Penulis: Roger “Joy” Paulus Silalahi
Salah satu mata kuliah yang paling berkesan semasa di FISIP UI adalah Metode Penelitian Masyarakat (MPM). Saya mengalaminya pada tahun 1992 semester genap. Mata kuliah ini mengajarkan cara melakukan penelitian sosial, memilih metode yang cocok, melakukan pengumpulan data, melakukan perhitungan atas data yang didapat, menganalisa, dll. Yang membuat mata kuliah ini berbeda dari yang lainnya adalah karena di ujungnya kita diminta melakukan penelitian sosial yang sesungguhnya.
Semua peserta mata kuliah ini dibagi dalam beberapa kelompok, waktu itu mayoritas adalah Angkatan 1990, dan setiap kelompok diminta membuat penelitian terkait masyarakat desa. Kelompok kami dapat pembimbing Mas Arif dan Mbak Wiesye. Dibuatlah proposal penelitian mengenai tingkat perekonomian desa, dengan harapan dapat menjadi referensi terkait pengentasan kemiskinan di desa dimana kami diterjunkan. Proposal approved, desa tujuan dipilih oleh fakultas, wilayahnya ada di kisaran Banyumas.
Tanggal 23 Juli 1992 adalah jadwal keberangkatan, naik kereta api (tut… tut… tut…), semua senang, turun di Puerto Rico (baca: Purwokerto). Dari sana kami berangkat per kelompok dengan menggunakan angkutan umum.
Tibalah kelompok kami di Desa Sokaraja Kulon, Banyumas. Di sana kami disambut Kepala Desa, diberikan rumah tumpangan, beberapa rumah, tapi rumah tempat saya tinggal adalah yang paling besar dan dijadikan markas kelompok. Semua meletakkan barangnya masing-masing, kemudian meng-assess rumah itu. Ada kamar mandi tapi tidak ada pintunya, air harus menimba sendiri, dinding setengah tembok setengah bilik, lantai tanah, kamar tidur ada 3, kamar tamu 1. Pembersihan rumah dimulai. “Ayo disapu dulu…”, semua terdiam, rupanya teman-teman tidak paham caranya menyapu rumah berlantai tanah, maklum orang kota.
Saya tertawa, saya ke belakang ambil ember, isi air, ambil sapu merang, lalu ke depan. Saya terangkan caranya, lalu yang lain mulai menyapu, sementara yang laki-laki mulai menimba air sampai bak penampungan penuh menyapu halaman, bakar daun kering, dll.
Beres-beres rumah selesai, hari sudah mulai gelap, semua mandi bergantian, satu mandi yang lain menunggu, yang mandi sudah terlihat di ruang tamu, barulah orang berikutnya menuju kamar mandi, ingat, kamar mandi tidak ada pintunya.
Tidak perlu lama, sudah ada keluhan, airnya berminyak, agak bau, lantainya licin. Jawaban pasti adalah; “Nikmatin…!!!”.
Selesai semua mandi dan rapih, kami berangkat ke Balai Desa, di sana diadakan acara penyambutan, sambutan dari Pak Kades, pemberitahuan terkait beberapa hal penting, lalu makan malam. Di sinilah saya pertama kali mengenal “Mendoan”, yang malam itu saya habiskan 25 potong, entah karena kecil potongannya atau karena perut saya yang tidak ada dasarnya. Kenyang, pulang, tidur, besok penelitian hari pertama dimulai.
Penelitian berjalan selama 2 minggu, pagi hingga sore. Hari pertama berbeda dari hari ke-8, karena responden sudah tinggal sedikit yang harus didatangi. Dari keseluruhan jawaban yang diberikan untuk setiap pertanyaan, ada satu jawaban yang menurut saya mengesalkan sekaligus mengagumkan, yaitu; “Ndak mesti…”.
Semua hal dijawab atau diawali dengan “Ndak mesti…”. Kesal karena harus extra sabar mengulang pertanyaan agar bisa mendapatkan jawaban, tapi kagum karena hal itu bagi saya menunjukkan kejujuran dalam menjawab pertanyaan, tidak asal jawab, dan ingin memberikan jawaban yang benar, benar-benar apa adanya. Semua menerima dengan baik kedatangan kami, dan sangat membantu dalam pengumpulan data untuk penelitian kami.
