Penulis: Erri Subakti
Malam hari, 11 Maret 1966, Panglima Kostrad Mayor Jenderal Soeharto memimpin sebuah rapat mendadak dengan beberapa tokoh politik militer di Markas Komando Cadangan Strategis Angkatan Darat (Kostrad).
Beberapa jam sebelumnya ia baru saja menerima sebuah surat bertandatangan Presiden Soekarno, dari 3 jenderal yang baru pulang dari Istana Bogor. Tiga jenderal tersebut adalah Brigadir Jenderal Muhammad Yusuf, Mayor Jenderal Basuki Rachmat, dan Brigadir Jenderal Amir Machmud. Belakangan surat yang diterima Soeharto itu disebut Supersemar (Surat Perintah Sebelas Maret).
Dalam rapat mendadak tersebut Soeharto menjelaskan isi surat kepada para tokoh politik militer, diantaranya ada Letnan Kolonel Ali Moertopo yang di kemudian hari menjadi orang kepercayaan Soeharto dan “mata-mata”nya.
Soeharto dalam rapat yang singkat tersebut langsung merencanakan pembubaran PKI.
Usai rapat Supersemar asli diberikan Soeharto ke Ali Moertopo untuk “difotokopi” atau digandakan (dibuat copy-nya). Namun pada masa itu belum ada mesin fotokopi di Indonesia.
Dulu untuk meng-copy dokumen biasanya menggunakan kamera foto. Atau dengan “stensilan”.
Ali Moertopo kemudian menyorongkan 2 lembar surat kepada orang kepercayaannya, Mayor Aloysius Sugiyanto.
“Tolong cepat gandakan,” cerita Sugiyanto, menirukan perintah Ali yang disampaikan di tengah rapat. Dikutip dari Buku “Rahasia-rahasia Ali Moertopo”, Seri Buku Saku Tempo, terbitan KPG.
Ali lalu meneruskan perintahnya, “Segera kembali!”
Malam itu Sugiyanto lantas berkeliling Jakarta dengan mobil jip tentara, mencari studio foto yang masih buka.
Malam telah larut dan di Jakarta diberlakukan jam malam saat itu. Tak ada studio foto yang buka.
Perwira intelijen Kostrad itu kemudian memutuskan ke rumah Jerry Albert Sumendap di Jalan Lombok, Menteng.
Jerry merupakan pengusaha asal Manado, yang di masa Orde Baru pernah mendirikan maskapai penerbangan Bouraq Airlines.
Jerry adalah pengusaha perkapalan yang pada pertengahan 60-an sudah sering ke luar negeri. Ia punya banyak peralatan canggih pada masa itu. Makanya Sugiyanto mengandalkannya dalam situasi darurat tersebut.
Beruntung Jerry ada di rumah malam itu.
Setelah mendengar keterangan dari Sugiyanto, Jerry kemudian menempelkan 2 lembar surat yang bertandatangan Soekarno itu ke dinding untuk difoto. Namun bukan dengan kamera biasa.
Karena pada masa itu foto-foto perlu dicuci cetak dahulu. Makan waktu.
Sementara perintah Ali Moertopo jelas ke Sugiyanto untuk segera kembali.
Insting Sugiyanto tepat malam itu ke rumah Jerry Albert Sumendap. Karena Jerry memiliki kamera polaroid. Kala itu kamera polaroid adalah teknologi canggih yang bisa langsung mencetak foto usai “dicekrek”.
Lima kali “cekrekan” dari kamera polaroid Jerry memfoto Supersemar yang ditempel ke dinding. Tiga lembar foto berhasil baik.
Sugiyanto kemudian memasukkan kembali surat asli dan foto-fotonya ke dalam 1 map.
Sugiyanto kembali ke Markas Kostrad. Map berisi supersemar asli dan foto-fotonya diserahkan ke Brigadir Jenderal Soetjipto, Komando Operasi Tertinggi.
Sugiyanto lantas melaporkan hasil tugasnya ke Ali Moertopo. Setelah itu ia tidak tahu lagi di mana supersemar.
Beberapa tokoh yang sempat memegang Supersemar asli usai difoto oleh Sugiyanto, adalah seperti disebut pada nama-nama di atas. Lalu Sudharmono (berpangkat Letkol waktu itu), yang merancang surat keputusan pembubaran PKI, dan Moerdiono (kala itu berpangkat Letnan Satu) yang menuliskan konsep surat keputusan pembubaran PKI.
Dalam sebuah seminar suatu kali, jauh setelah orde baru tumbang, Moerdiono memberikan kesaksian, ia hanya memegang Supersemar asli selama 1 jam, dan kemudian dikembalikan lagi ke Kostrad. Moerdiono memastikan Supersemar asli terdiri dari 2 lembar.
Baca juga: