Penulis: Erri Subakti
SMA Jalan Budi Utomo Jakarta tahun 50-60-an semua muridnya bersepeda. Tak peduli anak Perdana Menteri Natsir, Menteri Dalam Negeri Moh. Roem, Menteri Pertahanan Sarjan, Mendikbud Priyono, Menteri Agama Saifudin Zuhri, atau anak bekas menteri Sunaryo Kolopaking atau Koesnan atau Wahid Hasyim. Tak kecuali anak Walikota Jakarta Raya Sjamsurizal. Waktu itu memang belum ada anjuran hidup sederhana, tapi orang sudah dengan sendirinya begitu.
Mereka mengayuh sepeda seperti layaknya tukang bakwan sekarang ini. Sepeda-sepeda itu tersimpan di kandangnya yang persis pukul 7 pagi pintunya dikunci pak penjaga. Karena saya sering telat, terpaksa cari akal bagaimana supaya pintu kandang bisa dibuka, sebab tak mungkin saya pikul sepeda itu masuk kelas, karena guru mana pun di dunia ini tidak suka melihat sepeda di kelas. Apa akal? Saya beli rokok Kansas ketengan sebatang dua, saya sogok bapak penjaga, dan pintu kandang pun terbuka lagi, buat sepeda saya tersimpan di sana, hingga jam bubar sekolah berdentang.
Itu cuplikan tulisan dari (alm.) H. Mahbub Djunaidi, penulis kolom Asal Usul yang rutin terbit di koran Kompas. Sebuah tulisan yang berjudul “Sogok” yang dimuat di Kompas 5 Juli 1987.
Mahbub Djunaidi memang alumni dari “Boedoet” (SMA 1 Jakarta). Seorang wartawan sejak muda, di sekolah ini ia pernah menjadi pimpinan redaksi Majalah Siswa.
Anak Betawi asli ini betah berorganisasi dan berpolitik. Mahbub Djunaidi dikenal sebagai politisi murni yang jujur, yang sempat menjadi wakil rakyat di DPR-GR/MPRS tahun 1960. Lalu berpolitik di luar lingkaran kekuasaan. Dan menolak tawaran Gubernur DKI Jakarta Tjokropranolo untuk menjadi wakilnya di tahun 1977.
Tahun 1978 Mahbub sempat dijebloskan ke penjara oleh pemerintahan Orde Baru karena aktif berorasi politik kritis di depan para mahasiswa.
Mahbub dikenal dekat oleh Jakob Oetama sebagai penulis yang memandang persoalan dari seginya yang kocak -tentu juga ada unsur kritik. Main-main, biarpun persoalan serius yang diangkat.
Jakob Oetama yang mengenalnya secara pribadi mengungkapkan sosok Mahbub itu ringan ceria, kocak berolok, dengan lapisan pergaulannya yang luas.
Mahbub meninggalkan dan mewariskan gaya jurnalistiknya sendiri. Yang hingga kini masih menjadi rujukan tak cuma bagi para penulis dan wartawan, juga bagi pendiri atau pemilik media-media online di era digital ini.
Sebut saja bagi Bonnie Triyana pendiri Majalah Historia, yang kini menjadi historia.id, gaya tulisan Mahbub menjadi salah satu rujukan bagi awak pers di Historia.
Mahbub sejak muda aktif berorganisasi, diakuinya sendiri ia gemar berkelompok. NU menjadi wadah aktivitasnya. Di situ pulalah awal karirnya sebagai wartawan, di koran Duta Masyarakat, media milik NU. Di usia 19 tahun Mahbub menjadi Ketua Ikatan Pemuda Pelajar Indonesia (IPPI) pada tahun 1952, terus aktif berorganisasi hingga menjadi salah satu pimpinan DPP NU pada 1986.
Karir kewartawanannya di koran Duta Masyarakat dilakoni hingga ia menjabat Pemimpin Redaksi 1960-1970. Pada tahun 1965 hingga 1970 Mahbub terpilih sebagai Ketua Umum PWI Pusat (1965-1970). Lalu pada tahun 1973 hingga 1978, Mahbub didaulat sebagai Ketua Dewan Kehormatan PWI Pusat.
Kompas memilih Mahbub Djunaidi untuk mengisi kolom Asal Usul karena memenuhi kebutuhan Kompas akan tulisan dari sisi politikus dengan pengalaman sebagai wartawan dan tulisannya berciri humor. Sebanyak 236 buah artikel ditulis Mahbub telah dimuat pada kolom Asal Usul di Kompas sejak November 1986 sampai ia tutup usia di Oktober 1995.
Kejenakaan tulisan Mahbub bisa dilihat bagaimana ia kerap mengejek dirinya sendiri sebagai seorang kolumnis.
“Pekerjaan Dirjen orang tahu. Begitu juga makelar atau komisioner. Bahkan profesi dukun pun orang paham. Tapi profesi kolumnis, masih asing dan belum banyak yang maklum. Jika saya mencantumkan perkataan kolumnis sebagai jenis pekerjaan, banyak orang bertanya-tanya binatang apa sih kolumnis itu? Kolumnis itu bagian pekerjaan malam apa siang? Bahkan ada yang bertanya, apa beda antara kolumnis dengan komunis?” (Kolumnis, Kompas 17-17-1988)