Penulis: Andre Vincent Wenas
Melihat lintasan historis event Formula-E ini, maka Gubernur (eksekutif) serta DPRD DKI Jakarta periode 2014 -2019 plus ketujuh fraksi DPRD periode sekarang yang menolak interpelasi tentulah merupakan pihak paling bertanggung jawab! Tak boleh ada yang cuci-tangan, buang badan atau pura-pura bego.
Naga-naganya sekarang ada yang mau lempar monyet atau bola panas ke pihak istana.
Barusan atap tribun sirkuit Formula-E roboh ditiup angin, entah angin apa? Yang jelas event yang rencananya tinggal beberapa hari lagi ini memang bikin deg-degan terus.
Jangan salah duga dulu, kita semua saat ini sudah di –fait accompli– (terpojokkan) agar event yang ada bau-bau internasionalnya ini toh mesti berjalan juga.
Apa boleh buat, nasi sudah jadi bubur. Mau tidak mau ya tidak boleh malu-maluin muka negara. Ini jadi urusan negara katanya. Walahh… Gimana ya? Ya gitu deh…
Lintasan historisnya begini. Dulu fraksi PAN (ini salah satu dari 7 fraksi penolak interpelasi) di DPRD DKI Jakarta berkilah bahwa event serta anggaran perhelatan Formula-E ini sudah disetujui oleh DPRD DKI Jakarta. Betul, oleh parlemen periode lalu.
Setelah program ini diinisiasi oleh Gubernur Anies, maka berapatlah para anggota dewan pada Selasa sore tanggal 13 Agustus 2019. Agenda yang dibahas adalah soal Kebijakan Umum Perubahan Anggaran Plafon Prioritas Anggaran Sementara (KUPA-PPAS) untuk rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah Perubahan (APBD-P) 2019. Termasuk dibahas soal persetujuan anggaran perhelatan Formula-E.
Walau event ini tidak ada dalam Perda Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD) serta tak ada juga dalam Pergub Percepatan Pelaksanaan Kegiatan Strategis Daerah (KSD) tahun 2019, namun entah kenapa DPRD periode lalu itu tetap nekad menyetujui anggaran sebesar Rp 360 miliar atau 20,79 juta poundsterling untuk Commitment-fee. Ini jelas aneh sekali!
Perlu dicatat bahwa rapat itu terjadinya di penghujung masa jabatan para anggota DPRD DKI Jakarta periode 2014—2019. Hanya kurang dari 2 minggu lagi (cuma 13 hari lagi) masa jabatan mereka berakhir. Sebab pada Senin pagi, 26 Agustus 2019, anggota DPRD DKI Jakarta yang baru (periode 2019—2024) dilantik.
Hmm…, kok rapatnya seperti kejar tayang ya? Apakah mereka sudah tahu bakalan ada “pemain baru” di parlemen Jakarta?
Tentu kita bertanya-tanya, siapa saja fraksi/parpol di DPRD periode 2014–2019 yang waktu itu nekad menyetujuinya? Jawabannya sangatlah jelas, yaitu: PDIP (waktu itu punya 28 kursi), Gerindra (15), PKS (11), Demokrat (10), PPP (10), Hanura (10), Golkar (9), PKB (6), NasDem (5), PAN (2). Total 106 kursi.
Sekali lagi, mesti dicatat dan diingat baik-baik bahwa anggaran Formula-E ini disetujui oleh DPRD DKI Jakarta periode 2014–2019 lalu. Dan terjadinya di penghujung masa jabatan mereka, 13 hari kemudian mereka bubar dan diganti oleh anggota perlemen yang baru. Walau tentu ada anggota yang terpilih kembali. Ini penting, dingat-ingat!
Komposisi anggota DPRD yang baru (untuk periode 2019—2024) dilantik pada Senin 26 Agustus 2019, terdiri dari: PDIP (25 kursi), Gerindra (19), PKS (16), Demokrat (10), PAN (9), PSI (8), NasDem (7), Golkar (6), PKB (5), PPP (1).
