Kepada Bapak Kapolri Jenderal Pol. Listyo Sigit: “Maybe Lie Detector in Indonesia be a Lier, Why?”

Penulis: Togap Marpaung
Inspektur keselamatan radiasi
Pengguna nuclear detector yang dipaksa pensiun

Lima hari terakhir ini media sangat riuh dengan berita terkait lima orang tersangka kasus pembunuhan Brigadir J yang diperiksa dengan alat lie detector (LD). Kesimpulan hasil pengujian tiga orang adalah jujur (no deception indicated) dan dua tersangka lain dan satu lagi bukan tersangka belum diumumkan oleh Polri. Komentar para lawyer dan pensiunan perwira tinggi Polri serta keterangan dari Polri menjadi riuh. Penulis pun menjadi ter-trigger untuk memberi komentar.

Perbicangan antara tiga sahabat yang serius tapi santai terkait alat deteksi secara umum di bagian bawah ini, khusus ditujukan kepada Yang Terhormat Bapak Kapolri sesuai dengan judul. Dan… mohon izin info, ada dua kasus masih berproses di Polda Metro Jaya yang dilaporkan oleh penulis.

-Iklan-

Togap Marpaung (TM): Lawyer komen tentang lie detector menjadi ribet adalah wajar. Komen singkat adalah… yang namanya alat deteksi (detector) baik untuk medeteksi radiasi peng-ion maupun bukan pengion lazim memenuhi persyaratan. Untuk menjamin akurasi pengukuran, ada 5 (lima) pertanyaan yang relevan untuk detektor, yaitu:

  1. Apakah detektor wajib dikalibrasi?
  2. Jika wajib, apakah masa kalibrasinya masih berlaku?
  3. Adakah laboratorium kalibrasi detektor tertelusur?
  4. Apakah orang yang mengoperasikan detektor harus bersertifikat?
  5. Apakah Standard Operating Procedure (SOP) detektor dibuat sesuai petunjuk pabrikan?

Salam Akurat

TM: Tolong komen, ya pak NN selaku pakar alat kesehatan (alkes) yang juga pakar alat ukur radiasi (AUR) atau alat ukur nuklir (nuclear detector) dan bukan alat ukur radiasi (non AUR). Apakah LD dapat dikategorikan sebagai alat kesehatan?

Lima pertanyaan yang saling terkait di atas berlaku untuk AUR. Memang tidak relevan kalau nuclear detector disandingkan dengan lie detector karena prinsip kerja kedua jenis detektor tersebut sangat berbeda, detektor dan objek berbeda!!!

Bila tidak salah, prinsip kerja LD seperti Electro Enchephalograpy (EEG) tetapi tujuan penggunaan alat pun berbeda pula.

NN: Mengenai Lie Detector saya belum pernah tau tentang alat ini, tetapi kemungkinan alat ini bekerja dan dianalisis seperti hamya EEG (Electro Enchephalograph) dan alat ini seharusnya bisa dikalibrasi secara elektronik. Masalahnya seperti yang pak Togap sebutkan, apakah alat tersebut pernah dikalibrasikan? Dan saya kurang tau apakah sebagai alat kesehatan (alkes), tapi seandainya pun tidak…, bisa sebagai alat ukur di LIPI (maksudnya di BRIN), yang sebagai legalnya bila memang bisa digunakan sebagai alat bukti.

TM: Terima kasih pak NN, senang dengan responnya. Lebih mendalam lagi, iya. Saya percaya LD ini dapat digunakan sebagai pembanding yang hasilnya “relatif benar” karena negara-negara maju sudah menggunakan sejak puluhan tahun lalu, yang ketika itu kedahsyatan teknologi elektronik belum seperti sekarang ini. Bagaimana publik bisa percaya jika operatornya adalah polisi? Karena operatornya bisa mendapat tekanan dari atasan, nurut perintah, juga si operator belum tentu kompeten.

NN: Operator seharusnya kompeten pak, artinya sesuai SOP dalam hal pemasangan elektrode pada “pasien yang utama adalah Lie Technician atau “dokter” yang membaca dan menganalisis hasil rekaman (graph), apakah benar kompeten bersertifikat (tertelusur). Tapi tetap sementara ini hanya bisa dijadikan sebagai pembanding.

