Kampung Adat Nunungongo Flores NTT dari Kacamata Arsitek

Exif_JPEG_420

Penulis: Erri Subakti

“Sebagai seorang pasca-stroke, otak yang sudah cacat itu bisa menghadirkan berbagai macam masalah, dimana untukku sendiri adalah masalah yang susah untuk beradaptasi untuk bergerak. Jika aku berada di tempat yang baru, sinyal otakku berkata bahwa tempat yang baru itu sangat berbahaya sehingga syaraf perintah untuk bisa bergerak yang semestinya, akan berhenti dan sering kali sama sekali otakku tidak mampu untuk mengontrol, dan diam saja tanpa mampu berbuat apa-apa.”

(Christie Damayanti)

-Iklan-

Christie Damayanti, seorang arsitek, planolog, insan pasca-stroke, yang juga traveller atau lebih tepatnya adventurer bisa dibilang, menuliskan buku mengenai  sebuah kampung adat di Nusa Tenggara Timur (NTT). Tepatnya Kampung Adat Nunungongo di Kabupaten Nagekeo di Flores.

Buku berjudul “Negeri Antah Berantah, Kampung Adat Nunungongo, Kampung Purba Suku Rendu”, yang terbit pertengahan Juli 2023 ini, hanya 1 dari 3 buku lain yang ia rilis bersamaan. Juga mengenai petualangannya di Flores. Tentu saja di atas kursi roda ia lakukan, karena lumpuhnya sebagian tubuhnya akibat stroke 13 tahun lalu.

Christie Damayanti di atas kursi roda di kampung adat di Flores, Kab. Nagekeo NTT.

Setelah menulis 66 buku, Christie kini menelurkan buku mengenai suku atau pun komunitas adat di remote area di pedalaman NTT.

Buku mengenai kampung adat di Flores ini membuat saya sebagai socio culture analyst, terhenyak. Merasa terpukul dengan karya Christie Damayanti. Sebabnya apa. Karena sebagai seorang dengan background sosiologi yang sudah ke pedalaman Kalimantan Tengah, ke wilayah remote area di Sumatera, hingga memimpin sebuah program pelatihan petani kopi di 5 wilayah pegunungan di Papua, dan menuliskan hasil riset saya dalam laporan-laporan pekerjaan saya, namun tak satu pun buku yang saya hasilkan.

Bayangkan betapa bermanfaatnya jika kita bisa menuliskannya dalam bentuk buku. Memperkaya literatur Indonesia dan juga bermanfaat bagi siapapun yang membutuhkan jika ingin mengenal dan mengetahui lebih banyak soal suku-suku di pedalaman Indonesia yang sangat kaya ini.

Kembali ke soal buku karya Christie Damayanti ini. Apa yang dituturkan Christie melalui jurnal catatan lapangan (field notes) perjalanannya, patut untuk dituliskan dokumentasinya yang bisa dibaca publik. Hingga memperkaya literatur mengenai suku-suku dan kampung adat di Indonesia agar masyarakat luas mengetahuinya.

Christie menuliskan buku ini merupakan bagian dari kunjungan tim riset dari Universitas Bina Nusantara dan Universitas Sains of Malaysia, Penang – Malaysia.

Sebagaimana tercantum dalam judul, buku ini berisikan mengenai sebuah suku asli di kampung adat di Kabupaten Nagekeo, Flores, NTT.

Topografi di wilayah Kabupaten Nagekeo lengkap dengan pegunungan, perbukitan, padang sabana, pantai, laut, dan hutan hujan. Di antara wilayah tersebut ada desa-desa tradisional yang sudah berdiri dan terpelihara adat budayanya sejak ratusan bahkan ribuan tahun lalu.

Ada 2 etnis utama di Nagekeo, selain etnis-etnis lainnya di Nagekeo, yaitu etnis Nage dan Keo.

Dan salah satu etnis atau suku yang dituliskan Christie dalam buku ini adalah suku Rendu di Kampung Adat Nonongungu, yang terletak di Kabupaten Nagekeo.

Kabupaten Nagekeo merupakan pemekaran dari Kabupaten Ngada, yang terbentuk sejak tahun 2007. Dengan kawasan yang berbukit dan begunung dengan lereng-lereng atau tebing curam menghadap ke laut.

Di wilayah tersebut ada salah satu desa tradisional yang disebut Kampung Adat Nunungogo, dari suku Rendu, yang terletak di Desa Tengatiba.

Memasuki kampung adat Nunungongo, ada pohon besar sebelum kaki melangkahkan ke desa tersebut. Setelah melewati pohon besar itu baru pandangan mata bisa tampak 12 rumah adat yang sangat unik.

Menurut Christie yang juga berprofesi sebagai arsitek, arsitektur tradisional yang ada merupakan sealiran darah dengan rumah-rumah adat di NTT.

