Penulis: Nurul Azizah
Nahdlatul Ulama atau NU sudah ada sebelum NKRI ini memproklamasikan kemerdekaan. Organisasi NU atau organisasi kebangkitan ulama secara resmi didirikan pada 16 rajab 1344 hijriyah atau bertepatan dengan tanggal 31 Januari 1926 masehi, dengan Kyai Haji Hasyim Asy’ari dipercaya sebagai rois akbar.
Sejarah berdirinya NU tak lepas dari peran sejumlah ulama yakni KH. Hasyim Asy’ari, KH Wahab Hasbullah, dan KH Bisri Syansuri.
Sebelum NU lahir, pada tahun 1916 lahir organisasi pergerakan untuk melawan penjajah yang diberi nama Nahdlatul wathon atau kebangkitan Tanah Air. Organisasi ini diinisiasi oleh KH. Wahab Hasbullah.
Kaum terpelajar Islam sangat membutuhkan pendidikan yang terwadahi untuk ikut membela negara dari cengkeraman penjajah. Pemuda-pemuda Islam banyak masuk di pesantren, terutama di daerah Jawa Timur.
Pada tahun 1926, para ulama melihat banyak masalah agama, mazhab, sosial dan politik serta kebangsaan yang berkembang dengan sangat cepat di masyarakat. Maka KH Hasyim Asy’ari mendirikan Nahdlatul Ulama yang berarti kebangkitan ulama untuk menjawab tantangan-tantangan yang ada di masyarakat.
Sebelum saya mengulas lebih jauh apa itu resolusi jihad NU, 22 Oktober 1945, izinkan saya untuk mengutarakan unek-unek saya sebagai pengajar di salah satu Madrasah Aliyah, dalam kurikulum pendidikan terutama untuk mata pelajaran sejarah Indonesia yang ada di semua jurusan dan sejarah peminatan di jurusan Ilmu Pengetahuan Sosial (IPS).
Dalam silabus pelajaran sejarah tidak pernah saya jumpai materi tentang resolusi jihad NU 22 oktober 1945, tidak ada satupun KD (kompetensi dasar) yang membahas hal tersebut.
Apakah pemerintah mau menutupi peran dari kyai-kyai NU beserta santrinya dalam membela Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).
Kita bangsa Indonesia tidak bisa menutupi peran dan kontribusi Nahdlatul Ulama terhadap berdiri dan tegaknya NKRI. Sejarah tidak bisa disembunyikan, sejarah akan terus bertutur kepada generasi muda bangsa.
Kalau bangsa ini tidak mau menyampaikan apa yang sebenarnya terjadi, berarti bangsa ini menutup-nutupi kiprah NU dalam merebut kemerdekaan serta mempertahankan kemerdekaan Indonesia. Kalau hal ini terjadi berarti bangsa ini membohongi bangsanya sendiri dan generasi muda penerus cita-cita proklamasi kemerdekaan Indonesia.
Materi resolusi jihad NU, 22 Oktober 1945 tidak tersentuh sama sekali. Apa dan bagaimana kiprah NU dalam merebut dan menegakkan kembali Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Setelah saya amati, bab per bab isi dari materi sejarah yang diajarkan di sekolah-sekolah. Terutama bab “Perjuangan mempertahankan Kemerdekaan Indonesia”, yang ada hanya sub bab: Pertempuran 5 hari di Semarang, diawali tanggal 14 Oktober 1945, pertempuran Surabaya, pertempuran Ambarawa, Medan Area, Bandung lautan api, pemberontakan G 30/S/PKI, agresi militer Belanda I dan II.
Mengapa masalah pertempuran di Surabaya, 10 November 1945 sering diulas sebagai peristiwa yang berdiri sendiri, tanpa ada campur tangan organisasi NU. Resolusi Jihad NU itu pengobar semangat dan pemicu utama meletusnya peristiwa 10 November 1945.
Dalam pelajaran sejarah mengajarkan bahwa pertempuran dasyat 10 November 1945 antara tentara Indonesia dengan sekutu adalah peristiwa yang berdiri sendiri, ujuk-ujuk (tiba-tiba) ada, meletus begitu saja tanpa didahului rangkaian peristiwa sebelumnya.
Sejarah yang demikian ini diajarkan selama berpuluh-puluh tahun dan tidak ada yang berani protes. Namun kesaksian-kesaksian dari peristiwa yang sebenarnya mulai memberanikan diri untuk berbicara. Dokumen-dokumen mulai dibuka dan publish ke masyarakat, dan telah membuka mata publik. Sekarang ini banyak masyarakat yang tahu tentang peristiwa yang sesungguhnya.