TM: Apakah operator benar kompeten sebagaimana yang dijelaskan pak NN? Info dari media on line terkait alat LD.  “Perusahaan Converus mengklaim sistem perangkat lunak pelacak mata miliknya itu akurat hingga 86 samapai dengan 88 persen. Setidaknya, sistem mereka disebut sudah digunakan lebih dari 600 pelanggan di 50 negara, termasuk lebih dari 65 lembaga penegak hukum AS hampir 100 persen di seluruh dunia”. Agar info valid, link media on line pun dibagikan kepada pak NN.

TM: Ya, betul LD sebagai pembanding untuk menguatkan hasil investigasi dari proses penyidikan. Oh, iya… saya berniat membuat ulasan ringkas di media on line sebagai suatu tinjauan (review) oleh seorang pengguna nulear detector. Tolong pak NN memperkaya tulisan saya. Tks.

Agar perbincangan serius tapi santai, saya pun mengutip sebagian berita media on line yang yang dianggap relevan. “Indonesia sendiri baru mengenal alat pendeteksi kebohongan atau lie detector ini pada tahun 1994. Keberadaan alat tersebut menjadi salah satu mekanisme legal yang digunakan Kepolisian RI sebagai upaya dalam mengungkapkan sebuah kasus kejahatan. Hingga saat ini belum ada informasi akurat mengenai sistem pada lie detector apa yang digunakan oleh pihak Kepolisian. Namun, cara kerjanya disebut mengandalkan respons fisik tubuh manusia yang terjadi pada umumnya, denyut jantung, penambahan keringat hingga helaan napas.” Reporter: Trivosa Ginting.

TM: Pihak Polri bisa menggunakan hasil analisis LD sesuai kepentingan mereka, padahal ada keraguan dari anggota masyarakat yang kritis dan logis. Nah, supaya menjadi kritis dan logis harus didukung basis ilmiah, pak NN pakarnya.

NN: Maaf pak, saya tidak paham, kuasai tentang alat ini, saya hanya menganalogikan alat LD ini dengan alat medik EEG atau juga Sleep Lab, karena saya pikir LD ini memanfaatkan atau mengambil data dari kegiatan otak manusia yang berupa signal electronic. Demikian juga dengan signal electronic dari bagian tubuh lain seperti ECG, EMG, tekanan darah, eye detector atau lainnya yang bisa diambil dan di-analisis serta diinterpretasikan oleh orang yang mungkin disebut sebagai: technician/dokter/ ahli bersertifikasi sesuai keilmuannya.

TM: Analisis pak NN sudah cukup memadai untuk memperkaya khasanah pemahaman karena berbasis ilmiah. Saya sudah baca beberapa tulisan di media termasuk Halo dokter untuk menambah pengetahuan. Saya coba googling info.. tahun berapa LD milik Polri yang digunakan saat ini? Saya belum dapat. Hasil analisis LD bisa lebih meyakinkan publik jika kategori Qualified Expert (QE) dalam bidang LD hadir sebagai Supervisor, QE yang dimaksud dari negara asal pabrikan LD.

TM: Lebih tepat jika operator merangkap sebagai interpreter hasil pengukuran LD, seperti alat kesehatan jenis USG. Tentu dia dibantu seorang asisten supaya lebih yakin SOP telah sesuai. Yang paling utama, ada 2 hal: (1). LD yang digunakan masih direkomendasikan oleh pihak pabrikan di luar negeri melalui vendor di dalam negeri; dan (2) Orang yang mengoperasikan LD kompeten dan berintegritas serta konsisten.

NN: Apapun sebutan yang mengoperasikan alat LD monggo tetapi untuk alat yang seperti ini biasanya kalau penggunaan elektroda, atau parameter lain salah maka mesin akan memberikan notifikasi.

TM: Nah, info parameter harus dijamin kebenarannya dengan sikap kejujuran karena kasus ini melibatkan petinggi Polri dan menjadi atensi publik hingga beritanya bisa mendunia.

NN: Maksudnya direkomendasikan apanya pak? Tentu kan vendor akan memperkenalkan alatnya, pilihan ditentukan oleh user. Dan sudah pasti bahwa semua orang yang terlibat untuk penggunaan peralatan HARUS kompeten dan berintegritas. Kalau tidak sudah cacat dari awal.

