Kebebasan berpendapat universitas seharusnya tetap dipertahankan, karena pandangan dan pikiran yang muncul dari kalangan akademisi berangkat dari nilai dan teori yang benar. Intelektualisme merupakan jalan berpikir ilmiah, yang berbeda dengan opini publik yang didasari kepentingan dan pragmatisme. Pendapat kaum intelektual punya kerangka logis (logical frame) yang membuat opininya runtut dan mudah dipahami.
KOLOM
OPINI
S. Indro Tjahyono (Pengamat sosial politik)
Perjuangan Murni
Ketika suara rakyat dibungkam, universitas biasanya tetap bersuara lantang menanggapi realitas. Inilah yang membuat tokoh-tokoh yang mengenyam pendidikan dipercayai dan dihormati rakyat. Seperti para founding father republik ini yang umumnya adalah pemuda yang berhasil mendapat pendidikan tinggi di masa kolonial.
HOS Tjokroaminoto, Sutomo, Bung Karno, Bung Hatta, Syahrir adalah kaum intelektual yang berpendapat Indonesia harus merdeka dan berdiri di garis depan perjuangan rakyat. Mereka dikejar-kejar oleh polisi rahasia Belanda (PID), ditangkap, dan diasingkan. Rakyat tahu perjuangan mereka murni, kalau berpolitik adalah politik berdasar ideologi dan aspirasi rakyat yang paling dalam.
Namun misi universitas dan kemurnian perjuangan mahasiswa ini seiring dengan perkembangan waktu mulai pudar. Universitas mulai ikut dalam pertentangan politik partai yang ada di masyarakat. Saat ada konflik ideologis antara kaum nasionalis-sosialis dengan kaum liberal kapitalis di masa Bung Karno, banyak tokoh universitas dimanfaatkan oleh orang-orang partai dalam politik praktis.
Mahasiswa Corong Kepentingan Partai
Kebenaran seperti yang disampaikan Galileo de Galilei tidak ada lagi. Orang universitas dan mahasiswa menjadi corong partai dan kepentingan politik. Pendapat mereka dijadikan legitimasi politik bagi partai politik bahkan kepentingan atau tangan-tangan asing.
Perjuangan mahasiswa pada tahun 1966 dengan membuat KAPI dan KAMI sekilas dipandang sebagai gerakan rakyat yang murni. Namun dalam peta pertentangan politik nasional dan global saat itu, gerakan mereka adalah perpanjangan tangan dari upaya untuk menggulingkan pemerintahan negara yang baru merdeka yang umumnya mengambil jalan ultra nasionalis dan sosialis. Hal inilah yang memunculkan tokoh universitas dan pejuang mahasiswa yang menjadi antek-antek partai dan kepentingan asing.
Di Indonesia organ-organ underbouw partai politik jelas-jelas melakukan politisasi mahasiswa dan politisasi kampus, sehingga suara dari kampus menjadi tidak kredibel. Inilah kecenderuangan yang terjadi setelah tahun 1966 yang berlanjut selama 30 tahun Suharto berkuasa. Banyak mahasiswa yang bersikap anti-Suharto, tetapi ada juga tokoh mahasiswa yang menjadi penjilat dan blusukan ke istana.
Main Mata dengan Penguasa
Bahkan mahasiswa teladan dan mahasiswa yang cerdas mengambil jalan pintas untuk mencari biaya sekolah ke luar negeri dari Cendana. Sedangkan sebagian lagi lebih senang berpolitik di kampus dan mengaku aktif di organisasi kemahasiswaan. Tetapi organ mahasiswa itu sebenarnya alat dari partai politik di luar kampus.
Oleh karena itu marilah kita tetap perjuangkan dan jangan mundur dalam membela kebebasan berpendapat universitas, walaupun syaratnya berat. Syaratnya adalah membebaskan sikap intelektual kita dari kepentingan dan tidak terseret dalam permainan politik praktis di luar kampus. Mana ada orang universitas yang mengemukakan kebenaran tapi ujung-ujungnya selalu gulingkan kekuasaan dan sedikit-sedikit minta presiden mundur.
Kembalikan universitas tetap mampu memberi solusi konseptual dan ilmiah terhadap kelemahan atau kesalahan kebijakan pemerintah. Andaikata kemudian solusi itu tidak digubris dan muncul perlawanan rakyat untuk menggulingkan atau minta presiden mundur itu bukan urusan perguruan tinggi. Biarkan rakyat belajar menilai mana solusi yang salah dan yang benar serta mengambil kesimpulan apa yang harus dilakukan.
Harus Perhatikan Fatsun Akademisi
Tempatkan universitas dan mahasiswa sebagai pendukung gerakan rakyat, karena mahasiswa telah menginspirasi dan mempelopori rakyat dengan pikiran dan gagasannya. Ujian para ilmuwan adalah tetap menyuarakan kebenaran berdasar fatsun akademisi dan tidak tergiur oleh politik praktis. Galileo tetap pada pendiriannya bahwa bumi berputar mengelilingi matahari yang akhirnya diakui kebenarannya oleh dunia.
Galileo tidak memaksa agar orang mengakui kebenarannya dengan menggulingkan kekuasaan. Tetapi otoriterianisme itu jatuh sendiri karena dibangun oleh kepalsuan (pseudo ilmiah) dan kebohongan. Tidak ada penjara dan tentara yang akan mampu membela rejim yang dipertahankan dengan janji-janji palsu***