Sejak hari ke 5 dan seterusnya, usai penelitian, kami berkumpul di halaman depan rumah, dan anak-anak kecil serta ibu ibu akan datang berkumpul di depan rumah. Setiap sore saya menjadi pendongeng, mulai dari dongeng Kancil dan Buaya sampai dongeng Malin Kundang, sampai dongeng buatan sendiri. Di tengah cerita, diisi selingan belajar bernyanyi dengan diiringi gitar. Sejak itu saya dapat julukan “Mas Joe Paman Metal”, karena saat itu yang top adalah band metal, jadi lagu anak-anak pun diiringi gitar dengan gaya dan genjrengan rock ‘n roll yang oleh anak-anak kecil dikategorikan sebagai “Metal”.
Menyenangkan sekali penelitian ini, banyak kejadian lucu yang bisa diceritakan, tapi poin tulisan ini ada di sebuah cerita tentang kebaikan, ketulusan, perhatian, yang luar biasa dari seorang ibu tua yang saya kenang dengan nama “Ibu Huwek Huwek”.
Saat itu saya kebagian jalan berdua dengan Maya alias Natasha Damayanti anak Kessos ’90 yang baik hati, pintar dan perhatian sama orang lain. Kita berdua jalan ke tempat responden 1 lalu ke responden lain, dan sampai di sebuah rumah kecil yang dihuni sepasang suami istri, saya lupa namanya. Ibu sendirian di rumah yang ukurannya kira-kira 3 x 2,5 meter, terbagi 3 ruangan yakni Ruang Tamu merangkap Ruang Tidur Bapak (2,5 x 2), Dapur (0,5 x 2), dan Ruang Tidur Ibu (2 x 1), dinding rumah bilik, pintu bilik, lantai tanah, tempat tidur dipan bambu beralas tikar merangkap kursi tamu. Meja tidak ada, kursi ada 1, untuk Ibu menemani Bapak berbincang setelah pulang kerja. Bapak seorang “Buruh Tani”, penghasilannya setiap hari “Ndak mesti…”, kalau lagi hari baik bisa dapat besar, kira-kira Rp. 1.000 sehari, tapi kalau tidak ya kurang dari itu.
Maya dan saya sejujurnya agak shock mendengarnya, keterangan itu kami dapat saat kunjungan kedua, karena saat kunjungan pertama Bapak tidak pulang sampai waktu menjelang malam.
Kali kedua kami ke sana, Ibu menyampaikan agar kami menunggu Bapak pulang, maka kami manfaatkan waktu untuk bertanya tentang berbagai hal. Dari pembicaraan inilah kami tahu bahwa Ibu tidak bekerja, tapi setiap hari pergi pagi-pagi untuk mengambil daun pisang, lalu membuat piring dari daun pisang (Pincuk) lalu mengantarkannya ke Balai Desa untuk makan kalau ada tamu ke sana. “Cuma itu yang Ibu bisa bikin, tapi paling tidak ada yang Ibu kerjakan untuk Desa…”, begitulah kira-kira penyampaian Ibu, dia ingin berguna, berkontribusi untuk Desa walau tidak bisa menyumbang dalam bentuk iuran ke Desa.
Ibu yang di desa ini terbilang miskin, masuk kategori super miskin kalau dibandingkan dengan orang kota, tetap ingin berbuat, berkarya, menyumbang, berkontribusi. Sungguh, Ibu ini luar biasa kaya hatinya.
Karena Bapak belum pulang tapi waktu sudah menunjukkan saatnya makan siang, ibu menyediakan makan siang untuk saya dan Maya. Nasi kering entah dari beras kelas berapa, dengan lauk tempe tipis dan semacam urap yang lebih seperti sayur daun singkong. Kami tidak sanggup menolak tawaran Ibu, takut tersinggung, takut menyakiti hatinya. “Mari makan…”, dan kami pun makan bertiga.
