Ketika Ramadan dan Lebaran Jadi Milik Bersama

Penulis: Erri Subakti

Mungkin baru Ramadan kali ini soal takjil di-mention di mimbar gereja dan perayaan Paskah, karena munculnya fenomena war takjil dan sebagainya.

Hal yang harus disikapi dan dipandang secara positif sebagai wujud keguyuban antar umat beragama.

-Iklan-

Siapa yang puasa siapa yang seru nyari takjil. Siapa yang puasa siapa yang heboh gelar bukber, dst.

Puluhan Ramadan telah berlalu. Tak ada Ramadan yang begitu-begitu saja. Selalu berbeda tiap episodenya.

Ada Ramadan yang dijalankan begitu bebas lepas tanpa beban. Ada ramadan-ramadan yang diberi kelapangan rejeki dan keindahan silaturahmi. Ada Ramadan-ramadan yang harus berpeluh demi mengumpulkan rupiah demi rupiah. Ada Ramadan di tanah orang terpisah lautan tanpa keluarga. Ada Ramadan yang harus dilalui dengan kekhusukan. Ada Ramadan yang dilalui dengan pergulatan dan perjuangan hidup dan mati.

Tiap episodenya memberikan hikmah dan pelajaran.

Pernah ada episode Ramadan, di masa covid, 2 anak saya sekaligus kena DBD, hingga masa-masa kritis. Dan 1 anak sedang ujian sekolah. Sahur dijalani di RS dalam “kesunyian”, menanti kesembuhan anak-anak.

Ramadan kali ini buat saya begitu disibukkan dengan berbagai kerepotan kesibukan dengan urusan keluarga, kerabat, orang-orang terdekat yang membutuhkan bantuan atau kehadiran saya untuk mereka. Kurang tidur, capek, tapi demi orang-orang yang kita pedulikan hal itu bukan masalah.

Bahkan untuk baca-baca WAG dan ikut bukber grup-grup pun tidak sempat.

Mungkin jika Tuhan masih memberi kesempatan waktu bisa terus menjalin silaturahmi dengan kolega, kenalan, teman dan sahabat dalam komunitas-komunitas.

Manusia ada untuk manusia lainnya. Karena itu tetaplah bertegur sapa menjalin silaturahmi menanyakan kabar dsb. Sebab kita gak pernah tau mungkin teman kita sedang sakit, habis operasi, menjalani kemoterapi, atau sedang strugle, dlsb.

Sekecil apapun peran kita mungkin sudah ikut meringankan beban orang lain dan memberi harapan baik.

Islam rahmatan lil alamin, katanya. Kasih sayang untuk seluruh manusia dan seisi bumi. Tak perlu melihat apa agamanya.

Kadang umat Islam hanya membantu untuk mereka yang seiman saja. Ya memang sih umat Islam yang kurang beruntung hidupnya, anak-anak yatim, disabilitas, fakir miskin dll. lebih banyak umat Islam. Tapi rahmat atau kasih sayang bukan saja dalam bentuk uang atau model bansos. Kasih sayang dan kepedulian itu juga bisa dalam berbagai wujud. Buah pikiran, solusi jalan kleuar, eksistensi fisik, sikap, tindakan, bahkan doa dan harapan, serta sukacita. Itulah berbagai wujud lain rahmatan lil alamin.

Menariknya hidup bersama meski berbeda-beda. Saling melengkapi. Seperti fenomena war takjil yang “dimenangkan” oleh nonis dilanjutkan dengan eforia belanja perlengkapan lebaran juga diramaikan nonis, plus kehebohan persiapan mudik dimana nonis ikut eforia. Terlebih dengan suka cita THR, seperti dilakukan oleh bos Djarum yang menggelontorkan Rp129,9 miliar untuk THR karyawannya.

Dan taukan kamu? THR itu hanya ada di Indonesia. Dan itu buah dari perjuangan kaum komunis alias PKI. Ya sosok “hantu” yang dibenci umat Islam/beragama dalam satu masa pernah memberi tonggak penting bagi kaum beragama. Melalui SOBSI, Sentral Organisasi Serikat Buruh Indonesia, sebuah organ sayap dari PKI memperjuangkan kebutuhan kaum beragama agar pemerintah mengeluarkan keputusan mengenai adanya THR.

Indonesia memang kepingan surga. Ayat-ayat Alquran tentang surga itu seperti menggambarkan nusantara. Idulfitri menjadi Lebaran. Lebaran denga ketupat dkk. Dan segala yang awalnya adalah perintah atau ajaran Islam melebur dengan indahnya dalam bingkai budaya nusantara. Sehingga Idulfitri menjadi milik semua umat. Lebaran menjadi Hari Raya milik bersama segenap manusia di Indonesia.

Selamat menunaikan ibadah puasa. Heboh war takjil, blanja, berbagi kasih sayang, mudik dan lebaran. Siapapun Anda di mana pun dan dalam kondisi apapun

(Erri Subakti)

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here