Penulis: Emmy Hafild
Seminggu terakhir ini heboh di sosmed protes soal Jurassic Park pulau Rinca di Taman Nasional Komodo. Bahkan ada petisi online tentang ini. Heboh dunia maya ini bermula dari foto sebuah truk yang di depannya ada seekor komodo. Judul foto: Truk dihadang Komodo.
Seolah-olah Komodo pun protes, dan menghadang truk. Saya akui fotonya bagus dan sangat dramatis. Tapi narasinya yang lebay.
Pertama soal Jurassic Park. Seluruh Taman Nasional Komodo itu memang Jurassic Park, karena komodo adalah satu dari sedikit makhluk yang hidup sejak 60 juta tahun lalu (jaman dinosaurus masih menguasai bumi, jaman jurassic). Beberapa makhluk lain adalah sejenis penyu di Galapagos, dan beberapa ikan purba, termasuk ikan mola. Jadi kalau Komodo dikatakan Jurassic Park, so what gitu loh??
Sebagai seseorang yang lama bekerja di sini dan masih sering berkunjung dan memperhatikan TN (Taman Nasional, red.) Komodo (terakhir tanggal 25 Oktober kemarin), saya geli dan tertawa dengan komentar orang-orang. Saya yakin sebagian besar yang memberikan komentar belum pernah berkunjung ke TNK atau kalau sudah berkunjung baru sekali tapi terus sok tahu gitu, lebay ah.
Gini ya saya info kan ke semua:
1. Visitor Center Loh Buaya ini sudah ada sejak lebih dari 20 tahun lalu. Tapi pengelolaannya sangat sederhana. Dari antara World Heritage, yang nilainya sangat tinggi seperti Komodo, satu-satunya di dunia, visitor center-nya masih sangat minim, belum memenuhi standar international.
Bangunan visitor center ini diperlukan justru sebagai World Heritage, ini dibangun di atas gedung yang lama, yang diruntuhkan, jadi bukan gedung baru dan mengambil lokasi baru. Jarak dari dermaga ke lokasi dibangun itu ada 1km jadi perlu truk ngangkut material. Jadi truk itu tidak mondar mandir.. gitu ya..
Visitor center ini dibangun hanya di satu lokasi, di Loh Buaya namanya. Disitu ada mungkin sekitar 60-an ekor komodo yang jadi atraksi utama bagi pengunjung. Mereka memang hidup di situ, tapi tidak diberi makan. Luas Pulau Rinca itu kira-kira 20 ribuan Ha, dan populasi komodo sekitar 1300-an ekor. Status di IUCN : vurnerable, bukan endangered. Luas Loh Buaya ini kurang lebih 500 Ha, tapi yang dipakai untuk Visitor Center itu kurang dari 2Ha. Bangunannya jauh lebih kecil.
Saat ini fasilitas untuk pengunjung sangat minim, informasinya hanya di papan saja. Kalau ada ruang informasi yang bisa putar video tentang komodo, ada edukasi, ada interaktif, itu sangat baik. Itu nanti jadinya bagus. Masyarakat desa Pasir Panjang, Kukusan dan Kerora setuju dgn program ini karena mereka akan dilibatkan dan akan dipekerjakan.
2. Sarana yang akan dibangun termasuk board walk dari dermaga sampai ke visitor center. Board walk ini sangat diperlukan untuk keamanan pengunjung, karena perjalanan jalan setapak yang sekarang, pengunjung sering bertemu dengan komodo. Kalau komodonya sudah makan, ya aman. Kalau komodonya lagi lapar, gimana nasib elo aja.
3. Bangunan yang bulat itu itu dibuat tinggi konstruksi panggung, supaya aman bagi pengunjung, melihat komodo dari jauh saja. Sekarang ini di Loh Buaya, pengunjung berada di tanah, satu level dengan komodo, jarak 5 m, sebenarnya tidak aman baik pengunjung maupun komodonya sendiri. Interaksi itu harusnya tidak pada satu level ketinggian.
4. Kenapa dibuat dari beton? Supaya tahan lama dan kalau mau dari kayu, darimana bo kayunya? Dari hutan? Ya nggak pas lah. Ini bukan substansi yang perlu diperdebatkan.
5. Saya tidak melihat satu pohon pun ditebang atau hutan mangrove yang dibuka. Saya bingung juga info yang mengatakan hutan bakaupun terkena dampak. Saya terakhir ke Loh Buaya tgl 4 Oktober. Dan saya tetap memantau.
Mudah-mudahan info ini dapat memberikan keseimbangan baru terhadap pendramatisiran yang sudah beredar di sosmed. Peduli mungkin, tapi saya harap peduli yang nggak lebay lah. Mohon bantu sebarkan ya.
Jakarta, 29 Oktober 2020
Emmy Hafild
_____________
Penulis adalah aktivis lingkugan hidup sejak 38 tahun lalu. Mendapat gelar Master dalam bidang Lingkungan Hidup dari Universitas Wisconsin Amerika Zerikat. Pernah menjabat sebagai Direktur WALHI (Wahana Lingkungan Hidup Indonesia), dan Direktur Eksekutif Green Peace untuk Asia Tenggara. (Redaksi)
Pertanyaan saya simple. Kenapa nggak dibangun di pulau Komodo yang memang sudah ada penduduknya dan Komodo di sana sudah cukup familiar dengan manusia. Beda dengan Rinca yang memang alami tanpa manusia seorangpun tinggal di sana, kecuali rangers.
Lantas, yakin kedepannya nggak akan ada monkey business untuk membangun ini dan itu? Saya cukup yakin ini cuma permulaan doang. Ada banyak agenda untuk menjadikan pulau ini sebagai ladang bisnis. Bukan hal baru..