Penulis: Togap Marpaung
Pengawas nuklir yang dipaksa pensiun karena bongkar kasus korupsi dan perizinan
Tulisan kedua ini merupakan lanjutan dari tulisan pertama, judul: “Dua Periode Presiden Jokowi: Dua Dirjen Perdagangan Luar Negeri Terlibat Kasus Perizinan, Reformasi Birokrasi Gagal?”
Penulis menyorot gebrakan Jaksa Agung Burhanuddin bahwa tidak hanya mengungkap kejahatan yang dilakukan oleh mafia minyak goreng tetapi juga mafia perizinan. Mafia pebisnis minyak goreng telah menjadi tersangka dan pelakunya berasal dari pihak swasta, sedangkan mafia perizinan yang juga telah menjadi tersangka adalah abdi negara di instansi pemerintah.
Penamaan mafia disematkan masyarakat karena betapa merasa jengkelnya terhadap ulah persengkokolan yang bersifat rahasia dari kelompok kejahatan tersebut, yang ternyata ada di pihak swasta dan pemerintah. Mafia dari pihak swasta masih dapat dimengerti karena mereka berupaya untuk memperoleh keuntungan yang sebesar-besarnya meskipun melanggar hukum dan ngerinya mafia itu terus berupaya lagi untuk mempengaruhi aparat penegak hukum supaya ancaman hukuman bisa dihentikan atau dikurangi seminimal mungkin dari dakwaan jaksa sehingga majelis hakim memutuskan hukuman sesuai kemauan mafia, ringan!
Penyebutan mafia sangat akrab ditelinga publik karena ada mafia peradilan yang pelakunya disinyalir terdiri dari beberapa pihak, yaitu penasehat hukum dari terpidana dan aparat penegak hukum mencakup pihak kepolisian, kejaksaan dan kehakiman.
Menjadi pertanyaan penulis, mafia perizinan di instansi pemerintah, apakah masih tepat dialamatkan di era kekinian yang sudah memberlakukan reformasi birokrasi di instansi pemerintah? Berbagai upaya perbaikan dengan memperbaiki sistem birokrasi yang taat asas transparansi dan akuntabel yang diberikan pada setiap pejabat yang mengemban tanggungjawab sesuai wewenangnya. Sebagai contoh, untuk menilai kinerja setiap pejabat harus ada penilaian dari bawahannya, tidak hanya staf yang dinilai oleh pejabat sebagai sistem penilaian kinerja perilaku bagi Aparatur Sipil Negara.
Faktanya masih ada! Tidak mudah urusan perizinan diselesaikan pada tiap level instansi pemerintah meskipun sudah diatur sesuai standar pelayanan dalam sistem perizinan. Berbagai upaya pencegahan telah dibangun, telah dihindari bertatap muka antara pemohon izin dengan petugas yang melayani perizinan. Pelayanan sudah secara on line. Ada jaminan cepat, batasan waktu, transparan dan jujur.
Namun, sebagaimana sudah diketahui publik karena bersifat rahasia umum bahwa urusan perizinan di tingkat Dinas Pemerintah Kota Madya atau Kabupaten pun bisa sangat rumit, malah terjadi transaksi pungutan liar, misalnya urusan akte tanah. Ada pihak-pihak dari dalam dan luar instansi bermain, mafia tanah ini yang paling riuh dan ricuh, korbannya banyak.
Untuk instansi kementerian dan non kementerian, seperi kasus yang terjadi di Kementerian Perdagangan (Kemendag) yang mana pejabat tinggi eselon 1, Direktur Jenderal Perdagangan Luar Negeri (Dirjendaglu) menjadi tersangka, apakah tepat disebut bahwa kasusnya adalah ulah mafia perizinan?
Setelah hampir sekitar dua minggu kasusnya berlalu, hanya satu orang yang menjadi tersangka di Kemendag, yakni Dirjendaglu. Dengan demikian, hampir dapat dipastikan bahwa tidak ada keterlibatan beberapa orang atau minimal satu orang pejabat di bawahnya.
