Penulis: EmilyWu
Viralnya kasus seorang wanita yang dimarahi saat lapor polisi mengingatkan saya pada pengalaman lapor polisi yang pernah saya alami.
Biasanya saya berurusan dengan pak polisi saat perpanjang STNK, SIM dan minta surat kehilangan.
Namun pernah tiga kali saya berurusan dengan pak polisi, bukan karena perpanjangan STNK, SIM atau minta surat kehilangan, tapi karena:
✓Peristiwa pertama, terjadi sudah lama banget, saat itu ceritanya saya ke ATM sebuah Bank BUMN, di sebelah saya berdiri seorang ibu yang sedang menerima telp, mungkin karena volume telpnya lumayan keras, samar-samar terdengar instruksi dari si penelephone supaya ibu itu masuk menu transfer, lalu transfer sejumlah uang…saya menoleh ke ibu itu..perasaan saya mengatakan si ibu ini kena penipuan lewat telp, tapi karena takut salah duga, saya meminta bantuan pak Satpam yang berdiri berjaga di dekat ATM itu: “Pak Satpam, kayaknya ibunya korban penipuan deh, gimana sebaiknya pak, kita tepuk bahunya ya, pak.”
Sumpah pingin nonjok reaksi wajah pak Satpam waktu itu…, datar banget, sambil menaikkan kedua bahunya, tanda tak mau tahu, ini bukan urusanku, aku tak peduli-kira-kira begitulah saya menterjemahkan reaksi pak Satpam tadi. Untungnya si ibu itu agak gaptek, jadi saat saya minta saran ke pak Satpam itu, si ibu masih belum berhasil transfer, karena reaksi pak satpam yang seperti itu (untungnya… 2X untungnya…😃 ), otak saya bergerak cepat dan segera bertindak menepuk bahu si ibu agak keras: “Bu…, ada yang bisa saya bantu?”
Si ibu menoleh ke saya, sambil katanya: “Ini Neng, ibu katanya dapat hadiah, terus diminta transfer (sementara saya ngobrol dengan si ibu, si penelepon terus memanggil si ibu untuk segera transfer).
“Matikan telponnya bu, matikan telp, ibu kena tipu,” kata saya.
Si ibu nampak bingung, menatap saya dengan ekspresi mirip orang linglung….
“Matikan telp-nya bu,” kata saya lagi.
Lalu si ibu mematikan telpnya, tapi telpnya kembali berdering….
“Jangan diangkat,” kata saya.
“Pak Satpam, ibu ini kena tipu, ditolongin dong pak.” Pinta saya pada pak Satpam yang hanya berdiri diam menatap kami.
Lalu pak satpam itu membawa kami masuk ke dalam kantor bank, saya langsung nyerocos pada mbak Customer Service (CS) bercerita tentang penipuan yang dialami si ibu, si mbak CS sigap, berdiri masuk ke dalam, ke luar lagi membawa segelas air putih, bersama seorang bapak, mungkin kepala cabangnya.
Si ibu diminta minum dulu, tarik nafas, setelah agak tenang lalu diminta menceritakan kejadian yang menimpanya, sementara dia bercerita, HPnya terus berdering, walaupun dari pihak bank meminta ibu tidak mempedulikan panggilan telp tersebut, tapi sepertinya si ibu tetap ingin menjawab telp. Akhirnya si mbak CS meminta izin untuk memegang HP si ibu…, baru setelah itu si ibu Istighfar ‘Astaghfirullah….Astaghfirullah’.
Karena ibu sudah aman di tangan petugas nank, sayapun inisiatif lari ke pos polisi yang kebetulan ada di dekat bank itu, saya bilang pada pak polisi: “Pak, ada kasus penipuan di Bank itu, korbannya masih di dalam Bank, tolong dibantu pak.”
Pak Polisi bertanya: “Penipuan apa mbak?”
Saya: “Yang penipuan katanya dapat hadiah itu lho, Pak.”
Pak Polisi (kurang lebih berkata begini): “Ah…, susah itu ngusutnya, karena nomernya ganti-ganti…” Kemudian ya cuek lagi…, kembali ke kesibukkannya….
Saya pun kembali ke Bank tadi…dengan tanda tanya: “Kok pak polisinya gitu ya…, harusnya kan, segera lari masuk ke dalam bank…, lalu mengusut kasusnya, paling nggak tanya-tanya ke ibunya lah…, atau tindakan apa gitu.” (Ini harapan saya sebagai masyarakat saat lapor polisi). Akhirnya dengan berjalan lunglai dan membawa rasa kecewa di dada, saya tinggalkan pak polisi itu… Ah, mungkin saya salah prosedur dalam melapor, pikir saya mencoba menghapus rasa kecewa yang terlanjur mendera….
