Kisah Hiero Silalahi, Ikhlas Ketika Tertipu, Tetap Berusaha Keras untuk Kebaikan Sekitar

Bagian kedua

“Kalau tomat busuk kau dekatan dengan tomat yang bagus, maka bukan yang busuk akan menjadi bagus, tapi yang bagus akan menjadi busuk…”
-Hieronymus Silalahi-

KOLOM

Roger “Joy” Paulus Silalahi

-Iklan-

 

 

Hidup dalam pengungsian demi menghindarkan keluarga agar tidak menjadi korban perang tidaklah indah. Semua serba susah, makan susah, pakaian susah, uang tidak ada, bekerja tidak bisa, tapi hidup harus tetap berjalan.

Untuk mendapatkan uang, terpaksa barang-barang dibawa ke Poso, dijual, lalu kembali ke pengungsian, hingga sarung dari kain Bugis yang indah dan jadi kebanggaan pun terpaksa dijual.

Semua mempertahankan hidupnya sendiri-sendiri, menjual baju pun sulit, tapi tetap dijual, berapapun asal jadi uang untuk membeli bahan makanan yang harganya melambung tinggi.

Karung goni menjadi pilihan pengganti pakaian, tapi itu pun tidak banyak. Ada tetangga Hiero di pengungsian, yang hanya mempunyai satu baju karung goni, dipakai bergantian jika akan keluar rumah. Mengerikan… Bila dibandingkan dengan PPKM sekarang ini, tidak ada apa-apanya-lah, semua mudah.

Kondisi istri yang hamil tua, membuat Hiero harus mencari tempat untuk persiapan melahirkan, karena tempat di pengungsian tidak cukup aman untuk melahirkan. Maka Hiero pergi ke ujung sebuah tebing, membuat jalan ke bawah agar bisa dilalui dengan mudah, lalu membangun goa.

Goa dirancang dengan jalan sempit tapi luas di dalam, turun cukup jauh ke bawah tebing, agar aman seandainya ada serangan bom dari pesawat tempur.

Sementara Hiero membangun goa, harus ada yang pergi membeli bahan makanan, tidak ada pilihan, anak pertama berusia 8 tahun, perempuan, Nella namanya, harus pergi ke Poso untuk membeli bahan makanan berbekal uang dan SOP mengamankan diri apabila ada serangan udara atau kontak senjata di perjalanan.

Syukurlah, kondisi ini tidak berlangsung terlalu lama, Jepang menyerah kepada Sekutu, Indonesia MERDEKA…!!!

Kembali dari pengungsian, kembali mengajar dan menjadi Kepala Sekolah, istri bisa melahirkan di rumah sakit, diberi nama Dameria, karena lahir di masa damai, dan diiringi doa untuk menjadi pendamai, pendukung keluarga.

Ds Damuri kembali ke Jepang, sementara Kanrikan Nakamura melakukan harakiri dengan pistolnya, kekalahan perang dan meninggalnya istri tersayang di Jepang, membuatnya tidak mau bertahan.

Trauma juga menghampiri Hiero, selama bertahun-tahun kejadian ketika hampir dipenggal sering hadir dalam mimpi, hingga Hiero depresi.

Baca: Di Ambang Maut, Tuhan Bekerja dengan Cara yang Tak Disangka, Kisah Hiero Silalahi

Dokter memberikan obat, tidak berhasil, menyarankan mengambil cuti panjang di danau Tentena, tapi tidak juga berhasil. Akhirnya dokter menyarankan untuk pindah total, pergi jauh dari Poso, dan pilihan Hiero adalah pulang kampung ke Siborong-borong.

Tahun 1949, Hiero dan keluarga tiba di Siborong-borong, kota kecil dimana semua saling mengenal, kota dimana Hiero dan keluarga besarnya bermukim. Semua kaget ketika Hiero datang, karena berita yang sampai di Siborong-borong adalah Hiero sudah dipenggal.

Sukacita luar biasa ditunjukkan, pesta 7 hari 7 malam digelar (saya pikir hanya dongeng atau hyperbolism, ternyata serius), 8 ekor babi, arsik, saksang, dan berbagai makanan lain disajikan sebagai perwujudan sukacita dan rasa syukur.

Tidak lama setelah itu, Hiero dipanggil ke Medan dan diminta untuk menjadi Kepala Sekolah di sebuah sekolah yang baru didirikan, SMP Kristen Siantar. Maka berangkatlah Hiero ke Siantar dan menjadi Kepala Sekolah di sana pada tahun 1950.

