Penulis: Erika Ebener
Mungkin ada banyak kasus korupsi yang menggemparkan Indonesia, tapi yang tercatat sangat baik dalam kepala saya adalah kasus korupsi yang dilakukan oleh Anggota DPR Komisi IV, Al Amin Nasution pada medio 2012. Mengapa berita tentang Al Amin Nasution ini begitu tertoreh dalam ingatan saya? Karena reaksi saya yang sangat spontan saat mendengar berita korupsinya dia, “Gila nih orang… nama Al Amin, tapi korupsi! Ga kasian sama orangtua yang kasih nama!”
Dan setelah itu, cukup lama pikiran saya terganggu dengan berita seorang koruptor bernama Al Amin. Saya tidak habis pikir, apakah orang ini tidak ingat nama dia, yang berarti “yang dapat dipercaya” sebelum memutuskan untuk mengambil apa yang diamanatkan padanya? Apakah orang ini tidak ingat bahwa nama dia itu juga amanat dan cita-cita dari orangtuanya untuk memiliki anak yang dilahirkan dan dibesarkannya? Atau jangan-jangan orangtuanya juga menikmati hasil korupsiannya? Waduh jadi berghibah gue….
Al Amin, sedianya adalah julukan yang diberikan oleh kaum Quraisy pada Rosulullah SAW karena Rosulullah SAW dipandang sebagai sosok yang dapat dipercaya dan berperilaku benar, As Saadiq. Memang tidak salah memberi nama anak apapun orangtua hendaki, karena setiap manusia memang wajib memiliki nama.
Bagaimana pula dengan anak yang memiliki nama para tokoh terkenal? Misalnya memberi nama anak dengan nama Jokowi, bukan Joko Widodo, tapi Jokowi, apakah ini baik dan benar? Sejujurnya itu tergantung pada niatan awal dari si pemberi nama. Jika si pemberi nama mengharapkan anak akan tumbuh dan besar dengan nasib seperti Jokowi, sang presiden, buat saya pribadi itu sah boleh tapi kurang benar. Karena kalau kemudian si anak tumbuh sebaliknya, menjadi penjahat misalnya, yang ada malah jadi mencemarkan nama Jokowi, sang presiden, itu sendiri. Apalagi kalau diberi nama Muhammad, tanpa diembel-embeli nama lain, terus si anak tumbuh jadi penjahat, waduuuh… itu sangat berat sekali kan? Apakah kita harus menghukum si anak tidak hanya atas tindakan jahatnya tapi juga menghukumnya karena telah mencemarkan nama Muhammad yang disandangnya? Kan tidak bisa, tapi orang akan mengingat penjahat itu bernama Muhammad. Seperi saya mengingat nama Al Amin sang koruptor.
Dalam hal ini, kita menjadi bisa melihat bahwa memberi nama pada anak, juga menjadi misi dan cita-cita orangtua untuk memiliki anak yang berkarakter seperti nama yang disematkannya. Misalnya, orangtua yang memberi nama pada anaknya “Al Amin Nasution”, sedianya sejak anak kecil, orangtua mendidik Al Amin kecil tentang dasar-dasar menjadi orang yang bisa dipercaya. Dan Ketika si anak tumbuh menjadi orang yang tidak bisa dipercaya, maka kita bisa mengatakan bahwa didikan orangtualah yang gagal, bukan anak yang gagal menyandang namanya.
Ada pula anak yang diberi nama dengan nama-nama yang mencirikan budayanya. Seperti karyawan saya yang memberi nama anaknya “Asep”. Saya sempat bertanya, “Anak jaman sekarang kok dikasih nama asep? Itu nama baheula pak…”. Lalu karyawan saya itu menjawab, “biar dia tidak lupa walaupun lahir, besar dan beranak pinak di Jawa, tapi dia tetap orang Sunda…”. Wah, jawaban yang cerdas! Saya terkesan dengan jawabannya…. kata “Asep” itu sendiri, di dalam Basa Sunda adalah kependekan dari “kasep” yang artinya ‘ganteng’. Sedangkan untuk anak perempuan itu ‘Eulis’, kependekan dari kata geulis atau cantik. Hati-hati! Jangan sampai memberi nama anak laki-laki dengan nama “Eulis” yah….
Ada loh orang yang menyandang nama “Tuhan” dan “Yesus”! Ya sudah, kita panggil saya dia dengan sebutan ‘bapak’, ‘abang’, ‘mas’, ‘mister’, atau sebutan apalah, selama kita tidak memanggil nama dia, ha ha ha… Duh algoritme saya ga bisa mencerna makna dari nama-nama yang sangat gigantik seperti itu…
Lalu bagaimana memberi nama anak yang baik dan benar itu?
Menurut saya, berilah nama pada anak yang memiliki sifat netral, tidak membawa misi orang lain atas dirinya. Berilah nama pada anak yang mampu menjaga citra mandiri pribadinya. Berilah nama pada anak yang tidak dikonotasikan pada apapun, kecuali akar budayanya. Berilah nama pada anak yang tidak mempermalukan dirinya, tidak membebani dirinya, dan tidak merenggut hak masa depannya, serta berilah nama pada anak yang menjamin kemerdekaannya sebagai manusia yang mandiri.
Eh, ngomong-ngomong anda sendiri kasih nama anak semata-wayangnya siapa? Nama anak saya terdiri dari 4 kata. Yang pertama “Adelia”. Saya mengartikan adelia sebagai bunga kecilku yang indah. Nama kedua adalah nama nenek dari ayahnya, nama ketiga adalah “Kirana” sebuah kiasan yang memiliki arti bersinar, cantik dan indah. Dan nama keempat adalah nama keluarga dari ayah. Dan yang berat bagi anak saya adalah membawa nama keluarga ayahnya yang cukup dikenal sebagai keluarga yang persegi, taat, patuh, dan tegas. Itu sebabnya, dari sejak kecil kami menanamkan dasar-dasar kehidupan padanya untuk menjadi seorang yang persegi, taat, patuh dan tegas. Dan Alhamdulillah, anak saya tumbuh dengan karakter seperti Namanya.
Nama saya sendiri “Erika”. Erika dalam bahasa karakteristik artinya “tidak dibuat-buat dan kreatif, lembut, baik, pekerja keras, idealis, humanis. memiliki keinginan kuat untuk sukses. mandiri, kritis terhadap diri dan orang lain”. Hhhmmm…. Ini hasil googling padahal, kok yah ga jauh-jauh amat… ha ha ha. Nama kedua saya, sama sekali tak memiliki arti, bukan nama keluarga ayah saya, hanya sebagai pelengkap yang sama sekali tidak membebani apapun pada saya sendiri. Lalu ‘Ebener’ nama apa? Hhhmmm…. Mau tahu apa mau tahu sekali? Well, Erika Ebener hanya sebuah nama pena.