamaan.
Dan setelah berhasil menyembuhkan luka di sayap Garuda, Pak Robby pun dipercaya untuk membidani lahirnya sekaligus memimpin Bank Mandiri yang merupakan merger dari beberapa bank. Namun nanti lain kali saja ceritanya…. Yang pasti Pak Robby Djohan dengan segudang prestasi dan kiat bisnisnya telah berhasil menyelamatkan Indonesia .
Apa yang didapat Pak Robby saat dan setelah berhasil membenahi Garuda? Tak ada…. Semua demi bangsa dan negara….
Pak Robby mengaku gajinya turun drastis saat menjadi Dirut Garuda.
Gaji Robby sebagai seorang bankir di Bank Niaga mencapai US$ 1,8 juta per bulan sedangkan ia hanya menerima gaji Rp 16 juta per bulan saat menjadi Dirut Garuda. Saat itu kurs dolar berkisar di angka Rp 8.000.
“Gaji saya US$ 1,8 juta saat di Niaga. Waktu di Garuda hanya Rp 16 juta. Saya nggak pernah ambil gaji.”
Bahkan itu juga tidak diambil setelah beliau keluar dari garuda karena diminta Pak Tanri Abeng memimpin Bank Mandiri.
Pak Robby Djohan saat ini telah tiada. Beliau meninggal dunia dalam usia 78 tahun, Jumat 13 Mei 2016 di Rumah Sakit Puri Cinere, Jakarta. Namun, pengalaman dan kiat bisnis beliau bisa menjadi pelajaran berharga bagi anak bangsa ke depan.
Beliau telah mengajarkan kita semua bagaimana strategi manajemen dalam menanggulangi krisis, membesarkan perusahaan dari kelas dua menjadi salah satu terbesar, penetrasi pasar yang tidak bisa didapat setahun dua tahun, dan sebagainya.
Itu hanya bisa di dapat berpuluh puluh tahun dengan ketekunan, kesabaran dan dedikasi penuh.
Demi Bangsa.. Demi Negara.. Untukmu Indonesiaku di bidang masing masing.
Pengalaman ini bisa digunakan untuk memperkaya wawasan para pengambil kebijakan untuk menghadapi tantangan ekonomi saat ini dan ke depan
Dari cerita di atas pula kita bisa ambil pelajaran, bahwa menempatkan seseorang pada struktur manajemen, apalagi perusahaan negara itu tidak bisa asal comot sembarangan. Bukan karena sekedar kedekatan pribadi atau kelompok pengusung.
Membutuhkan screening yang ketat berdasar kemampuan manajemen, track record prestasi lapangan di bidang korporasi yang mumpuni dan dapat dipertanggung jawabkan untuk memimpin perusahaan apalagi perusahaan besar milik Negara.
Janganlah karena kolusi, nepotisme, menempatkan orang yang bukan bidang dan keahliannya yang akan menjadikan Indonesia hancur dan terpuruk kembali.
Indonesia terlalu berharga untuk dihancurkan bahkan ketika harus ditukar nyawa anak bangsa.
Bila sekarang Garuda Indonesia collapse kembali, maka berkacalah di masa lalu. Apakah kesalahan masa lalu yang sudah dibenahi Pak Robby Djohan, diulang lagi? Bisa jadi….
Sekian
Adi Ketu
Sumber : berbagai sumber
Note:
Jabatan yang pernah dipegang Robby Djohan adalah Direktur Utama di Bank Niaga, di Garuda Indonesia dan di Bank Mandiri.
Untuk ketahui strategi bisnis Pak Robby salah satunya lihat wawancara Robby Djohan di Majalah SWA online14 Mei 2016 berjudul Jurus Transformasi Robby Johan juga SWA September 2016 berjudul Cara Robby Djohan Cetak Pemimpin.