Masih Tentang Anti Korupsi

Foto ilustrasi: Suasana konferensi pers pengumuman penetapan tersangka kasus dugaan korupsi yang melibatkan Menteri KKP Edhy Prabowo di Gedung KPK, Jakarta, Rabu (25/11/2020) malam (CNBC Indonesia/Tri Susilo)

Penulis: Ganda Situmorang

“Berikan saya 100 peti mati, 99 akan saya kirim untuk para koruptor. Satu buat saya sendiri”. Zhu Rongji

Pernyataan di atas diucapkan Zhu Rongji dengan lantang pada hari pelantikannya sebagai Perdana Menteri Republik Rakyat Tiongkok (China) tahun 1998.

Sesuai perbuatan dengan ucapan, Zhu di awal tugasnya mengirim peti mati kepada koleganya. Hu Chang-ging, Wakil Gubernur Provinsi Jiangxi. Ia ditembak mati setelah terbukti menerima suap berupa mobil dan permata senilai Rp 5 miliar.

-Iklan-

Mengapa Perang Melawan Korupsi?

Penulis sudah lebih hitungan jari tangan membahas anti korupsi sebagai tantangan utama jika kita ingin naik kelas menjadi negara maju. Mengapa pun sudah berulangkali tetapi tetap tak jemu mengangkat topik yang sama? Selama koruptor belum dihukum maksimal hukuman mati; Selama koruptor masih bisa menikmati fasilitas sel mewah di Lembaga Pemasyarakatan milik negara; Selama koruptor masih bisa dadah-dadahan depan kamera wartawan tanpa rasa malu; Selama bekas napi koruptor masih diterima sebagai anggota, bahkan sebagai pengurus dan calon legislatif oleh Partai Politik; Selama koruptor masih dihukum penjara hanya belasan tahun; Selama koruptor masih mendapatkan diskon masa tahanan; Selama harta koruptor tidak dirampas semuanya oleh negara, Maka selama itu pula genderang perang terhadap korupsi harus terus ditabuh.

Genderang perang saya ya lewat tulisan ini. Sampai di sini paham ya…

Sikap Permisif Masyarakat Terhadap Koruptor

Di satu grup WA yang mana anggotanya terdiri dari orang terpelajar dan terdidik, ada banyak yang berlatar belakang akademisi dengan gelar guru besar profesor, ada juga praktisi berbagai bidang keilmuan. Pokok bahasan di grup ini beraneka ragam, dari asam di gunung hingga garam di laut. Suatu hari saya terkesima ketika membaca komentar salah satu anggota ketika membahas terkait korupsi. Kawan ini seorang praktisi hukum.

‘Korupsi itu gak apa-apa asalkan tidak pelit berbagi kepada sesama dan lingkungannya. Semacam Robin Hood yang merampok orang kaya dan berbagi kepada orang-orang miskin’. Begitu kira-kira pernyataannya.

Jelas sekali bahwa kawan ini tidak paham dampak dari perilaku korupsi yang sangat merusak bangsa dan merugikan masyarakat umum secara sistemik. Bahkan dengan menyamakan koruptor dengan seorang tokoh legenda Robin Hood. Menganggap Robih Hood sebagai pahlawan adalah kekeliruan yang maha keliru.

Meskipun kemungkinan tokoh Robin Hood benaran ada, sebenarnya adalah penjahat yang tinggal di hutan, perampok, pelanggar hukum. Karena sering membantu rakyat kecil dari hasil kejahatannya maka mereka menganggap dia pahlawan.

Dampak Korupsi Merusak Satu Generasi

Perilaku korupsi membawa dampak yang sangat merusak sendi-sendi kehidupan masyarakat hari ini dan masa depan lintas generasi.

Ketidakpahaman masyarakat terhadap korupsi dan dampaknya membuat perilaku yang permisif dan melihat peristiwa korupsi yang masih di tengah masyarakat sebagai sebuah kewajaran; Maka pungutan liar dianggap wajar, Memberikan uang terima kasih kepada aparat pelayanan publik; Atap halte busway yang bocor pada hari peresmian, Pagar pembatas tribun stadion rubuh pada hari peresmian, Bangun sumur resapan di ibukota seperti septic tank, Ngecat trotoar zebra dengan warna pelangi, Bongkar pasang trotoar anggaran miliaran habis percuma, Jembatan gantung di pelosok desa rusak hingga membahayakan anak-anak sekolah; Atap sekolah SD ambruk hingga memakan korban jiwa; Jalan desa seperti alur sungai mengering musim kemarau, berlumpur di musim hujan; Perizinan dan pelayanan publik yang buruk dan bertele-tele karena modus pungli dan korupsi; Penegakan hukum tumpul ke atas, tajam ke bawah. Itu semua adalah dampak langsung dari perilaku korupsi.

Anda bisa bayangkan bagaimana satu generasi tumbuh berkembang dari kondisi demikian dan akan mewariskan estafet bangsa di tengah disrupsi global?

KPK, Ujung Tombak yang di Ujung Tanduk

Komisi Pemberantasan Korupsi Republik Indonesia (KPK) adalah lembaga negara yang dibentuk dengan tujuan meningkatkan daya guna dan hasil guna terhadap upaya pemberantasan tindak pidana korupsi. KPK bersifat independen dan bebas dari pengaruh kekuasaan mana pun dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya.

