Penulis: Ganda Situmorang
Ada tiga detail yang luput dari drama kolosal MK. Karena pada akhirnya memang sebaik-baiknya sebuah rencana jika didasarkan pada niat permufakatan jahat dan untuk kepentingan sendiri (men’s rea) maka tetap akan meninggalkan jejaknya (residual effect). Tidak ada kejahatan yang sempurna.
Tiga hal tersebut boleh diraba, dicium dan dikecap oleh publik awam tanpa perlu pengetahuan hukum dan tata negara.
Tiga hal tersebut adalah;
1. Adanya konflik kepentingan (conflict of Interest) daripada Ketua MK dimana sudah menjadi rahasia umum bahwa yang paling berkepentingan langsung adalah ponakannya sendiri. Yang lebih fatal lagi ponakan Ketua MK tersebut kebetulan adalah anak Presiden yang sedang berkuasa. Lain cerita misalnya kalau ponakan Ketua MK tersebut adalah anak pak Sholeh, seorang Kepala Desa Lojejer di pesisir pantai selatan kabupaten Jember.
2. Pemilihan waktu pementasan di MK. Tentu akan beda nuansanya jika misalnya pementasan drama MK dilakukan 2 tahun sebelum hari H pemilihan Presiden. Ini mirip seperti gaya penipuan Nigeria (Nigerian Scammer). Dimana komplotan pelaku memang sengaja mendesain bahwa pementasan drama dimaksud dieksekusi secara secepat kilat, mengalahkan tendangan tanpa bayangan pendekar silat Si Buta dari Gua Hantu. Sehingga korban atau calon korban dalam hal ini rakyat Indonesia dibuat terperdaya.
3. Tidak ada sama sekali situasi mendesak (urgensi) daripada drama MK tersebut bagi pemangku kepentingan rakyat Indonesia kecuali bagi keluarga Presiden dan Ketua MK.
Di atas itu semua, hanya Jokowi-lah yang punya kapasitas mengorkestrasi drama kolosal MK tersebut.
Jadi bagi Relawan Jokowi yang masih merasa/percaya/mengecap bahwa Jokowi dijebak, Jokowi tidak terlibat, ayo berpikir ulang lagi! Jokowi memang hanya manusia biasa.
Bagi Relawan Jokowi yang mau ngejagain Jokowi, cara terbaik dan paling pas adalah dengan ingetin beliau, teriakin kalau Jokowi mau kecebur, tetap kritis kalau ada keliru.
Yang selalu teriak tegak lurus Jokowi, ngeles macam-macam dan menyangkal dengan berbagai alasan mulai dari langkah kuda catur, kibas semak, rendam di rebusan air belanga, Jokowi gaya Solo, Jokowi can do no wrong itu adalah cult.
Kultus individu sangat bahaya bagi meritokrasi dan demokrasi yang sudah dibangun dengan biaya mahal sejak pasca reformasi, bagi kesinambungan pembangunan bangsa dan negara.
Sebagai tanda sayang kepada Jokowi, demokrasi Pancasila yang bermartabat dan di atas itu semua adalah kepentingan bangsa dan negara, Jokowi memang mesti diteriakin terus, kencang sekencangnya supaya ga kadung kejeblos got benaran. Itulah bentuk pengawalan yang sejati seorang Relawan Jokowi. Menurut saya sih!
Jangan sampai Jokowi di akhir masa Presidensinya jatuh terpuruk. “Air susu dia balas air tuba” kepada Ibu Megawati Ketua Umum PDI Perjuangan yang sudah memberikan Jokowi tiket gratis sejak Walikota, Gubernur dan dua kali pilpres.
Semoga Jokowi segera sadar dan hentikan semua sandiwara tegak lurus, kembali guyub dan tegak lurus ke partai PDI Perjuangan dan Konstitusi NKRI. Hanya Jokowilah yang punya kapasitas menghentikan drama MK ini.
Ucapan Jokowi “Ojo kesusu” ke para relawannya, sekali saja diucapkan ke anak sendiri. Selesai. “Nak Gibran. Ojo kesusu“, begitu kira-kira.
Ganda Situmorang
[…] Jokowi Pengkhianat? “Tempus Abire Tibi Est” […]