Jadi, di periode sekarang (2019–2024) ini Hanura kehilangan seluruh kursinya (dari 9 jadi 0), PDIP turun (dari 28 jadi 25), Gerindra naik (dari 15 jadi 19), PKS naik (dari 16 jadi 19), Demokrat tetap (10), PAN naik (dari 2 jadi 9), PSI baru masuk (8), NasDem naik (dari 5 jadi 7), Golkar turun (dari 9 jadi 6), PKB turun (dari 6 jadi 5), PPP turun (dari 10 jadi 1).
Dari penelusuran analisis-media, Fraksi PSI (yang baru masuk parlemen) adalah satu-satunya fraksi di parlemen Jakarta yang menolak anggaran Formula-E ini untuk masuk dalam APBD 2020. Sedangkan lainnya setuju.
Rabu siang, 4 Desember 2019, dalam pidato pemandangan umum terhadap Rancangan Peraturan Daerah (Raperda) APBD DKI 2020, Anthony Winza Probowo (dari fraksi PSI) gamblang mengatakan bahwa dengan menganggarkan uang untuk Formula E adalah bukti Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan tak tahu skala prioritas!
Menurutnya, ada banyak hal lain yang lebih penting untuk diprioritaskan. Misalnya saja soal warga di Jakarta Utara yang untuk mendapatkan 1 meter kubik air saja harus bayar Rp150 ribu. Lalu soal pengadaan WC Umum, boro-boro berharap bisa nonton festival balapan mobil, untuk buang air besar saja mereka harus balapan karena jamban masih jadi rebutan.
Terkait soal “dampak ekonomi” yang menurut Gubernur Anies bisa didapat setelah Jakarta jadi tuan rumah juga tidak ada bukti atau kajiannya. Justru sebaliknya, dengan mencontoh kasus Montreal – Kanada, pemerintah di sana justru merugi.
Pernah diingatkan juga bahwa ajang balap mobil listrik ini bakalan hanya dinikmati oleh masyarakat golongan menengah ke atas. Sementara anggaran daerah semestinya bisa dinikmati oleh semua orang. Terbukti sekarang harga tiketnya mahal dan peran UMKM hampir nihil atau cuma kosmetik dalam perhelatan ini.
Catatan penting lainnya adalah bahwa jabatan Gubernur Anies hanya bersisa sampai Oktober 2022. Jika Formula-E membebani APBD sampai lima tahun ke depan hingga di luar masa jabatan Gubernur Anies apakah ini adil dan patut? Halo BPK, halo KPK, halo Kemendagri.
Lalu sekarang perhelatan itu tinggal beberapa hari lagi. Sponsor untuk mendukung pendanaan acara tidak ada. Yang ada tiket terusan Ancol yang dipaket untuk acara nonton balapan sehari ini.
Akhirnya, kita semua dipaksa berharap agar acara balapan Formula-E berjalan dengan baik dan sukses, artinya lancar dan tak ada kecelakaan bagi pembalap maupun bagi penonton. Ini semua semata-mata agar tidak malu-maluin muka negara.
Kemudian, apakah citra Indonesia bakal jadi membaik di panggung dunia gegara penyelenggaraan event ini? Ini sesuatu masih amat sangat abstrak. Saking abstraknya sehingga bisa jadi alasan paling afdol untuk pembenaran tatkala acara berhasil berjalan dengan selamat.
Lalu bagaimana soal keuntungan atau paling tidak balik modal? Lupakan!
Namun biar bagaimana pun, setelah mobil balap listrik terakhir melewati garis finish, pemprov serta panitia penyelenggara (organizing committee) mesti segera mulai balapan untuk menyusun laporan pertanggungjawaban operasional serta keuangannya.
Tak bisa lempar monyet atau bola panas lagi. Masak sih mesti pihak istana yang bikin laporan pertanggungjawabannya?
02/06/2022
Andre Vincent Wenas, Direktur Eksekutif Lembaga Kajian Strategis PERSPEKTIF, Jakarta.