Penulis: Erika Ebener
Dua minggu lalu, saya melakukan perjalanan darat sepanjang 500 km lebih di Pulau Jawa dengan kendaraan pribadi dan hanya melewati jalan nasional, bukan jalan tol. Sepanjang perjalanan, kami berpapasan dengan ambulance yang menyalakan sirinenya. Kadang satu ambulance, kadang beberapa ambulance yang melaju beriringan. Tak ada lagi yang terlintas di dalam kepala kecuali pemikiran bahwa ambulance-ambulance itu sedang mengangkut korban covid-19 yang kritis menuju rumah sakit.
Sampai berpapasan dengan ambulans yang kesembilan, kami menghentikan menghitung karena ternyata setelah semua jari tangan habis menghitung, sirine ambulance masih terus terdengar di setiap kota yang kami lintasi. Sungguh suatu pemandangan yang cukup mencekam, dibandingkan perjalanan yang kami lakukan setahun sebelumnya. Tanpa sadar saya bergumam, “Akhirnya gelombang kedua covid-19 terjadi juga di Indonesia…”
Selain banyaknya ambulance yang berpapasan di jalan, saya juga banyak menerima pesan dan telepon dari teman-teman yang meminta bantuan untuk mencarikan donor plasma dan bahkan mencari informasi tentang rumah sakit yang bisa menampung saudara mereka yang terpapar covid-19. Katanya, sekarang sulit untuk menemukan rumah sakit yang bisa menerima pasien covid-19. Telepon dari teman-teman yang sedang menjalani isoman, sudah tak terhitung lagi. Bahkan kemarin saja, Hari Selasa, kawan polisi yang kemarin menangani kasus saya, mengabarkan bahwa tahanan banyak yang terpapar covid-19. Dari 40 tahanan, 16 dinyatakan positif covid-19, termasuk tahanan tersangka kasus saya sendiri.
Di sisi lain, ada “kaum Jerinx”.
Yaitu kaum atau kelompok yang menolak percaya bahwa covid-19 itu ada. Pada perkembangan keyakinannya, Jerinx makin kacau saja dalam mempertahankan pernyataannya bahwa covid-19 tak lebih dari sekedar konspirasi.
Modal yang Jerinx punya adalah hasil tes covid-19 yang katanya selalu negatif. Padahal tak ada bukti kenegatifan hasil test dia karena covid-19 tidak ada. Di balik semua teriakan Jerinx yang tidak percaya pada covid-19, secara sembunyi-sembunyi dia juga “menjaga diri”, kalau tidak mau disebut “melakukan protokol Kesehatan”.
Jerinx sendiri, membawa misi menyebarkan informasi bahwa “covid-19 adalah sebuah konspirasi”, saya pikir, sebuah percobaan lempar batu. Dia sedang menjual. Jika isu “covid-19 adalah sebuah konspirasi” dibeli oleh netizen +62, maka dia akan mendapatkan keuntungan. Minimal dia bisa pansos, Namanya tetap dikenal dan menjadi terkenal. Tetap bisa eksis walaupun grup band-nya sendiri dalam kondiri miris.
Tanpa memikirkan efek samping, Kaum Jerinx terus menggiring opini-opini yang miring-miring hanya demi nasi sepiring.
Benarkah mereka tidak percaya covid-19? Mulutnya bilang iya, tapi kelakukan tetap saja menghindar, tidak bepergian, tampak tak bermasker tak kala sendirian. Kalau ada kerumuan, Kaum Jerinx tak kelihatan. Menantang-nantang, tapi dengan 1.001 persyaratan. Dan Ketika mereka terkena corona, lalu disembuhkan Tuhan, tingkahnya semakin jumawa, merasa jagoan.
By the end, tetap saja apapun yang dilakukan Kaum Jerinx tak jauh dari masalah periuk nasi. Apalagi di Indonesia, periuk nasi bisa diisi dengan cara menjual sensasi.