Penulis: Erri Subakti
Sejak memasuki Ramadan tahun ini, rekan saya yang di KTP-nya bertuliskan Agama: Katolik, lebih heboh dengan persiapan lebaran di kampungnya, daripada saya sebagai umat muslim.
Hampir setiap hari, ya setiap hari dia sibuk mantengin marketplace oranye untuk mencari berbagai barang yang ia butuhkan untuk berlebaran di kampung halamannya. Membeli gorden baru, karpet baru, membuat daftar belanjaan untuk dibawa ke kampung atau dikirim melalui jasa kurir dari “si oren” dan tak lupa nyari lembaran uang baru dari bank-bank. Asli, persiapan dia berlebaran jauh lebih heboh dari saya yang muslim. Bahkan rajin war takjil meski dirinya gak puasa. Hujan-hujan pun dia “jabanin”.
Lebaran yang identik dengan Hari Raya Idulfitri di Indonesia memang sudah menjadi hari rayanya orang Indonesia, apapun agamanya, bahkan yang berbeda ideologis sekalipun.
Dan taukan kamu? THR itu hanya ada di Indonesia. Dan itu buah dari perjuangan kaum komunis alias PKI.
Ya sosok “hantu” yang dibenci umat Islam/beragama dalam satu masa pernah memberi tonggak penting bagi kaum beragama.
Melalui SOBSI, Sentral Organisasi Serikat Buruh Indonesia, sebuah organ sayap dari PKI memperjuangkan kebutuhan kaum beragama agar pemerintah mengeluarkan keputusan mengenai adanya THR.
Islam di Indonesia sejak awal mula hadirnya memang kental bersentuhan dengan budaya yang ada Nusantara. Sebut saja beberapa yang khas Nusantara atau akulturasi budaya lainnya, menjadi tradisi bagi umat Islam di Indonesia. Istilah lebaran, ketupat, baju koko (dari orang Tionghoa) bedug, kembang api dan petasan, takbiran keliling, halal bihalal, sebutan kiai atau Gus, sarung, peci, dan masih banyak lagi budaya dan atribut yang telah lebih dulu ada di Nusantara menjadi identik dengan Islam di Indonesia.
Bahkan nastar, kastangel, putri salju, Khong guan, Monde, sirup dll. pun berasal dari tradisi penganan Natal saat Belanda menduduki Indonesia.
Indonesia memang kepingan surga. Segala yang awalnya “dinul” (way of life) Islam melebur dengan indahnya dalam bingkai budaya nusantara. Sehingga Idulfitri menjadi milik semua umat.
Terimakasih kaum yang memperjuangkan THR pada masa lalu, terimakasih umat Kristen dan Katolik yang membolehkan nastar dkk. menjadi tradisi khas Idulfitri, terimakasih Chindo atas inspirasi baju kokonya, terimakasih Hindu dan Buddha, agama yang lebih dulu di nusantara yang yang turut memperindah “way of life” Islam menjadi lebih adem di Indonesia.
Baca juga: