Kisah LBP Menyusuri ‘Maut’ di Ladang Ranjau di Semenanjung Sinai

Penulis: Erri Subakti

Kisah ini belum pernah beredar di publik. Sekilas kisah bagaimana Jend. (Purn.) Luhut Binsar Pandjaitan (LBP) menyusuri ladang ranjau di Semenanjung Sinai, dengan satu per satu langkahnya di tepi “maut” yang mengancam nyawa.

Pasca Perang Yom Kippur antara Mesir dan Israel yang berlangsung pada 6 – 26 Oktober 1973, Indonesia mengirimkan Kontingen Garuda VIII ke Timur Tengah. Dalam rangka misi perdamaian PBB, Kontingen Garuda VIII bertugas di daerah penyangga PBB di Semenanjung Sinai. Pasukan Garuda ini dikirim dalam 9 gelombang rotasi. Setiap rotasi bertugas selama 6 bulan.

-Iklan-

Ceritanya begini, saat itu LBP juga masuk dalam Kontingen Garuda VIII dalam 1 rotasinya. LBP yang masih berpangkat Letnan mendampingi Yogie S. Memet yang menjadi atasannya sebagai Komandan Brigif dalam Kontingen Garuda VIII. Lalu mereka suatu kali harus melintasi ladang ranjau (mine field) yang tidak ada dalam peta yang mereka miliki.

Luhut mengetahui mereka ada di ladang ranjau setelah mereka masuk ke area tersebut.

“Luhut, ieu kumaha ieu?! K*h*d ieu mah!” ujar Yogie S. Memet dalam bahasa Sunda. “Luhut gimana ini?!”

Luhut menjawab, “Siap, Pak. Bapak ikuti jejak (langkah) saya.” Jawab LBP lantang meski juga merasa ngeri dengan yang mereka hadapi.

Sambil membungkuk-bungkuk LBP menyusuri ladang ranjau selangkah demi selangkah. Luhut melintasi ancaman maut di sekelilingnya dengan teknik yang ia kuasai untuk melewati ladang ranjau.

Yogie S. Memet mengikuti langkah LBP yang sudah mengucur deras keringatnya.

“Ieu mah k*h*d Luhut! Kunaon ieu mah teu aya di peta! Kumaha?!” ujar Yogie S. Memet di belakang LBP. “Ini sih gimana Luhut! Kenapa gak ada di peta? Gimana?!”

Luhut di depan hanya menjawab, “Siap Pak! Siap Pak!” Sambil terus meniti langkah-langkah di ladang maut.

Hingga akhirnya mereka pun selamat sampai di ujung akhir ladang ranjau tersebut.

Sejak itu Yogie Suardi Memet yang pernah menjabat Komandan Kopasshanda, Pangdam Siliwangi, Gubernur Jawa Barat, hingga Menteri Dalam Negeri, selalu merasa berhutang nyawa kepada LBP.

Sebagai lulusan terbaik AKABRI 1970, penerima penghargaan Adhi Makayasa, LBP bukan sekali dua kali ia berhadap-hadapan dengan maut di depan mata. Sebagai tentara yang sering mendapat tugas dan tanggung jawab yang risikonya nyawa sendiri sudah bukan barang yang aneh baginya. Seperti pernah dikatakannya kira-kira begini, “Peluru itu ‘punya nama,’ kalau nama kita belum ‘tertulis’ di situ, belum saatnya juga kita game over.”

 

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here