Penulis: Nurul Azizah
Sekarang sudah masuk tahun 1444 H, artinya kalau dihitung dengan tahun hijriyah NU berusia 100 tahun atau satu abad. Tepatnya 16 Rajab 1444 H, bertepatan dengan Hari Selasa, 7 Februari 2023.
Sahabat-sahabat dan poro sedulur NU masih bertanya ke penulis. Apa benar NU sudah berusia satu abad, padahal NU lahir 31 Januari 1926, apakah satu abadnya tidak tahun 2026.
Wajar saja pertanyaan itu muncul, karena di era milenial tahun hijriyah tidak begitu populer di kalangan generasi milenial. Yang mereka kenal adalah tahun Masehi. Untuk peringatan satu abad NU, PBNU sepakat menggunakan hitungan tahun hijriyah. NU didirikan 16 Rajab 1344 H dan diperingati satu abad pada tanggal 16 Rajab 1444 H. Kebetulan 16 Rajab 1344 H bertepatan dengan 31 Januari 1926.
Selisih tahun hijriyah dengan Masehi sekitar kurang lebih 11 hari. 11 x 100 tahun = 1.100 hari : 360 = 3,055 dibulatkan 3 tahun. Jadi selisih antara tahun 2.023 – 2026 = 3 tahun. Mudah-mudahan bisa dimengerti agar tidak muncul pertanyaan yang sama berulang-ulang.
Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) KH. Yahya Cholil Staquf menyampaikan bahwa tema satu abad NU adalah Mendigdayakan Nahdlatul Ulama Menjemput Abad Kedua Menuju Kebangkitan Baru.
Hal ini disampaikan saat konferensi Pers Kick Off Harlah Satu Abad Nahdlatul Ulama di Hotel Sultan, Jalan Gatot Subroto Jakarta, Senin (20/6/2022).
NU dikenal sebagai perkumpulan yang selalu terbuka terhadap problematika umat. Menjaga nilai-nilai tradisi Nusantara yang berguna bagi umat dan mengambil secara selektif nilai-nilai baru yang lebih berguna bagi umat.
Dalam menyongsong satu abad NU, Gus Yahya menyampaikan, “Di tubuh NU sendiri memiliki ulama-ulama yang cerdas dan pasti memiliki gagasan-gagasan bernas.”
Sinonim ‘bernas’ antara lain berbobot, berisi, berkualitas, bermakna, bermutu dan memiliki banyak karya dan bermanfaat bagi masyarakat secara luas.
Gus Yahya dalam pidatonya, “Saya hanya menyampaikan gagasan-gagasan yang sudah disampaikan oleh kiai-kiai kita sejak lahirnya Nahdlatul Ulama sampai sekarang.”
Salah satu kiai NU yang nyentrik yang penulis ketahui seperti Gus Dur, Gus Mus (KH. Mustofa Bisri), Gus Muwafiq, Gus Miftah, Gus Baha dan lain-lainnya. Beliau-beliau ulama NU tapi tidak pernah ngaku ulama, agar bisa merangkul semua elemen masyarakat.
Semua amalan yang diajarkan melalui musik, seni, budaya, sastra, sejarah dan lain-lain. Tidak lupa pula kiai-kiai tersebut mengajarkan amalan-amalan NU seperti sholawatan, tahlilan, manaqiban, ziaroh kubur, yasin dan tahlil, semak’an quran dan lain-lain amalan NU. Mereka memperkenalkan semuanya dengan semangat kebangsaan dan nasionalisme yang tinggi.
Ulama seperti Gus Dur, Gus Mus, Gus Muwafiq, Gus Miftah, Gus Baha, Gus Yahya (Ketum PBNU), Kiai Anwar Zaid dan lain-lain tidak akan terlahir setiap 50 tahun sekali. Akan sangat sulit menemukan ulama-ulama NU dengan karakter dan kekhasan seperti yang beliau-beliau miliki.
Menjelang satu abad NU pada 16 Rajab 1444 H atau 7 Februari 2023 mendatang, Kiai Said Agil Siradj juga berpesan kepada anak muda NU agar tetap berpegang teguh pada prinsip moderat dan toleran. Dengan demikian anak-anak muda NU tidak akan mudah terseret dalam cara berfikir yang kaku.
“Generasi muda NU, bagaimanapun, alumni mana pun, harus tetap berpegang pada prinsip tawassul dan tasawuf, yaitu mendekatkan diri kepada Allah SWT dan menyucikan jiwa agar yang tercermin adalah akhlak yang karimah.
Moderat dalam hal apapun. “Jangan sampai terdorong untuk berfikir liberal,” papar Kiai Said yang tayang di youtube NU online. Kiai Said juga berpesan kepada kiai-kiai NU agar terus mendorong pendidikan nasional sehingga generasi NU mampu menghadapi era globalisasi.
“Memang itu berat, tapi tetap harus NU hadapi. Jadi pesantren didorong agar lebih terbuka, maju, memberi ruang kepada para santri yang intelektual dan berfikir bebas, tetapi tetap dalam pengawasan kiai agar tidak berfikir liberal dan mencintai NKRI.
Jadi warga NU yang kaffah dan cinta NKRI harus diterapkan kepada warga Nahdliyin untuk kado satu abad NU. Jadilah lebih berkontribusi nyata bagi NU dan NKRI, diantaranya:
1. Memiliki pola pikir dan sikap (fikroh) yang tawasuth, tegak lurus, dan tasamuh. Tawasuth atau memiliki sikap di tengah-tengah tidak ekstrim kanan dan tidak ekstrim kiri. Tegak lurus dengan PBNU dan tasamuh atau sikap toleransi antar umat beragama dan penganut kepercayaan.
2. Jam”iyyah yaitu mengikuti organisasi yang tersebar dalam organisasi NU, atau mengikuti pengajian-pengajian dan amalan-amalan NU yang dibimbing oleh poro alim ulama dan kiai-kiai NU.
3. Memiliki ghirah atau semangat juang mewujudkan perjuangan NU dalam menjaga Agama Islam rahmatan lil alamin dan memperjuangkan dan menjaga keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Semua itu sesuai dengan keinginan simbah KH. Hasyim Asy’ari agar warga NU ikut menyumbangkan fikirannya, termasuk berpolitik, menyumbangkan tenaga dan pikiran untuk berdakwah (mengajar), juga ikut merukunkan umat Islam dan umat lainnya di Indonesia ini.
Tidak harus punya gelar sarjana, master, doktor atau profesor, kiai, bu nyai atau santri lulusan pondok pesantren untuk bisa berkhidmat untuk NU. Tapi jadilah warga nahdliyin yang biasa atau kiai kampung yang justru terus memberi kontribusi nyata bagi NU di masyarakat. Memiliki jiwa nasionalisme dan cinta tanah air yang tinggi. Patuh pada kiai, dan terus melaksanakan amaliyah ajaran aswaja an-nahdliyah. Insya Allah kelak akan diakui santrinya simbah KH. Hasyim Asy’ari dan masuk surga bersama beliau, dengan mendapat syafaat dari Kanjeng Nabi Muhammad SAW. Aamiin aamiin aamiin YRA.
Nurul Azizah, penulis buku ‘Muslimat NU di Sarang Wahabi’