Masa Pandemi, Ustadz-ustadz Bertarif Tinggi, Jeblok Jobnya, Seret Fulusnya

Penulis: Erri Subakti

Bukan rahasia lagi ada sebutan atau istilah “ustadz seleb”, yang populer dari tayangan televisi, ngetop secara instan, lalu dapat job ke mana-mana ke seluruh Indonesia bahkan hingga ke manca negara, dengan memasang tarif jutaan sekali tampil.

Ustadz bukan lagi sebagai “guru”, bukan lagi sebagai pemberi ilmu yang ikhlas berdakwah. Ustadz menjadi profesi, menjadi pekerjaan. Hidup bermatapencarian sebagai ustadz yang punya rate card. Bertarif mahal, mengikuti hukum ekonomi, supply & demand. Semakin banyak permintaan tampil di sebuah acara bernuansa agama, maka semakin tinggi pula tarifnya.

-Iklan-

Tak peduli audiensnya rakyat kecil, kaum buruh, dan orang melarat, ada harga, ada “dakwah.” Begitu terjadi.

Masa pandemi mengubah semuanya.

Kegiatan majelis-majelis yang besar dibatasi, bahkan dilarang. Para ‘ustadz seleb’ kelabakan. Panggilan job-nya berkurang bahkan tak kunjung datang berbulan-bulan.

Tabungan habis terkuras, hasil “ngejob” sebagai ustadz bertahun-tahun, tandas tak bersisa. Bulan demi bulan pandemi tak kunjung usai. Mobil pun terjual. Hanya untuk makan.

Jangan sampai ada keluarga yang sakit, makin kalang kabut. Mana gak punya BPJS lagi… Gengsi sih pake program pemerintah. Sekarang baru terasa. Sampai harus ngutang sana-sini.

Tad… tad…, tujuan ente aje jadi ustadz udah kagak bener. Jadi ustadz bukan buat cari nafkah, apalagi sampai pasang tarif jutaan utk ‘pentas’.

Itu namanya praktek bisnis, dagang. Nah dagangan ente ape? Ayat, agama? Neraka?

Ya mending jualan kolak deh, gak bikin orang keselek agama.
(Erri subakti)

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here