Kalau Ada Wahabi Salafi di Sekitarmu, Berfikirlah Kalau Itu Sunatullah

Penulis: Nurul Azizah

Nurul Azizah, penulis buku Muslimat NU di Sarang Wahabi.

Siang itu di akhir bulan Januari 2022 pulang kerja, saya niatkan mampir ke rumahe Kiai Budiharjono pimpinan Tari Sufi Semarang, Kiai Caping Gunung. Rumah besar itu tampak sepi, karena saya sudah terbiasa ke rumah itu, saya uluk salam beberapa kali dan belum juga ada balasan, saya terus masuk melewati aula besar, merasuk ke dalam rumah dalem, saya uluk salam.

“Assalamualaikum, assalamualaikum, assalamualaikum,” salamku.

-Iklan-

Alhamdulillah si empu rumah datang menyapa, “Waalaikum salam, sampeyan sinten?” jawab Bu Nyai Budi.

“Kulo mbak Nurul, taseh sederek Kiai Budi dari Grobogan, Kiai Budi wonten nopo mboten?”

“Monggo-monggo mbak Nurul, mlebet pinarak rumiyin, tapi Abah tindak.”

Kamipun berbincang banyak hal, seakan-akan reuni, karena sudah lama tak jumpa.

Kamipun mengabarkan banyak hal, tentang keluarga, anak, pekerjaan dan yang lainnya.

Baru kali ini saya melihat sosok bu nyai yang sebenarnya. Beliau sangat cerdas sekali. Perempuan yang selama ini saya kenal ramah dan suka mendampingi Kiai Budi ketika ada acara di rumah, saya kira tidak banyak bicara, eh ternyata dugaanku sangat meleset dan keliru.

Di balek tenarnya Kiai Budi, ada perempuan hebat, cerdas dan pola pikir tidak jauh dari Kiai Budi.

“Apa yang terjadi sudah menjadi kehendak Allah, kita mah nglampahi mawon, hanya bisa bersyukur. Hanya dua kata yang bisa kita amalkan, syukur dan sabar,” ucapnya.

Setelah panjang lebar menceritakan kehidupan masing-masing. Saya memperkenalkan diri, kalau saat ini saya sudah punya buku dengan judul, “Muslimat NU di Sarang wahabi.” Dua buku saya sodorkan, dan beliau langsung buka-buka buku.

“Panjenengan jurnalis njeh, Alhamdulillah saya senang ada muslimat NU yang mau memikirkan nasib NU dan NKRI,” katanya sambil mbuka-mbuka buku saya.

Belum sempat saya balas, beliau langsung bilang, “Saya ambil satu ya, harga berapa?”

Aduh saya jadi tidak enak, saya datang ke dalem Kiai Budi untuk diskusi tentang perkembangan kelompok wahabi salafi di sekitar tempat tinggal kami, malah dapat dua-duanya.

Dapat nasehat dan uang dari penjualan buku saya, matur suwun sanget, inilah yang namanya rejeki.

Dari cara bertutur, bu nyai Budi ini orang cerdas yang baru saya ketahui. Beliau menceritakan perkembangan Islam dengan kultur NU di daerah Tembalang Semarang, yang langsung terhubung dengan kiai-kiai masyhur dari Pondok Pesantren Futuhiyah Mranggen Demak.

“Tiyang asli mriki, desa-desa di sekitar Tembalang, Meteseh, Ngumpul Sari, Rowosari, dan desa-desa lain ngaose kaleh simbah KH. Saikun kaleh ibu nyainipun. Simbah Alm. Saikun niku ngaose njeh wonten Futuhiyah Mranggen, bu nyai Saikun njeh asal e njeh saking Mranggen, setiap hari Rabu, penduduk sekitar mriki ngaos wonten pondok pesantren Taqwalillah kagungane simbah Saikun. Sampai sekarang, Insya Allah warga sekitar masih ikut kiai-kiai NU. Peneruse simbah Saikun ya, KH. Ulil Albab Saikun dan KH. Tulab, KH. Rutab, KH. Iman Fadhilah, Kiai Anjab, dan bu Nyai – bu Nyainipun, semua putra putri simbah Saikun.”

“Insya Allah penduduk asli Tembalang, Meteseh, Rowosari, Dadapan, Bulusan sampai ke daerah Ungaran taseh nguri-nguri Nahdlatul Ulama, taseh derek kiai-kiai NU. Kalaupun ada wahabi yang datang, penduduk asli tidak akan terpengaruh dengan ajaran mereka. Daerah kita sangat kuat kultur NU nya. Jangan takut dengan keberadaan mereka, takutlah kepada Allah dan ikutilah ajaran Kanjeng Nabi yang telah disampaikan oleh kiai-kiai sekitar Tembalang sampai Ungaran. Apalagi wilayah Tembalang sangat dekat dengan wilayah Mranggen Demak.”

“Setiap Senin pagi, bapak-bapak ngaji langsung ke pondok pesantren Futuhiyan Mranggen Demak, sedang ibu-ibunya hari Kamis, itu sudah tradisi turun-temurun.”