✓Peristiwa ke dua: Suatu kali dagangan saya yang harganya agak mahal ada yang mau beli, orang yang mau beli tersebut katanya sudah transfer sambil kirim bukti transfer. Saya sadar ini transfer bohongan…, tapi untuk memastikan perkiraaan saya, saya pergi ke sebuah Bank BUMN sesuai dengan bukti transfer yang dikirim orang tersebut. Sampai di Bank tersebut saya tunjukkan ke CS: “Mas…, ini bukti transfer bank di sini ya?” CS-nya tampak bingung, nggak paham…, lalu saya bercerita sedikit tentang yang saya alami, tapi CS hanya bilang: “Saya kurang tahu ini Bu, tapi coba dicek di rekening ibu ada uang masuk nggak?”
Saya: “Justru karena nggak ada uang masuk ke rekening saya, saya tanya ke sini mas, bukti transferan ini, bukti transfer di bank ini atau bukan?”
CS: “Kurang tahu ya, Bu…”
Dengan kecewa saya meninggalkan Bank itu lalu pergi ke kantor polisi, sama pak polisi disambut ramah, kemudian ditanya ada apa. Saya ceritakan apa yang saya alami, e…, pak polisi cuma bilang (kurang-lebih): “Abaikan saja mbak, online-online gitu memang rawan penipuan.”
‘Hah?’
“Oh…saya kira lapor polisi itu laporan ditulis, nomer telp penipunya diusut…, jadi kejadian penipuan pakai nomer HP seperti itu tidak akan terjadi lagi…” Pikir saya dalam hati
✓Peristiwa ketiga: (Beberapa tahun berlalu setelah kisah peristiwa ke dua) Mirip cerita peritiwa ke dua, tapi ini lebih menganggu, karena orangnya pakai ngancam, kemudian WA, SMS nggak pakai berhenti, saya yang memang penakut, mencoba lapor polisi untuk minta perlindungan. E…, ketemunya pak polisi yang gualak. Saat saya baru datang suara pak polisi yang pasang wajah kurang ramah itu bertanya pada saya, dengan intonasi suara galak: “Ada apa mbak?!”
Saya yang penakut dan mewek-an, kaget dapat bentakan seperti itu, berdiri mematung bingung.
Pak polisi pun bicara lagi dengan suara galak: “Duduk sini mbak…, sampaean mau laporan apa?!!!”
Saya pun menceritakan yang saya alami
Pak polisi galak itu berkata dengan suara membetak: “Ya…, begitu mbak, resikonya, kalau transaksi online…, makanya hati-hati!!!” Hardiknya dengan nada menyalahkan.
Dibentak begitu…, saya yang cengeng bin gembeng langsung menitikkan air mata, nangis…, mingsek-mingsek…, sedih gitu, ekspektasi saya sebagai anggota masyarakat kepada pak polisi mungkin terlalu tinggi ya, harapan saya itu pak Polisi itu ya melayani, melindungi, mengayomi, tidak memarahi…”
Melihat saya berurai air mata pak polisi itu makin jengkel, lalu bicara lagi: “Sekarang sampean lapor ke sana ya…!!!, bukan ke sini lapornya!!!” Katanya sambil memberi tahu sebuah alamat ke mana seharusnya saya melapor.
“Ngerti nggak sampeyan?!” tanyanya lagi.
Lalu terdengar rekan pak polisi itu bicara: “Halah ora ngerti kui, dudu wong kene.”
Mungkin pak polisi itu mengira saya nggak paham bahasa Jawa, padahal saya Wong Solo, mungkin karena sudah lama tidak tinggal di Solo, logat Jawa saya sedikit tersamar. Tidak terlalu jelas terdengar.
Pak polisi galak: “Ngerti nggak sampeyan… Sampeyan ini mahasiswi atau sudah kerja?”
Saya: “Anak saya yang satu sudah kerja, yang satu mau lulus sarjana, Pak.” (Pikir saya, pak polisinya agak terganggu pengelihatannya kali ya? Masa ibu-ibu ‘Jelita’ – Jelang Limapuluh Tahun, ditanya: ‘sampeyan mahasiswa atau sudah kerja?’ Kalau pas nggak lagi mewek, pasti saya ngekek dengar pertanyaan itu…🤦🏻♀️ )
Pak Polisi galak: “Ya sudah…, sampeyan lapor ke alamat yang saya kasih tahu tadi.”
Singkat cerita saya pun meninggalkan kedua pak polisi itu dan pergi ke alamat yang ditunjukkan tadi.
Di tempat ini pak polisinya ramah dan sabar mendengarkan cerita saya, setelah saya selesai bercerita pak polisi bilang: “Saran saya…, abaikan saja mbak, kalau merasa terganggu ya ganti nomer HP…”
“Hah??? cuma begitu saja?”
(Sekali lagi ini harapan saya sebagai anggota masyarakat yang lapor polisi…) Saya kira laporan saya itu bakal diproses, saya dikasih bukti laporan, kemudian nomer-nomer asing yang meneror dan mengubungi itu diusut…, lalu saya akan dikabari sampai di mana penanganan laporan saya.
Mungkin saya yang salah berharap dan kurang paham prosedur lapor polisi…, tapi itulah beberapa pengalaman saya lapor polisi. Bagi saya semua itu adalah pengalaman berharga dan bermakna…, bisa jadi bahan cerita. ☺☺