“Kejujuran” Arteria Dahlan dan Bambang Pacul, Menyoal RUU Perampasan Aset

Penulis: Roger P. Silalahi

Di DPR periode 2019-2024 ada 9 partai yang punya kursi, masing-masing:
1. PDIP 128 kursi
2. Golkar 85 kursi
3. Gerindra 78 kursi
4. Nasdem 59 kursi
5. PKB 58 kursi
6. Demokrat 54 kursi
7. PKS 50 kursi
8. PAN 44 kursi
9. PPP 19 kursi
Inilah partai-partai yang berperan menyusun apa yang sering kita dengar sebagai Prolegnas (Program Legislasi Nasional), atau mudahnya dapat disebut daftar RUU yang akan dibahas dalam waktu tertentu (1-5 tahun).

RUU yang bersifat penting seharusnya masuk dalam Prolegnas, terlebih RUU terkait Tindak Pidana Luar Biasa. Sementara ketika sebuah RUU dianggap penting maka RUU tersebut dimasukkan ke dalam Prolegnas Prioritas, yang harus tuntas dalam jangka waktu 1 tahun.

-Iklan-

Apakah RUU Perampasan Aset harus ada dalam Prolegnas untuk dapat dibahas dan disahkan sebagai Undang Undang? Jawabannya: “Ya…!”

Pasal 111 ayat 3 Peraturan DPR 1/2014 menyatakan bahwa RUU dapat diajukan di luar Prolegnas, yaitu RUU yang meliputi:
a. Meratifikasi konvensi atau perjanjian internasional;
b. Mengisi kekosongan hukum akibat putusan Mahkamah Konstitusi;
c. Mengatasi keadaan luar biasa, keadaan konflik, atau bencana alam; atau
d. Mengatasi keadaan tertentu lain yang memastikan adanya urgensi nasional atas suatu RUU yang dapat disepakati oleh Badan Legislasi dengan menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang hukum.

Jadi bahkan tanpa masuk Prolegnas pun RUU Perampasan Aset seharusnya segera dibahas dan disahkan dalam waktu 1 tahun. Korupsi adalah Kejahatan Luar Biasa, jika tidak, maka tidak akan ada “Super Body” bernama KPK.

Korupsi dianggap kejahatan luar biasa karena dilakukan secara sistemik, kompleks dan terencana oleh para penyelenggara negara. Korupsi sistemik terjadi ketika semua pihak di sebuah negara bisa melakukannya, mulai dari tataran terendah hingga posisi tinggi di pemerintahan, dari “petty corruption” (korupsi kecil) hingga “grand corruption” (korupsi besar).

Besar atau kecil judulnya tetap sama, Korupsi, posisinya tetap sama, yaitu Kejahatan Luar Biasa. Lalu kenapa RUU Perampasan Aset tidak kunjung dibahas? Mengapa Prolegnas dijadikan penghalang? Pastilah karena hal khusus, sebagaimana dinyatakan secara jujur oleh Bambang Pacul yang videonya tersebar massif dan viral.

Bambang Pacul di video tersebut menjawab pertanyaan dari Mahfud MD atas pertanyaan terkait RUU Perampasan Aset dan Prolegnas dengan sederet kata-kata yang membuat seluruh ruangan tertawa, bukan karena bodoh, tapi karena ‘ngablak’ bin ‘blak-blakkan’. Bambang Pacul menerangkan bahwa RUU Perampasan Aset siap untuk dibahas, bila ada perintah dari Ketua Partai; “Jadi tolong lobby Ketua Partai…”, demikian ujar Bambang Pacul.

Semua tertawa, ada yang hanya tersenyum, dalam hati mereka pasti ada yang bicara; “Gila Bambang, nekat dia bicara begitu…”, pasti ada juga yang kecut senyumnya dan pasti ada yang mencibir sepenuh hati segenap jiwa.

Kejujuran seperti ini harus lebih banyak diungkapkan pada publik, agar rakyat tahu dan paham ke mana telunjuk mereka harus diarahkan, kepada siapa.

Lain Padang Lain Ilalang, Lain Bambang, Lain pula Arteria Dahlan

Anggota DPR yang senang viral layaknya selebriti dan banyak mendapatkan perhatian ini punya jawaban lain. Arteria Dahlan menyatakan “Kejujuran” yang “Sangat Jujur”, mengungkap bahwa sebenarnya Anggota Dewan terlibat dalam tindak pidana menutupi berbagai tindak pidana yang ada, bahasa kerennya “Obstruction of Justice”.