TM: Bahwa LD yang digunakan memenuhi Standards (standar teknis).

NN: Yang saya maksud parameter dalam komentar saya itu adalah parameter signal yang akan diambil datanya… bukan yang lain.

TM: Ada keraguan karena tiga orang TSK berperilaku JUJUR dan tiga lagi belum diumumkan.

NN: Saya tidak tau referensi standard LD ini.

TM: Ok lah, pihak Polri seharusnya menunjukkan sertifikat teknis LD yang menyatakan layak digunakan. Gitu pak. Ada pihak vendor hadir memberi jaminan teknis. Pola pikir saya sebagai insan pengawas yang dibina Pimpinan Bapeten era dulu. Termasuk saran yang diberikan oleh pak NN ketika kita berdiskusi sebagai sahabat.

NN: Tidak hanya alatnya yang bersertifikat (kalibrasi) atau jaminan teknis tetapi terutama juga siapa technician/dokternya dan apakah bersertifikat dari keilmuannya?

TM: Iya iya lah. Dua poin tersebut, saya sudah sebut di atas. Berarti keprihatinan saya didukung pak NN.

NN: Ok (memberi tanda dua jempol). Nah seperti halnya bapak sebutkan ada pengawas, mungkin kalau di RS itu komite mediknya atau Bapeten-nya. (Pak NN pun memberi tanda ketawa).

TM: Instansi mana yang berwenang mengawasi penggunaan LD? Tks pak NN.

NN: Kalau di Polri, ya mungkin komite etik nya pak.

TM: Ada dan efektifkah? Itu keraguan kita pak.

NN: Repot pak kalau sudah ada keraguan, sudah tidak ada “trust”, ya apapun itu pasti saja diragukan. Pasti komennya: masa iya sih???

TM: Fakta kan pak, kasus Brigadir J khususnya. Saya sudah mengalami sendiri, 8 X buat laporan polisi (LP) dugaan pidana. Tidak satu pun menjadi TSK. Ada 2 kasus (dugaan korupsi dan pengurangan video) yang masih berproses di Subdit 5. Korupsi dan Subdit 3. Sumdaling Dit. Reskrimsus Polda Metro Jaya. Dua LP yang dihentikan penyelidikan secara resmi. Ada lagi 3 X gugatan sengketa di PTUN dan mau 2 X di KIP, 1 X sudah selesai.

TM: Saya akan tulis besok kalau dianggap relevan sebagai bahan bacaan di media sosial untuk memperkaya wawasan sehingga aparat penegak hukum (polisi dan penasehat hukum) dapat membaca, debatnya makin ilmiah. Debat itu sehat asalkan niat baik dan jujur.

NN adalah singkatan dari no name.

Sebelumnya, penulis juga terlebih dahulu mengontak Bapak XX, seorang dosen Teknik Biomedis Universitas di Tangerang. 

TM: Apakah LD dapat dikategorikan sebagai alat kesehatan? Tolong komen pak selaku pakar alat kesehatan dan alat deteksi (detector).

XX: Mohn maaf pak saya gak paham kerja lie detector itu hahahaha. Sepintas sih seperti patient monitor begitu yah? Memantau denyut jantung, ECG, respirasi, SpO2 (mungkin?), bioresistance, etc.

TM: Ok bro. Saya ragukan hasil LD karena rentan dimainkan hehehe…

Chatting tidak diteruskan lagi karena penulis fokus pada perbincangan dengan pak NN.

Sewaktu tugas, penulis pernah Koordinator Penyusunan tiga Peraturan Pemerintah dan puluhan Peraturan Kepala Bapeten yang mengatur persyaratan administrasi (kualifikasi personil) dan persyaratan teknis (sesuai ISO) terkait alat kesehatan pemancar radiasi (pengion). Juga berpartisipasi menyusun Peraturan Menteri Kesehatan terkait radiologi diagnostik dan intervensional, radioterapi dan kedokteran nuklir.

Kiranya Bapak Kapolri memberi atensi pada dua kasus yang sedang berproses di Subdit 5. Korupsi dan Subdit 3. Sumdaling Dit.Reskrimsus Polda Metro Jaya sehingga karir penulis dapat berlanjut aktif kembali mengabdi di Bapeten.

Jakarta, 12 September 2022

Salam hormat,
ttd.
Togap Marpaung

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here