Baru sebulan Indonesia merdeka, datanglah pasukan sekutu yang ingin menguasai Indonesia. Sekutu dengan bersenjata lengkap sudah mulai menguasai kota-kota besar di Indonesia. Tidak mungkin rakyat Indonesia melawan, mengadakan perang lagi. Sementara posisi Indonesia sangat lemah di hadapan sekutu. Nilai tawar bangsa Indonesia sangat lemah, infrastruktur pemerintahan termasuk militer juga sangat terbatas.
Diam-diam Bung Karno mengutus orang kepercayaan untuk menemui KH Hasyim Asy’ari pemimpin NU di Tebu Ireng Jombang. Bung Karno meminta bantuan santri-santri di wilayah Jawa Timur untuk ikut jihad melawan sekutu. Bung Karno meminta KH Hasyim Asy’ari membuat fatwa: “Jihad membela negara hukumnya wajib.”
Menjawab pertanyaan itu, KH Hasyim Asy’ari memanggil KH Wahab Hasbullah dari Tambak beras Jombang untuk mengumpulkan Ketua-ketua NU se-Jawa dan Madura, dan juga kyai-kyai NU se-Jawa untuk membahas masalah tersebut, tak kecuali KH. Abbas dari Buntet Cirebon.
Tanggal 21 Oktober 1945, semua delegasi NU sudah kumpul di kantor pusat Ansor Jl. Bubutan Surabaya. Setelah melewati diskusi yang panjang, esok harinya, 22 Oktober 1945 sudah berhasil dirumuskan 3 poin penting, yakni :
- Setiap muslim tua muda dan miskin sekalipun wajib memerangi orang kafir yang merintangi kemerdekaan Indonesia
- Pejuang yang mati dalam membela kemerdekaan Indonesia layak dianggap syuhada
- Warga yang memihak kepada Belanda dianggap memecah belah persatuan dan oleh karena itu harus dihukum mati.
Inilah yang dimaksud resolusi jihad NU 1945. (Sumber : pidato KH Said Agil Siradj, dalam acara Kirab resolusi Jihad, di Kantor PBNU, 10/11/2011).
Selain melakukan diskusi, resolusi jihad juga hasil istikhoroh para kyai-kyai utama NU yang semua memberikan isyarat kuat bahwa jalan kemerdekaan harus ditempuh dengan darah penghabisan.
Resolusi jihad inilah yang memicu perlawanan sengit santri-santri NU bersama rakyat Surabaya melawan sekutu pada pertempuran tanggal 27, 28, 29 Oktober 1945.
Pada tanggal 30 Oktober 1945 pimpinan militer Inggris Jenderal Mallaby tewas. Hal ini membuat marah tentara Inggris, mereka dengan marah dan sesumbar ingin membumi-hanguskan kota Surabaya pada tanggal 10 November 1945.
Ancaman ini dijawab dengan lugas oleh pemuda dan rakyat Surabaya, para kyai, komandan laskar hizbullah, sabilillah dan mujahidin dengan mengobarkan semangat perlawanan. Pada pertempuran kali ini Inggris kehilangan Jendralnya yang kedua yaitu Jendral Robert Mansergh.
Seorang pemuda Surabaya bernama Sutomo (Bung Tomo) yang memiliki anak buah cukup banyak dan loyal dilaporkan menghadap ke Kiai Hasyim Asy’ari. Bung Tomo memang memiliki kedekatan dengan Kyai Hasyim, karena rumah orang tua Bung Tomo bersebelahan dengan rumah Kyai Hasyim di Surabaya.
Sejumlah sumber menyebutkan Bung Tomo meminta izin kepada Kyai Hasyim untuk menyiarkan resolusi jihad NU melalui radio, guna memompa semangat perlawanan rakyat menghadapi kemungkinan terburuk yang akan terjadi pada tanggal 10 November 1945.
Semoga tulisan ini bisa memberi pencerahan para generasi muda, khususnya generasi muda NU untuk terus belajar sejarah perjuangan bangsa Indonesia. Tidak hanya yang dari buku-buku pelajaran di sekolah, tapi belajar juga dari tulisan-tulisan inspirasi di berbagai media untuk menambah wawasan kebangsaan dan cinta tanah air Indonesia.
[…] Mengapa Resolusi Jihad NU 22 Oktober 1945 Tidak Diungkap Dalam Mapel Sejarah di Sekolah? […]