“Kalau di lingkungan kita ada kelompok lain wahabi salafi, biarlah, itu sunatullah. Artinya semua yang terjadi atas kehendak Allah. Ya bagaimana lagi, kelompok mereka memang ada dan berbeda dengan kita penduduk asli.”

Bu nyai Budi adalah penduduk asli dukuh gentheng Meteseh, rumah bapak ibunya dekat dengan makam simbah Habib Luhung Alwi kakek buyutnya Habib Lutfhi bin Yahya Pekalongan. Makam Mbah Luhung berada di wilayah RW 9 Meteseh.

“Kita sering mengajak masyarakat untuk mengikuti tradisi ngaji di pondok-pondok pesantren NU, menghidupkan pengajian-pengajian NU di sekitar kita, itu sudah bagus. Insya Allah masyarakat asli di sekitar Tembalang masih nguri-nguri ngaji dengan kiai kampung dan ikut ngaji di pondok pesantren.”

“Panjenengan melawan ajaran dan amalan mereka dengan tulisan itu bagus banget, bukan benci pada pribadinya tapi lebih pada ajarannya,” ungkapnya.

“Njenengan dengan kelompok wahabi Salafi sebatas kenal, bertetangga, mereka toh orang lain bagi njenengan, coba bayangkan kalau orang wahabi di sekitar njenengan itu saudara sendiri, di kalangan keluarga sendiri, rasanya sedih pasti. Nikmati saja itu sebagai ketetapan Allah (Sunatullah) terus bersabar dan berdoanya, semoga kita terhindar dari pengaruh dan ajaran mereka (wahabi salafi),” ujarnya.

Saya mendengarkan penjelasan dari bu nyai Budi dengan seksama, jarang-jarang saya bertemu dan bercengkrama dengan banyak cerita.

Sering ketemu sih dalam berbagai acara, cuma beliaunya selalu tersenyum dan tidak banyak bicara. Biasa ketemunya dalam suatu acara pengajian bersama Kiai Budi.

Siang menjelang sore itu memang hari yang luar biasa, dua perempuan pegiat NU dan NKRI dengan peran yang berbeda tetapi tetap satu tujuan yang sama.

Banyak nasehat-nasehat kehidupan yang disampaikan oleh bu nyai. Tentunya bu nyai telah mendidik dan mengasuh para santri dengan macam-macam karakter.

Apalagi cerita beliau tentang suka duka mendidik putra-putrinya yang berjumlah 9 orang. Luar biasa, rata-rata putra putrinya mengeyam pendidikan pondok pesantren juga pendidikan formal, semua putra putrinya sampai ke bangku kuliah. Yang bungsu masih duduk di bangku SMK kelas X.

Diakhir perbincangan siang itu, beliau berpesan selama penduduk asli menolak ajaran wahabi salafi, maka kehidupan masyarakat masih hidup sesuai ajaran ahli sunnah waljamaah islam rahmatan lil alamin, mengikuti kiai-kiai kampung. Di sinilah peran kiai kampung sangat dibutuhkan kehadirannya di tengah-tengah masyarakat.

Jadikanlah perbedaan sebagai sunatullah. Apalagi Nabi Muhammad SAW telah mengabarkan bahwa umatnya akan terpecah menjadi 73 golongan, dan hanya satu di antaranya yang selamat, siapa itu?

Dikutip dari buku Talbis Iblis karya Ibnu Jauzi dengan pentahqiq Syaikh Ali Hasan al-Halabi, dari Ibnu Umar Radhiyallahu Anhuma, dia berkata, Nabi Muhammad SAW bersabda:

“Umatku akan mengalami apa yang dialami oleh Bani Israil, seperti sejajarnya sandal dengan pasangannya, hingga apabila ada di antara mereka itu yang menyetubuhi ibunya secara terang-terangan, niscaya di antara umatku akan ada yang berbuat demikian. Dan sungguh Bani Israil sudah berpecah belah menjadi 72 golongan, sedangkan umatku akan terpecah menjadi 73 golongan, semuanya di neraka, kecuali satu golongan.” Para sahabat bertanya: “Siapakah mereka, wahai Rasulullah?” Maka Beliau menjawab: “Yaitu mereka yang berada di ajaranku dan para sahabatku.”

Inilah manfaat menjaga silaturahmi dengan kiai-kiai NU dan keluarganya. Banyak manfaat yang bisa kita rasakan. Hati yang gersang ini seakan-akan menerima siraman air yang menyejukkan. Maka damailah hidup ini dengan banyak perbedaan, satu sama lain jangan bermusuhan. Kalaupun kelompok wahabi di sekitar kita membuat keonaran dan kebencian dengan penduduk asli daerah tersebut, maka kita wajib melaporkan ke aparat kepolisian.

Pada akhir perbincangan kami, saya mohon izin hal-hal yang dibicarakan siang itu, untuk bisa saya jadikan tulisan, beliau bersedia. Cuma beliau tidak mau diajak foto bersama, karena memang beliau selalu enjoy di belakang layar saja.

Nurul Azizah, penulis Kolom Bunga Rampai, penulis buku ‘Muslimat NU di Sarang Wahabi

Minat, hubungi penulis atau SintesaNews.com 0858-1022-0132.

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here