Dalam struktur organisasi Dirjendaglu, ada beberapa orang pejabat eselon dua sebagai bawahannya, yaitu direktur terdiri dari: (1) Direktur Ekspor Produk Pertanian dan Kehutanan; (2) Direktur Ekspor Produk Industri dan Petambangan; (3) Direktur Impor; (4) Direktur Fasilitas Ekspor dan Impor; (5) Direktur Pengamanan Perdagangan; dan (6) Sekretaris Dirjendaglu. Kemudian, ada puluhan orang lagi pejabat eselon tiga sebagai bawahannya, yaitu Kepala Subdirektorat yang menjadi motor kegiatan, yang mengevaluasi permohonan izin ekspor dan persetujuan ekspor.
Dari struktur organisasi Dirjendaglu tersebut, dapat dimaknai bahwa dua pejabat eselon dua, yaitu: (1) Direktur Ekspor Produk Pertanian dan Kehutanan; dan (2) Sekretaris Dirjen Daglu serta satu orang lagi Kepala Subdirektorat yang langsung dibawahnya Direktur Ekspor Produk Pertanian dan Kehutanan yang mestinya mengetahui secara administrasi dan teknis permasalahan ekspor minyak goreng tersebut. Mereka berpotensi jadi tersangka, ternyata tidak ada hingga hari ini. Kalau bidikan ke atas atau sejajar jabatan Dirjendaglu, tak taulah, tidak ada infonya.
Dari pemantauan berita media bahwa Kejaksaan Agung sudah menggandeng Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) dan Badan Pengawas Keuangan dan Pembangunan (BPKP) untuk menghitung jumlah kerugian negara terkait dugaan korupsi izin persetujuan ekspor (PE) fasilitas ekspor crude palm oil (CPO) atau mafia minyak goreng.
Media menambahkan, Jaksa Agung Muda Pidana Khusus (Jampidsus) Kejagung Febrie Adriansyah menyampaikan bahwa kasus mafia minyak goreng dinilai telah berdampak tak hanya perekonomian negara. Nah, info ini semakin menarik untuk diikuti dan ditelaah.
Dari informasi di atas, penulis memberi saran agar kiranya Jaksa Agung sebagai pimpinan tertinggi Kejagung supaya berkenan untuk mengajak Tim Teknis yang berasal dari Kemendag dan Kemenperin juga Kemenkeu bekerjasama dengan Tim Audit Investigasi Kerugian Negara duduk secara bersama untuk membahas secara mendalam dari berbagai aspek terkait dampak buruknya, karena ada info tak hanya kerugian negara. Harapan masyakat, hasil dari Tim Hukum Kejagung menjadi maksimal karena segala daya upaya sudah dioptimalisasi.
Publik juga bertanya-tanya, mengapa Kejaksaan Agung yang menerjang gagah permainan tiga orang mafia minyak goreng dan satu orang mafia perizinan? Bagaimana Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) tidak tampil di depan yang menjadi pendobrak atau tidak bisa melakukan Operasi Tangkap Tangan (OTT)? Juga ada yang bertanya, mengapa Kepolisian Republiksi Indonesia (Polri) tidak maju lebih dulu seperti tahun 2015 yang menangkap Dirjendaglu terkait kasus dwelling time?
Mencermati terungkapnya mafia minyak goreng, patut diduga kuat bahwa pelapor yang adalah whistleblower kasus perizinan dan berujung pada korupsi, diinisiasi orang dalam Kemendag. Lalu… bagaimana dengan aduan dari pihak Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM)? Mungkin juga ada aduan dari LSM, kayaknya info yang diperoleh nggak akurat, tidak dari internal Kemendag. Biasanya, pelapor lebih mendahulukan laporannya ke KPK karena pertimbangan lebih tepat dan cepat gebrakannya. Tetapi, tidak KPK yang menggebrak.