Hiero tinggal di Jalan Gereja, letaknya tepat di depan SMP Kristen Siantar. Waktu itu banyak anak-anak yang tidak bisa bersekolah karena daya tampung yang terbatas, hal ini memicu Hiero untuk mencari cara meningkatkan daya tampung. Dengan koneksitas yang ada, dana ganti rugi dari Jepang dimanfaatkannya untuk membangun SMP Kristen Siantar menjadi 2 lantai. Semakin banyak anak bisa sekolah, tapi sekolah lanjutan  tidak ada.

Kembali berkutat di kalangan berpendidikan tinggi yang dikenalnya, Hiero berhasil mendirikan SMA Kristen Siantar di sebelah SMP Kristen. Maka puaslah sudah.

Sekarang waktunya menabung untuk membangun rumah bagi keluarganya. Maka Hiero mulai menabung, tapi jangan salah, tabungannya bukan hanya uang, tapi juga toilet, bata demi bata, seng demi seng, lalu pasir, dan setelah cukup banyak bahan terkumpul, barulah mencari kontraktor. Sebuah lahan dibeli di Jalan Voli, semua tabungan berwujud batu bata dan seng serta pasir dan lain-lain dibawa ke sana dibantu oleh siswa SMP dan SMA Kristen.

Literally, mereka mengangkatnya dengan tangan mereka, pasir diangkut pakai ember, semua membantu. Pak Kepala Sekolah yang galak dan tegas, tapi baik hati ini disayang siswa-siswanya (lihat keterangan foto). Uang disetor ke kontraktor, rumah dibangun, tapi perjanjian tidak ada. Rumah selesai dibangun sesuai gambar yang dibuat Hiero, tapi ditinggali oleh sang Kontraktor dan keluarganya.

Hiero ditipu habis. Tapi Hiero tidak mau masuk ke dalam pancingan keburukan yang diumpankan oleh kontraktor itu, pilihan yang diambilnya adalah bertahan tinggal di mess Kepala Sekolah sampai ada jalan lain dari Tuhan. Tidak mau mempermasalahkan dan berseteru walau pasti akan didukung banyak pihak. Tabungan selama hampir 10 tahun hilang jadi debu.

Tapi alam ini memang adil, 1965 pecah pemberontakan G 30 S PKI, lalu PKI diburu, simpatisan PKI melarikan diri, bersembunyi jauh dari wilayah asal, termasuk sang Kontraktor. Rumah yang sudah dibangun, sudah rapih, ditinggal pergi. Hiero dan keluarga akhirnya bisa pindah ke rumah mereka.

Tuhan itu baik. Kebaikan akan berbalas kebaikan, keburukan akan berbalas keburukan, jangan mendekat pada keburukan, agar kebaikan tidak menjadi keburukan. Tepatlah sudah ungkapan yang sangat sering diingatkannya pada anak cucunya dan semua orang;

“Kalau tomat busuk kau dekatan dengan tomat yang bagus, maka bukan yang busuk akan menjadi bagus, tapi yang bagus akan menjadi busuk…”.

Hiero tinggal di Jalan Voli Nomor 11 Pematang Siantar hingga tahun 1988. Pada tahun 1988, Hiero pindah ke Tanjung Morawa, tinggal bersama Dameria dan suaminya Maruhum Sianipar yang saat itu menjadi Direktur Pengembangan PTP II selama 3 tahun lebih, kemudian pindah ke Medan, tinggal di rumah yang dibeli oleh Dameria dan menghembuskan nafas terakhirnya di sana.

Berusaha keras untuk perbaikan dan kebaikan sekitarnya, mendahulukan kepentingan orang banyak untuk bisa bersekolah dibandingkan keinginan pribadinya untuk mempunyai rumah bagi keluarganya. Nilai ini adalah nilai Pancasila, butir ke 2, 3, dan 4 dari sila ke-3 diamalkan dengan sempurna. Mendahulukan kepentingan orang lain diatas kepentingan pribadi dan kelompok, demi kebaikan bangsa dan negara.

Prinsip ini adalah prinsip orang Indonesia, tidak berbatas suku dan wilayah, sadar akan identitas sebagai bangsa Indonesia, semua harus bersatu untuk kepentingan Indonesia.

Buang jauh keangkuhan sebagai orang berpendidikan tinggi, buang jauh ego untuk tampil  dan mementingkan diri sendiri, jangan pernah berpikir akan pamrih, lakukan saja yang kamu bisa demi kebaikan Ibu Pertiwi.

Hiero, orang Indonesia… Kamu…?

-Roger Paulus Silalahi-

 

Artikel ini adalah seri tulisan dari “Seberapa Indonesia Kamu?”. Baca artikel sebelumnya:

Di Ambang Maut, Tuhan Bekerja dengan Cara yang Tak Disangka, Kisah Hiero Silalahi

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here