Mahasiswa dari Uzbekistan, Afganistan dan Yaman, Temukan Indahnya Beragama di Indonesia

Dari kiri ke kanan: host NGOPI Anis Mukhabak, Dr KH Iman Fadhilah, Irodakhon Komilova, Shayesta Azimi, Layali, Penulis dan co host Dadang.

Penulis: Nurul Azizah

Bisa berada di antara mahasiswa dari Uzbekistan, Afganistan dan Yaman sangatlah mengasyikan. Bisa berbincang-bincang dengan bahasa campuran antara Indonesia dan Inggris. Woo luar biasa damainya malam itu. Apalagi mereka dari negara yang sering bertikai karena masalah agama. Di negara mereka agama dijadikan alat politik untuk menduduki kekuasaan. Tidak ada ketenangan dalam menjalankan syariat Islam.

Selasa malam (1/11/2022) merupakan malam yang luar biasa. Bisa berdiskusi tentang banyak hal sambil ngopi bareng para santri dan jamaah yang hadir di aula Al-Fadhilah Meteseh Tembalang Semarang.

-Iklan-

Malam itu ada acara road show to pesantren dalam tajuk “NGOPI” Ngaji Online Perkara Islam, yang disiarkan secara langsung oleh MAJT.TV Televisi Dakwah Masa Kini Masjid Agung Jawa Tengah dan on air Radio DAIS 107.9 secara live streaming.

Acara ‘Ngopi’ diadakan di Pondok Pesantren Mahasiswa Al-Fadhilah Gg. Kiai Bagus No. 4 Meteseh Tembalang Semarang dengan nara sumber Dr KH Iman Fadhilah, M. Si (Dekan FAI Unwahas) sekaligus pengasuh pondok pesantren mahasiswa Al Fadhilah, Shayesta Azimi, S.Farm, Apt (Mahasiswa S2 Unwahas yang berasal dari Afganistan, Irodakhon Komilova Mahasiswa Unwahas berasal dari Uzbekistan dan Layali mahasiswa Unair Surabaya yang berasal dari Yaman. Dengan host Anis Mukhabak dan co host Dadang Faxygraph.

Di awal acara, host langsung tertarik dengan Shayesta tentang berkembangan Islam di Afganistan. Menurut Shayesta, Afganistan dihuni oleh penduduk yang mayoritas Islam, 90% Islam Sunni, 9,7% Islam Syiah dan 0, 3% agama lain dan komunitas sikh.

Islam di Afganistan tidak berkembang sebagai mana agama Islam Rahmatan lil Alamin. Karena agama Islam dijadikan alat politik para pemegang kekuasaan.

Tidak ada kedamaian untuk menjalankan syariat Islam di sana. Para perempuan tidak boleh keluar dari rumah, tidak boleh sekolah dan tidak boleh bekerja. Tidak ada kebebasan dalam menjalankan ibadah di masjid.

Shayesta bertutur selama 19 tahun tidak pernah sholat jamaah di Masjid. Baru setelah tinggal di Indonesia bisa sholat fardhu berjamaah di masjid. Ada ustad atau kiai yang membimbing tentang agama Islam. Dia belajar banyak hal tentang ajaran Islam Rahmatan lil Alamin. Bisa berbincang-bincang secara langsung dengan kiainya. Bisa berkunjung ke berbagai Pondok Pesantren tanpa ada kekwatiran sedikitpun. Dia bisa betah tinggal di Indonesia, karena begitu damai. Masyarakat Indonesia yang dianut banyak agama bisa hidup rukun berdampingan tanpa ada permusuhan.

Indonesia bagaikan taman bunga yang beraneka ragam warnanya, hidup berdampingan satu dengan lain, memberikan warna masing-masing. Begitu indahnya bunga-bunga yang beraneka warna melengkapi indahnya taman nan rupawan, itulah kecantikan Indonesia.

Saat penulis ketemu dengan mahasiswa dari Yaman awalnya agak pekewoh, karena dia bercadar. Tapi begitu kenalan ternyata asyik juga. Layali mahasiswa Unair Surabaya yang berasal dari Yaman belum begitu fasih bahasa Indonesia tapi lancar berbahasa Inggris. Penulispun menggunakan bahasa campuran untuk mewancarainya. Menurut Layali orang Yaman mayoritas muslim Arab Country. Banyak kesamaan antara Indonesia dan Yaman dalam berbusana muslim terutama yang laki-laki. Pria Yaman banyak yang memakai sarung dan gamis. Sedangkan perempuan Yaman hampir semua bercadar. Kalaupun penulis nanti tinggal di Yaman harus membeli pakaian adat sana dan memakai dalam aktivitas sehari-hari.

Masyarakat Yaman sering melakukan maulid Nabawi, semua orang harus ke masjid untuk bersholawat atas Nabi Muhammad SAW, seperti ada pesta perayaan maulid nabi. Negara Yaman kurang aman karena sering ada konflik.

Layali sudah dua tahun tinggal di Indonesia. Merasa damai dan diterima dengan baik walau dia memakai cadar. Kebiasaan berbusana cadar tidak bisa dilepas ketika berada di Indonesia. Dia melihat indahnya tinggal di Indonesia. Banyak pemeluk agama tapi satu sama lain hidup rukun berdampingan. Dia belajar kerukunan bergama di Indonesia.

Satu lagi mahasiswa dari Uzbekistan namanya Irodakhon Komilova lebih banyak diam, karena belum faham betul dengan bahasa Indonesia.

Ketika ditanya co host acara ‘Ngopi’ dengan menggunakan bahasa Inggris dia bercerita bahwa, dia belajar di Unwahas sangat enjoy bergabung dengan teman dari berbagai daerah. Pertama dia terima kasih dengan teman-teman Indonesia, karena di Uzbekistan tidak ditemukan suasana kekeluargaan seperti di Indonesia. Soal berbusana di Uzbekistan ada kebebasan berbusana untuk perempuan muslim. Boleh pakai cadar, boleh memakai kerudung dan boleh tidak berkerudung. Dia belajar banyak hal tentang Islam Rahmatan lil Alamin di Indonesia.

Nara sumber Dr KH Iman Fadhilah menuturkan, “Di Indonesia agama sangat di lindungi oleh Negara dengan Dasar negara Pancasila. Tidak ada satupun agama yang mengatur negara. Indonesia merupakan rumah besarnya semua pemeluk agama. Di rumah besar itu, semua pemeluk menjalankan ibadah sesuai dengan agama dan keyakinan masing-masing.”

“Ada perbedaan dalam bergama tidak menjadi suatu masalah, melihat orang lain dengan kacamata kasih sayang.”

Nurul Azizah, penulis buku “Muslimat NU di Sarang Wahabi, minat hub. 0851-0388-3445.

Buku
Buku “Muslimat NU di Sarang Wahabi” karya Nurul Azizah

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here