Arteria Dahlan mengatakan; “DPR ini Pak, tahu semua salahnya orang Pak, aibnya tahu, tapi kami berdisiplin, tidak mengumbar aib, karena buat apa aibnya diumbar kalau masalahnya tidak selesai, itulah DPR Pak…”, “Tahu semuanya kelakuan orang di sini, tapi kita jaga betul penghormatan antar lembaga…”.

Pernyataan yang (maaf) bodoh sehingga menjadi tertawaan banyak orang.

Kalau tahu, bukan umbar, tapi tindaklanjuti, selesaikan. Menutup aib itu bukan bentuk kedisiplinan tapi kesepakatan, persekongkolan.

“Penghormatan Antar Lembaga” itu bentuk fitnah yang keji terhadap lembaga yang ada, kecuali dibuktikan. Arteria juga menyampaikan bahwa; “Partai politik ini sudah mewakafkan diri untuk selalu di-bully“.

Mengerikan sekali bahasa “Penghormatan antar lembaga” itu, wahai Bapak Arteria Dahlan, itu bukan penghormatan, tapi “TST”, di dunia persilatan dikenal dengan; “Satu guru satu ilmu dilarang saling mengganggu”, atau di jalanan disebut; “Sesama bis kota dilarang saling mendahului”.

Jadi sebenarnya orang yang paling banyak melakukan kejahatan itu para Anggota Dewan yang terhormat ya…?

Arteria juga menyampaikan bahwa; “Partai politik ini sudah mewakafkan diri untuk selalu dibully”. Pilihan kata yang luar biasa, “mewakafkan”, untuk Masjid atau untuk Makam Pak…? Janganlah jadi pengikut penjual agama dengan menggunakan istilah yang sakral dan agamis, hanya agar terkesan “relijiyes” kalau kata anak sekarang.

Pasal 221 KUHP, menyebutkan pengertian obstruction of justice adalah suatu tindak pidana yang dilakukan oleh pelaku yang terbukti berupaya untuk menghalang-halangi suatu proses hukum. Sementara Pasal 21 UU Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang mengatakan, setiap orang yang yang dengan sengaja mencegah, merintangi, atau menggagalkan secara langsung atau tidak langsung penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di sidang pengadilan terhadap tersangka dan terdakwa ataupun para saksi dalam perkara korupsi, dipidana dengan pidana penjara paling singkat tiga tahun dan paling lama dua belas tahun dan atau denda paling sedikit Rp150 juta dan paling banyak Rp600 juta.

Kedua pasal tersebut layak dipertimbangkan menyikapi “kejujuran” Arteria Dahlan dalam dengar pendapat dengan Prof. Mahfud MD yang videonya tersebar luas. Arteria lupa bahwa keterbukaan informasi jaman sekarang harus disikapinya dengan baik dan hati-hati.

Sekarang, seluruh rakyat Indonesia tahu bahwa DPR itu “menghormati” pelaku aib di negeri ini, dan sangat berdisiplin menutupi segala aib antar lembaga.

Jadi sudah jelas ya, RUU Perampasan Aset secara terbuka diakui DPR terhambat karena 2 hal:
1. Ketua Partai
2. “Penghormatan” Aib Antar Lembaga

Berarti penyelesaiannya mudah, tinggal dilihat partai mana yang sekarang duduk di DPR lalu minta Ketua Umum partai-partai tersebut untuk mengeluarkan pernyataan mendukung pembahasan dan pengesahan RUU Perampasan Aset. Bila tidak mau, maka sang ketua dan partainya menghambat RUU Perampasan Aset, atau dengan kata lain mendukung tindak pidana korupsi.

Setelah ada pernyataan dari Ketua Partai, (sebenarnya cukup PDIP, Gerindra, dan Golkar), maka RUU tersebut akan “terpaksa” dibahas dan disahkan, dan selanjutnya banyak yang akan mendadak miskin dan mendadak masuk penjara.

Jangan pilih partai yang tidak mendukung pengesahan RUU Perampasan Aset, siapapun calon Presiden yang diajukannya. Nasionalis akan berusaha memperbaiki Indonesia, tidak diam, apalagi menghambat RUU Perampasan Aset.

Bertrand Arthur William Russell, seorang intelektual Inggris, ahli matematika, filsuf, dan penggiat logika, dalam salah satu bukunya pernah mengatakan hal terkait “Kejujuran” yang kira-kira bunyinya;

“Kita cenderung berpikir bahwa orang bodoh akan lebih jujur daripada orang pintar, dan hal itu dimanfaatkan politisi dengan berpura-pura lebih bodoh bahkan dari kebodohan mereka yang sebenarnya…”

Roger P. Silalahi

1 COMMENT

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here