Asal-usul Kampung Adat Nunungongo

Kampung Adat Nunungongo  berasal dari 1.200 tahun yang lalu. Kampungnya terlihat rata di tanah lapang berumput hijau yang menghubungkan 12 rumah adat di sana.

Meski merupakan Kampung Adat yang masih memelihara berbagai adat dan budaya sejak 1.200 tahun yang lalu dengan aturan-aturan adatnya, dari mulai tata cara memasuki kampung hingga upacara-upacara adat lainnya yang masih dilakukan di sana, namun anak-anak kampung juga telah menempuh sekolah umum dan anak-anak mudanya merantau untuk mencari penghidupan yang lebih baik.

Kendati demikian mereka yang telah merantau ke luar pulau akan datang saat mereka dipanggil untuk acara adat mereka dan menghormati adatnya.

Kawasan kampung adat tetap terjaga keasriannya. Hal yang bisa disebut modern adalah adanya listrik. Meski tidak besar, cukup hanya penerangan sederhana saat malam tiba, tapi tidak ada satu pun televisi di sana. Ada juga radio yang sangat sederhana.

Okupasi di Kampung Adat Nunungongo terbagi atas pertanian, peternakan, dan kerajinan tenun khas suku Rendu. Warga lelaki berkebun, sementara perempuannya membantu, serta menenun.

Kehidupan mereka menganut sistem patrilineal. Mereka akan melepaskan anak perempuannya jika mereka sudah menikah.

Sebagai informasi, ada 128 desa adat di Nagekeo. Dan Nunungongo adalah salah satunya.

Suku Rendu tidak hanya memiliki Kampung Adat Nunungongo tapi juga melahirkan Kampung Adat Rendu Ola, Boamara, dan Tutubhada.

Kampung Adat Nunungongo terletak dan berlokasi di hutan atau lembah. Kampung ini didirikan oleh penggembala suku Rendu Ola sejak 1200 tahun lalu.

Berawal dari nenek moyang Suku Rendu yang mengarungi lautan luas dan mencari tempat tinggal mereka yang baru. Mereka menyeberangi Laut Sawu dan mendarat di Pulau Flores menyusuri sungai berjalan kaki menuju arah pegunungan, dan akhirnya membangun kediaman mereka di sana.

Nama Nunungongo berasal dari bahasa setempat, Nunu artinya pohon beringin, dan Ngongo artinya lubang, dimana akar gantung itu menutupi bagian-bagian pokok utama pohon beringin yang berlubang.

Itu sebabnya sebelum memasuki kampung ada sebuah pohon besar kokoh berdiri. Namun pohon besar itu tentu saja sudah bukan lagi pohon beringin, digantikan dengan pohon kepuh.

Meski begitu nama kampung tetap Nunungongo, karena pohon beringin memang merupakan inspirasi awal kampung yang pohonnya besar yang berguna bagi lingkungan, terutama kemampuannya menyimpan air, juga sekaligus menjadi peneduh dan melindungi penduduk setempat dari berbagai serangan.

Sesungguhnya letak lokasi Kampung Adat Nunungongo ini telah berpindah 500 meter dari lokasi aslinya. Sebelumnya Kampung Adat Nunungongo berada di bibir jurang. Kemudian pada tahun 2000 mereka menggeser kampungnya karena ada 2 rumah adat mereka yang terancam longsor, akibat tebing jurang yang semakin keropos dimakan usia.

Sebagaimana seorang arsitek, penulisan buku ini cukup banyak dari perspektif arsitektur. Misalnya bagaimana Christie menilai bangunan-bangunan arsitektur tradisionalnya sangat kental terasa dengan berbagai material di sekitarnya, sebagian dari kayu dan bebatuan cadas, serta atap ilalang yang sangat inspiratif.

Christie mengingat pada kampung Armorik tempat tinggal Asterix dan Obelix di Galia, kini Perancis. Christie yang lebih banyak travelling kelililing dunia ke negara-negara maju sangat exited mengunjungi kampung yang dianggapnya masih purba ini.

Bagi Christie, Kampung Adat Nunungongo ini punya konsep arsitektur yang bisa memberi warna bagi arsitektur dunia, khususnya Indonesia.

Cukup banyak yang Christie sampaikan mengenai berbagai adat budaya, tenun, okupasi, upacara-upacara adat, hingga tentu yang tak kalah mendetail soal perspektifnya mengenai bangunan rumah-rumah adat yang bikin mumet seorang arsitek modern dan filosofinya, serta juga konsep desain, denah, bahan bangunan yang digunakan, serta tata caranya, dan masih banyak lagi dalam buku “Negeri Antah Berantah, Kampung Adat Nunungongo, Kampung Purba Suku Rendu.” (2023)

Baca juga:

Menakjubkan, Perempuan Berkursi Roda dari Indonesia Adventure Seorang Diri ke Jepang dan Penang

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here