Kaum ‘New Born Muslim’: Muslim Norak

Penulis: Erri Subakti

Dulu.., untuk belajar agama kalo mau bener itu kita belajar ke madrasah. Belajar dari beberapa ustadz yang memiliki spesialisasi keilmuan tertentu masing-masingnya. Sehingga apa yg kita dapat bisa cukup/lumayan komprehensif. Paling gak, dulu gue gitu, meskipun banyak bolosnya.

Atau, manggil ustadz yang memang keilmuan/latar belakang pendidikan agamanya mumpuni untuk datang ke rumah dan mengajari kita.

-Iklan-

Hingga suatu masa, ada peluang bagi sekelompok orang yang disupport dari organisasi Islam internasional, membuat partai politik di negeri ini. Secara perlahan, tanpa disadari, beberapa pola pengajaran ilmu keagamaan bergeser.

Banyak hal yang mulai mereka geser. Dan kita tidak menyadarinya. Hal-hal pertama yang mereka geser adalah istilah-istilah/kata-kata agamis yang selama puluhan tahun telah berkembang di Indonesia, mereka geser.

Contohnya. Sejak dulu kita hanya menyebut tudung kepala untuk perempuan ya kerudung, dan jilbab.

Kata jilbab secara perlahan mereka geser jadi hijab. Artinya serupa, penutup/tabir. Ditambah lagi mereka tekankan dengan kata-kata “hijab syar’i”.

Perubahan kata-kata ini bukan tanpa dampak. Tanpa sadar masyarakat Indonesia “digiring” dengan memaknai kata “hijab” lebih Islami dari jilbab. Hijab syar’i diusung-usung sebagai “lebih Islam dari Islam”. Bah.!

Tidak cuma kata itu saja. Banyak hal yang mereka geser.

Pengajian, mereka geser dengan sebutan “liqo”, atau liqo’at. Bah. Padahal sama aja.

Ucapan-ucapan sehari-hari mereka geser dengan ana antum akhi ukhti. Barang siapa yg menggunakan kata tersebut seakan-akan udah bakalan dapat kavling sorga…

Jujur aja salah satu yg menggelikan buat gue itu ucapan “met milad, barakallah fii umrik.” Et dah… ucapan selamat ulang tahun, mungkin biar gak kelihatan kebarat-baratan, dibuat jadi ngarab. Seakan kalau ucapan ultahnya spt itu maka ulang tahun jadi lebih Islami.

Yang paling parah pergeseran makna kata-kata yang saat ini jadi trend: HIJRAH. Et dah bahlul. Hijrah artinya MIGRASI. Pindah. Elu pindah tempat tinggal dari Tenabang ke Tomang, tuh namanya migrasi. Dari Highlander (Tanah Tinggi) ke Riverside (Pinggir kali), tuh namanya HIJRAH. Bukan dari HEDONIS (happy-happy) lalu ganti penampilan pake celana cingkrang dan miara jenggot. Itu BUKAN hijrah Maliiih…!

Banyak kata-kata yang digeser padahal sama maknanya. Untuk apa? Untuk “mendata” seberapa besar kelompok mereka ketika suatu saat mereka punya kesempataan merebut kekuasaan. Seberapa besar pengaruh “budaya baru” yang mereka buat dampaknya di masyarakat. Ya mengubah bahasa adalah tahap pertama dari mengubah budaya.

Perubahan budaya untuk lebih populer dan massif tentu memerlukan “kekuatan kapitalis”. Semua hal dan produk (komodifikasi kapitalisme) pun mulai dibuat dan dibungkus dengan istilah agamis. Produk-produk itu pun laris di ‘negeri berflower’ dan mendulang keuntungan besar. Marak bisnis umroh dan haji, yang ternyata penipuan. Pameran buku mejadi eksklusif “buku Islami,” hingga fashion show pun dibuat khusus “hijab fashion week” sejenisnya.

Produk TV pun tak luput dari “perdagangan agama” ini. Ustadz-ustadz dengan keilmuan terbatas, asal lucu atau menghibur, akan “dijual” untuk menggaet iklan masuk.

Tak hanya gelombang pengubahan bahasa dan istilah agama yang sebelumnya sudah memasyarakat di Indonesia, mereka secara cerdik mengubah adagium di masyarakat. Seperti misalnya soal “malam Jum’at”. Saya masih ingat betul, di era 80-90-an atau tahun-tahun sebelumnya, ketika disebut malam Jumat, maka apa yang terlintas di benak masyarakat Indonesia..? -> Angker, serem, horror.

Lalu kelompok tersebut mulai memasyarakatkan istilah malam Jumat dengan adagium “sunnah Rasul”. Et dah… bawa-bawa sunnah… untuk mensyiarkan soal hubungan badan suami-istri. Akhirnya, malam Jumat identik dengan “sunnah Rasul” pun lebih trend di masyarakat karena berhubungan dengan insting dasar makhluk hidup: berkembang biak.

Semua strategi pengubahan budaya Islam yang sebelumnya telah berlangsung dengan harmonis di Indonesia dengan akulturasi budaya nusantara, secara perlahan berubah di sebagian masyarakat menjadi lebih eksklusif. Muslim di Indonesia yang selalu bercirikan sarungan, dengan tatapan mata sejuk dan asik, menjadi cingkrangan dan jenggotan dengan wajah sengak.

Mereka masuk di bidang pendidikan dengan membuat bimbel, lalu ke pendidikan dasar dengan SDIT (Sekolah Dasar Islam Terpadu). Dan seterus-nya seterusnya sampai property pun ada perumahan yang khusus muslim! Gila! Ini sudah merupakan bentuk primordialisme bahkan chauvinisme. Orang-orang yang bergabung mengikuti “budaya Islam norak” tersebut menjadi lebih fanatik dan menganggap kelompoknyalah yang paling unggul di dunia, paling Islam di dunia, yang lain “belum kaffah”. Muke gile…!

Kok bisa laku sih dan banyak pengikutnya? Ya bisa. Ibaratnya ada “jalan baru untuk menuju surga” dengan cara instan, ya pasti laris di kalangan orang yang baru belajar Islam. New Born Muslim saya menyebutnya atau OIB (Orang Islam Baru).

Banyak OIB ini yang memiliki pendidikan tinggi dan kelas menengah (ke atas). Mereka sudah cukup mapan bahkan mapan secara ekonomi, namun kurang belajar ilmu agama dari ustadz yang mumpuni sebelumnya. Maka ketika ada “produk budaya baru” yang menawarkan “paket surga”, ya kenapa enggak diambil. Apalagi dengan paket tersebut mereka masih bisa menyalurkan hasratnya untuk EKSIS di publik. Biar dilihat “lebih Islami”, hijrah? Prettt…!

Itu bukan hijrah, itu NORAK.

Baca juga:

Kesesatan yang Mereka Bilang Hijrah

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here