KPK yang ada saat ini memang kelihatannya sangat susah menangkap koruptor kecuali OTT. Ya betul!! OTT adalah cara paling gampang menangkap koruptor. Angka OTT seandainya bisa dipakai sebagai indikator kinerja KPK. Semakin banyak OTT sementara kasus korupsi yang dibangun dari tahap penyelidikan hingga penuntutan sedikit maka sesungguhnya kinerjanya jelek. Kinerja bagus adalah ketika temuan-temuan indikatif, berbau amis dan menjadi perhatian masyarakat luas bisa dibangun kasusnya secara organik mulai dari penyelidikan, penyidikan dan penuntutan.

Sayangnya, akhir-akhir ini KPK malah ikut asyik ria dalam ruang diskursus publik dengan mengeluarkan pernyataan-pernyataan bersifat opini. Seharusnya KPK cukup mengeluarkan pernyataan resmi untuk kasus yang minimal sudah penyidikan. Penegakan hukum terhadap perisitiwa korupsi adalah dengan tindakan bukan beropini.

KPK adalah lembaga eksekutif, tugas dan wewenangnya sesuai UU dalam penindakan pelaku korupsi sangat besar dan lengkap yaitu mulai dari menyelidiki, menyidik dan menuntut pelaku perisitwa korupsi, di situ tidak ada sama sekali untuk beropini.

Seluruh peristiwa transaksi dana publik yang terjadi atas bumi indonesia memang layak diselidiki. Azasnya praduga tak bersalah. Adalah tugas dan fungsi KPK untuk menetapkan kriteria yang mana yang layak dan pantas untuk diselidiki.

Misalnya salah satu kriterianya laporan kelebihan bayar dari BPK, adanya kesalahan ketik angka nol yang sangat beraroma amis, Pengadaan barang di luar akal sehat seperti anggaran lem Aibon sampai miliaran, dan lain sebagainya. Tidak perlu juga misalnya KPK berkomentar gratifikasi dan lantas melakukan penyelidikan atas cinderamata presiden FIFA kepada presiden Jokowi yaitu kaos, bola dan plakat yang diberikan kemarin di istana. Iya kan ya?

Perbuatan pemborosan anggaran, kelebihan bayar, dan modus serupa mirip lainnya hingga hari ini belum tersentuh oleh KPK. Kemungkinannya ada dua; sepertinya memang sangat susah dijerat dengan pasal korupsi yang ada saat ini; atau kualitas dan integritas SDM KPK sangat buruk.

Tidak menutup juga ada potensi peristiwa moral hazard berupa trade off terhadap perangkat kewenangan KPK yang :maha besar’ tersebut di atas. Terbukti mantan Ketua KPK Lili Pintauli melanggar kode etik, yaitu berhubungan langsung dengan pihak yang sedang dalam proses perkara korupsi yang ditangani KPK. Maka tidak tertutup kemungkinan surat-surat perintah (sprin) penyelidikan dijadikan alat untuk trade off. Siapakah yang punya wewenang di negara ini yang bisa melakukan audit, supervisi dan koordinasi terhadap seluruh surat perintah peyelidikan yang pernah dikeluarkan oleh KPK? Apakah sudah ada sistem prosedur pengawasan sehingga instrumen Sprin Lidik tersebut tidak disalahgunakan untuk trade off? Jika dilanjutkan ke tata kelola kemudian pertanyaannya adalah; Bagaimana SOP penyelidikan, penyidikan hingga penuntutan di KPK?; Apakah ada sistem rotasi periodik terhadap penyelidik, penyidik dan penuntut di KPK? Jika Komisioner KPK diawasi oleh Dewas, bagaimana sistem pengawasan internal KPK terhadap penyelidik, penyidik dan penuntut?

Penguatan Pemberantasan Korupsi

Indeks Persepsi Korupsi (IPK) Indonesia 10 tahun terakhir cenderung stagnan di angka 36-38. Bandingkan dengan IPK Singapura di angka 85! Jika memakai kriteria IPK maka kinerja KPK sebagai lokomotif pemberantasan korupsi sangat buruk. Perlu dicari terobosan lain di luar institusi KPK untuk penguatan pemberantasan korupsi.

Basuki Tjahaya Purnama (BTP) sejak tahun 2010 sudah mengkampanyekan Pembuktian Terbalik terhadap harta kekayaan sebagai solusi terbaik untuk masalah money politic dalam Pilkada. Penulis melihat ide pak BTP bisa juga diterapkan untuk skop yang lebih luas yaitu penguatan pemberantasan korupsi.

RUU Perampasan Aset perlu segera disahkan sebagai instrumen bagi bangsa dan negara Indonesia untuk pemberantasan korupsi. RUU Perampasan Aset dapat digunakan untuk memiskinkan koruptor.

Penulis memandang pengesahan RUU Perampasan Aset bisa menjadi legacy Pemerintahan Presiden RI Joko Widodo dan DPR RI Periode 2019—2024 sebagai kenang-kenangan oleh bangsa Indonesia.

Ganda Situmorang
20 Oktober 2022

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here