Saya dan Maya bolak balik saling menatap (tanpa cinta). Saat Ibu pamit sholat Dzuhur (di kamar Ibu), Maya memaksa saya menerima sebagian makanan dari piringnya, saya berusaha menolak tapi Maya maksa terus, sampai Ibu hampir selesai sholat, saya pasrah menerima lungsuran dari Maya.
Makanan yang disajikan Ibu rasanya luar biasa tidak enak, pahit yang super, nasi kering yang nyangkut di tenggorokan, beberapa kali saya dan Maya hampir muntah, (huwek… huwek…), namun kami berhasil menahannya. Dengan perjuangan yang luar biasa, makanan Maya habis, makanan saya habis, kami menyerahkan piring daun pisang seraya mengucapkan terima kasih, dan minum air payau di gelas sekaligus, habis.
Setelah makan, Bapak datang, dan kami wawancara Bapak dan mengetahui seberapa rendah perekonomian Bapak dan Ibu, seberapa beruntungnya kami selama ini hidup dengan kualitas yang sangat jauh di atas mereka.
Kami pamit pulang, Maya mengeluarkan uang Rp. 50.000 dari dompetnya, melipatnya rapih, dan menempelkannya pada tangan Ibu sambil pamit.
Muka Ibu yang kaget tapi gembira itu tidak bisa saya lupakan, badan kurus kering dibalut kebaya lusuh itu menopang kepala dengan rambut digelung dan muka yang tersenyum serta mata yang menangis; “Terima kasih… Terima kasih…” sambil sedikit membungkuk, dan Maya menegakkan tubuh Ibu sambil berkata; “Ibu tetap sehat ya…”, Maya ikut nangis.
Kami pulang, panjang cerita, penelitian selesai, besok kami kembali ke Jakarta. Ada banyak kejadian lain yang layak diceritakan, tapi cukuplah itu dulu. Maya dan saya menyebut Ibu itu sebagai “Ibu Huwek Huwek”, mengingat bagaimana kami berusaha makan sesuatu yang sama sekai tidak kami sukai, tapi diberikan dengan tulus oleh seorang Ibu yang tidak punya apa-apa.
Hari terakhir, seperti biasa, anak-anak dan ibu-ibu kumpul, dengar cerita dan belajar lagu baru sampai menjelang Maghrib , lalu pulang. Sebelum bubar, kami sampaikan ke anak-anak bahwa kami besok pulang ke Jakarta, berterima kasih untuk segala kebaikan dan penerimaan mereka, berpesan supaya anak-anak belajar dan jadi orang pintar.
Besok, jam 6 pagi sudah harus siap berangkat ke Purwokerto, karenanya kami tidur cepat setelah selesai packing semua barang-barang kami.
Jam 04:00, di depan rumah sudah berkumpul anak-anak, ibu-ibu, bapak-bapak. Kami bangun dengan kaget, begitu banyak orang di depan rumah, dan semakin pagi semakin banyak. Kami bergegas mandi, lalu keluar rumah lengkap dengan semua barang kami, lalu satu persatu kami salami, dan pamiti. Ada satu sosok yang “nyeruntul” masuk ke dalam halaman rumah membawa kerupuk dan beberapa jajanan kering dalam plastik, kedua tangannya penuh tentengan, dia menghampiri Maya, diberikannya tentengan itu ke Maya, buat bekal, itu pesannya. Ya, betul, itu Ibu Huwek Huwek.
Mampu memberi karena berlebih adalah hal baik, tapi mampu memberi dalam kekurangan, itu luar biasa. Tidak diam dan mengeluh akan kemiskinan, tapi tetap berbuat dan beritikad untuk berbagi, berkontribusi, dan berguna untuk Desa (baca: Negara). Saya tidak yakin banyak yang mampu melakukannya. Tanpa bisa membaca dan tidak hafal Pancasila atau UUD 1945, budaya sudah mengajarkan dan menanamkan berbagai hal yang luar biasa pada Ibu Huwek Huwek, pada bangsa Indonesia.
Ibu Huwek Huwek, orang Indonesia… Kamu…?
-Roger Paulus Silalahi-
PS: Terima kasih Reny Yuniar untuk fotonya.
Artikel ini merupakan seri tulisan “Seberapa Indonesia Kamu?”
Baca tulisan lainnya: