Penulis: Erri Subakti
Di era 90-an, sekelompok anak baru gede beranjak remaja hang out di lantai sebuah gedung di Jl MH. Thamrin kav. 21, sebelah Sarinah, yang saat itu menjadi bioskop Studio 21 paling mentereng se-Indonesia. Salah satunya kenal dengan anaknya Yapto.
Cuma karena kenal dengan anaknya Yapto, lagak-lagu abege-remaja itu langsung pede-nya nyundul langit.
Yapto dikenal sebagai Ketua Umum Pemuda Pancasila. Apalagi di era Orde Baru, organisasi kepemudaan ini dikenal dekat dengan rezim Soeharto.
Pokoknya baru punya temen yang kenal dengan anaknya Yapto, rasanya udah bisa petantang-petenteng ngajak berantem orang lain.
Masa berganti kekuasaan berganti jabatan berputar. Organisasi tersebut sudah tidak lagi ada di sentral kekuasaan negeri ini. Ada sih dekat-dekat juga, tapi tak lagi signifikan.
Segala sesuatu ada masanya, segala apapun di bawah langit, ada waktunya. Begitu kata Bibel.
Dulu SBY kenyang jadi penguasa 10 tahun, AHY kenyang jadi anak presiden untuk 2 periode. Ring 1 Partai Demokrat kenyang dengan 10 tahun berbagi kue kekuasaan. Dekat dengan Demokrat saat itu berarti dekat dengan penguasa. Mungkin kenal dengan office boy di kantor DPP PD rasanya sudah bisa petantang-petenteng ngaku-ngaku dekat dengan SBY.
Masa itu telah usai, kader-kader “terbaik” Demokrat banyak yang tergoda pengumpulan harta haram hingga masuk penjara lewat KPK.
Mantan presiden pun nampaknya juga masih belum rela benar turun tahta. Hingga menyiapkan anaknya untuk bisa masuk kembali ke istana negara. Segitunya….
Sudahlah pak tua…. partai itu bukan milikmu. Partai itu bukan perusahaan milik nenek moyangmu atau leluhurmu. Bukan partai keturunan keluarga. Partai itu didirikan oleh orang-orang yang kini sudah bukan siapa-siapa lagi di negeri ini. Menerima kekalahan partainya dalam politik kini.
Beratkah beban di masa tuamu ini? Sehingga masih harus melindungi putera sulungmu dari kursi pimpinan partai.
Mungkin apa yang kau tabur kini sedang kau tuai. Kau merebut dan mengakuisisi partai itu menjadi seakan-akan milik keluargamu. Sayangnya kau cuma inginkan kuasa tanpa memancangkan ideologi yang kuat untuk kader-kader partaimu. Kekuasaanmu di partai itu sebenarnya hanya “seakan-akan”, bukan sesungguhnya.