Pihak Direktorat Dumas KPK memerlukan waktu untuk mendalami laporan, bisa sekitar dua sampai tiga minggu. Kemudian, pihak Dumas meminta lagi bukti kerugian negara yang konkrit di atas Rp 1 miliar sesuai ketentuan bila melapor ke KPK. Barangkali, oleh karena pelapor hanya menyampaikan informasi yang disertai bukti sebagai analisis potensi kerugian negara melalui pengaduan masyarakat (Dumas) KPK, yang belum cukup sebagai bukti permulaan perbuatan melawan hukum. Pelapor pun akhirnya mendiamkan laporannya dan beralih membuat laporan ke Kejaksaan Agung.
Seiring berjalannya waktu, laporan mendapat atensi, yang bisa jadi melalui operasi intelijen Kejaksaan Agung sudah mengerahkan segala potensi sehingga diperoleh bukti akurat dan terjadilah penggeledahan dan penangkapan terhadap keempat tersangka.
Instansi penegak hukum Kejaksaan Agung memang sedang diperbincangkan publik secara positip karena gebrakannya yang dianggap pro penegakan hukum, tuntutan dakwaan kepada penjahat dianggap publik setimpal dengan perbuatan oarng terpidana dan berproses tepat waktu, tidak mengendap seperti di instansi penegak hukum lain.
Bisa jadi, pelapor dari internal Kemendag sudah memang tidak berniat sejak dari awal menyampaikan laporan yang bersifat rahasia tersebut kepada polisi karena ada alasan tertentulah itu.
Langkah yang diambil oleh pelapor dari internal Kemendag ini harmonis dengan apa yang ada dalam benak penulis karena ada pengalaman ketika kami menjadi pelapor dugaan tipikor kepada KPK melalui Dumas sekitar bulan Juni 2014, laporan kami tidak berlanjut. Alasan penghentian yang berarti tidak ditindaklanjut ke tahap penyelidikan karena kami tidak dapat memenuhi permintaan pihak Dumas KPK, yaitu bukti kerugian negara yang disertai pembanding harga barang yang apple to apple. Kami pun membuat laporan ke Bareksrim Polri, laporan langsung diproses karena memang laporan kami melalui Kabinops Bareksrim Polri pada tanggal 16 September 2014.
Sayang sejuta sayang, hingga kini belum ada penetapan tersangka atau tidak meskipun penyidikan sudah dimulai sesuai surat tertanggal 19 Maret 2020. Surat dari penasehat hukum dan kamipun sudah beberapa kami menanyakan tindaklanjut dari janji Kasubdit 5 Korupsi, Dit Reskrimsus. Gelar perkara dengan Dit. Tipidkor Bareskrim Polri sudah dilaksanakan bulan Juli 2021 dan rencana lanjutan gelar perkara dengan Propam dan Irwasum Bareskrim Polri bulan September 2021 tetapi hingga kini tidak ada khabar beritanya. Kanit dari Subdit 5 Korupsi pun, tidak memberi jawaban.
Kiranya Bapak Kapolri dan Kapolda Metro Jaya memberi atensi sesuai dengan motto Polri: PRESISI merupakan singkatan dari prediktif, responsiblitas, transparansi dan berkeadilan membuat pelayanan dari kepolisian lebih terintegrasi, modern, mudah, dan cepat. Ternyata tidak, itulah fakta !
Penulis masih membuat tulisan ketiga, ditujukan khusus kepada Yang Terhormat Bapak Presiden. Adapun maksud penulis adalah memberikan solusi bagaimana pemecahan masalah pemberantasan dan pencegahan korupsi di instansi pemerintah, terutama yang memberikan layanan perizinan.
Sebagai info pendahuluan, penulis membuat pernyataan: “Kalau mau, korupsi di instansi pemerintah bisa dicegah dengan mudah.” Pernyataan ini sudah penulis viralkan di beberapa grup WA yang cukup mendapat sambutan dengan mengajukan pertanyaan dan komen. Oh, iya…”memberantas mafia di instansi pemerintah sebenar-benarnya adalah mudah, oleh siapa? Hanya bisa oleh Presiden!
Judul tulisan masih disimpan.
Salam hormat,
ttd.
Togap Marpaung