Penulis: Ganda Situmorang
Homo Homini Lupus, Homo Homini Socius. Kedua istilah tersebut di atas tercantum oleh Thomas Hobbes dalam karyanya berjudul De Cive (1651).
Tanpa kita sadari selama lebih dari 75 tahun dininabobokkan oleh jargon mitra pembangunan dan pemberdayaan masyarakat oleh kaki tangan barat. Di situ ada Bank Dunia, IMF dan lembaga SJW bertaburan dengan program “pembangunan ekonomi” yang tak ada ujung selayaknya proyek abadi. Lihatlah USAID sejak jaman baheula asyik masyuk dengan program yang selalu hampir pasti seksi di judul program pembedayaannya dan indah pula sampulnya. Penulis pernah melakukan observasi bahwa antara 60%-75% dana hibah lembaga-lembaga proxy barat tersebut meresap di kegiatan perencanaan, operasional dan monitoring dan pelaporan berupa kegiatan di hotel-hotel terbaik di kota dan dokumen pajangan berdebu di rak buku. Di situ termasuk “konsultan-konsultan” expatriat negara asal yang gajinya setinggi langit. Sebagian kecil saja yang menetes langsung ke masyarakat sasaran di tingkat tapak. Proyek-proyek ini tidak lebih dari data mining dan kosmetik saja sebagai pemanis sistem kapitalisme barat yang rakus tak kenal ampun menghisap darah negara-negara dunia ketiga.
Maka jangan heran jika suara para aktor SJW cenderung sumbang ke pemerintah dan manis ke pihak barat. Itu sudah layak dan sewajarnya ibarat anjing menggonggong khafilah tetap berlalu. Tak ada anjing yang akan menggigit tangan tuannya sendiri.
Lantas mari kita lihat hari ini.
China dengan platform sosialis ekonomi gotong royong (sharing economy). Dalam jangka hanya 20 tahun, satu contoh ALIBABA berhasil mengangkat ratusan juta pelaku UMKM di China dari garis kemiskinan. Para pelaku UMKM tanpa model-model ekonomi njilimet ala universitas barat berhasil diangkat oleh Alibaba menjadi entrepreneur handal, bankable dan scalable hingga menjadi pemain global. Lebih separuh barang manufaktur ekspor China diproduksi oleh UMKM salah satunya melalui binaan marketplace ALIBABA.
Faktanya di Indonesia adalah setengah abad Freeport mengeruk emas di Bumi cendrawasih Papua dengan dibumbui berbagai program kosmetik dari USAID. Setali tiga uang, Jepang praktis menguasai industri hulu-hilir otomotif tanpa alih teknologi. Indonesia tetap hanya kebagian penghasil bahan mentah semata.
Oleh Presiden Jokowi, China dan investor asing lainnya sekarang “dipaksa” hanya dalam dua tahun membangun industri hilir. Indonesia sekarang berhasil keluar dari jebakan eksportir bahan mentah. Smelter, pabrik baterai hingga pabrik mobil listrik kini berdiri di Bumi Pertiwi.
Kembali ke Alibaba, keberhasilan platform ekonomi gotong royong tentu ditopang oleh kepemimpinan kuat Xi Jing Ping. Dengan pemimpin yang kuat maka kondisi pemungkin berkembangnya sharing economy bisa tercapai berkat stabilitas politik dan kepastian regulasi serta penegakan hukum yang tegas.
Alibaba dengan Alipay membuat sistem kartu gesek Visa dan Mastercard yang selama ini dimonopoli barat menjadi sedemikian usang. Sistem pembayaran peer to peer di China begitu melambung tinggi hingga sistem Swift Barat kelihatan seperti dinosaurus hidup. Bagaimana tidak, dengan modal satu smart phone, seorang emak-emak di rumah dalam hitungan 5 menit bisa melakukan set up online bisnis yang menjangkau pasar ke seluruh dunia maya dan bankable pula!
Yang paling gress dari China adalah TikTok. Platform TikTok Shop adalah salah satu tsunami disrupsi ekonomi bagi sistem ekonomi neo imperialis Barat. Semua orang siapapun tanpa kecuali sekarang memiliki kesempatan di ujung jari menjadi pelaku usaha. Tak perlu daftar ke OSS BKPM, SIUP, TDP dan hantu blau tetek bengek lainnya. Cukup dengan verifikasi KTP dan Know Your Customer (KYC)!.
Sistem sharing economy timur begitu praktis dan efisien memangkas birokrasi kompleks dan jalur distribusi tradisional barang dan jasa bahkan dengan biaya transaksi minimum bahkan nyaris nol persen hanya bermodalkan kemauan, smartphone dan internet. Bandingkan dengan bank konvensional yang begitu rajin menyunat rekening nasabahnya bahkan hanya untuk mengintip dan menitip saldo rekening yang tidak seberapa pun dikenakan minimal biaya administrasi bulanan yang seiring waktu saldonya menjadi habis. Nol!!!
Rasanya tak berlebihan jika penulis menyatakan bahwa TikTok dan e-marketplace lainnya telah menyelesaikan sebagian besar PE ER Kementerian sektor UMKM. Tanpa satu rupiah pun membebani APBN!.
Kartu kredit ritel Citibank yang pernah begitu jumawa dimulai dari awal tahun 90an pun keok terkapar oleh peer to peer lending yang lebih dikenal sebagai pinjaman online (pinjol). Per tahun 2022 Citibank ritel sudah angkat kaki dari Indonesia. Tanpa menafikan berbagai efek negatif seperti jeratan pinjol nakal dan ilegal. Model sharing economy yang didukung oleh disrupsi teknologi 4.0 yang dimotori China benaran mengubah lanskap sektor riil keuangan global.
Per tahun 2021 China berhasil menghapus kemiskinan 100%. Sementara di belahan Dunia Barat; pengangguran, kemiskinan akut sedang melanda. Kejahatan oleh kaum miskin pun meningkat demi menyambung hidup. Dan solusinya adalah kejahatan seperti penjarahan yang nilainya di bawah USD 1.000 dolar bebas pidana!
Sistem ekonomi gotong royong pula yang berhasil menetaskan berbagai start up unicorn asli anak bangsa. Di situ ada Gojek, Tokopedia, Traveloka dan lain-lain. Puluhan start up di Indonesia telah lahir, tumbuh dan berkembang seperti jamur di musim penghujan.
Di sini masyarakat +62 semakin cerdas bisa membedakan mana emas dan loyang. China yang selalu dituding asing dan komunis sejatinya adalah berada dalam kelompok negara paling maju dan sejahtera di dunia saat ini. China adalah negara dengan penduduk miskin 0%.
Lantas apa yang salah kalau kita Indonesia, sesama bangsa Asia mengikuti kemajuan China?
Teluk Balikpapan, 15 April 2022.