Penulis: Andre Vincent Wenas
Benar khan, ternyata memang mafia minyak gorenglah biang kerok kelangkaan migor kemarin itu. Modusnya pemalsuan dokumen Persetujuan Ekspor (PE) walau tidak memenuhi syarat distribusi kebutuhan dalam negeri (DMO). Kira-kira begitulah ‘white-collar crime’-nya.
Beberapa “wayang”nya sudah ditangkap kejaksaan. Ya, kejaksaan bukan KPK. Lantaran KPK masih sibuk memonitor katanya. Lalu “dalang”nya bagaimana? Kita tunggu saja.
Mengenai analisa kelangkaan migor serta dinamika seputar supply-demand bahan bakunya (yaitu Crude Palm Oil/CPO) sudah beberapa kali kita ulas. Dan juga sudah kita ditayangkan di kanal YouTube Lembaga Kajian Strategis (LKS) PERSPEKTIF.
Supaya tulisan ini ringkas dan tidak mengulang-ulang, silahkan ditilik kembali kajian-kajian itu. Berikut link-nya:
- MENCARI MINYAK GORENG YANG MENGHILANG DARI RAK TOKO (Bgm peran mafia kerah putih di belakang ini?)
- MINYAK GORENG HILANG KEMANA? (Analisis Intelijen: Josef Herman Wenas)
- MENDAG MUHAMMAD LUTFI SEPERTI NASARUDDIN HOJA YANG KEHILANGAN CINCINNYA
- HIMBAUAN UNTUK PARPOL: AYO SUBSIDI DAN JUAL MIGOR MURAH SEBANYAK-BANYAKNYA!
- KELANGKAAN MINYAK GORENG: ENERGI (BIODIESEL) VS PANGAN (MIGOR)???
Memang mafia migor ini kurang ajar sekali. Mafia ini, seperti sudah kita katakan, adalah sebentuk konspirasi berbasis kepentingan. Awalnya mungkin kepentingan egoistik ekonomi, namun diduga telah meluas ke spektrum politik juga rupanya.
Maka akhirnya, kemarin Kamis 22 April 2022 Presiden Jokowi nekad memutuskan kebijakannya yang super-keras! MELARANG EKSPOR minyak goreng serta bahan bakunya, yaitu CPO mulai Kamis 28 April 2022. Nah lho!
Sampai kapan pelarangan ekspor ini? Sampai batas waktu yang akan ditentukan kemudian! Nah lho lagi.
Menurut Josef Herman Wenas, “Memang sudah kelewatan kelakuan mereka. Sudah sejak Oktober 2021 sampai sekarang sudah mau mendekati Lebaran, permainan ini belum bisa dikendalikan oleh aparat pemerintah.”
Seperti kita pahami, ada dua jenis pemain minyak goreng. Para pemilik pabrik minyak goreng dan para pemilik pabrik minyak goreng sekaligus kebun sawitnya (bahkan sekaligus jalur distribusinya). Ini konglomerasi vertikal di bisnis sawit,
Konglomerasi sawit ini ada delapan grup usaha, dimana mereka bersama menguasai sekitar 70% pasar minyak goreng domestik. Mereknya memang berbeda-beda, dan nampak di permukaan saling “bersaing” di pasar.
Namun walau begitu, apa yang disebut “persaingan” itu tadi nampaknya hanya di permukaan. Lantaran di belakang layar mereka diduga melakukan praktek kartel. Ya, kartel di dalam struktur pasar oligopolistik. Ini skema lama, hanya pemainnya saja yang berganti.
Dalam pengamatan Josef Herman Wenas, terdeteksi pola seperti ini:
Oktober-Desember 2021 mereka kompak menaikkan harga produk masing-masing secara bertahap. Semua merek harganya naik. Katanya bersaing?
Pada Februari 2022 pemerintah tetapkan HET, lalu mereka kompak menghilangkan produknya dari pasaran. Semua merek hilang dari rak-rak. Katanya bersaing?
Kemudian Maret 2022 pemerintah mencabut HET, mereka kembali kompak untuk membanjiri pasar dengan harga tinggi. Tiba-tiba semua merek muncul di rak-rak. Katanya bersaing?
“Kekompakan mereka itu kalau bukan KARTEL, lalu apa namanya dong? Bhinneka tunggal ika, gitu?” sindir Josef.
Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI), melalui Ketua Harian Tulus Abadi, barusan mengeluarkan statement yang bilang pelarangan ekspor ini bakal mengacaukan pasar (internasional):
“Larangan tersebut akan membuat negara lain protes keras. Pasalnya, Indonesia merupakan produsen CPO terbesar dunia dan pasokan internasional sudah terganggu akibat perang Ukraina-Rusia. Malah mengacaukan pasar internasional, mungkin perang dengan internasional…”
Yang meleset dari pengamatan YLKI, adalah bahwa pasar domestik untuk migor sudah kacau-balau terlebih dahulu. Dan ini sangat merugikan pasar konsumen Indonesia sendiri. Mestinya YLKI itu membela konsumen Indonesia, bukan konsumen Internasional. Bukankah YLKI itu singkatan dari Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia? Bukan Yayasan Lembaga Konsumen Internasional khan?
Faktanya, konstelasi pasar migor domestik kita sudah amburadul sejak oktober 2021 lalu. Dan pemerintah (cq Kemendag dan Kemenko Perekonomian) de-facto tidak mampu mengendalikannya.
Lagi pula, menurut pengamatan Josef Herman Wenas, kedelapan grup usaha itu tadi –kabarnya– sedang dalam observasi intelijen lantaran terindikasi ada semacam upaya oleh sementara pihak untuk menciptakan instabilitas politik yang serius. Dari kartel dagang ke kartel politik. Dan ini tentu berbahaya.
Itulah sebabnya Presiden Jokowi mengambil keputusan keras untuk sekalian melarang ekspor migor serta CPO. Sekalipun komoditas ini merupakan primadona devisa. Ditengarai bahwa mereka justru berselancar atau memanfaatkan momentum APBN yang sedang butuh devisa akibat krisis C-19 dua tahun belakangan ini. Dikiranya Presiden Jokowi tak bakal berani melarang ekspor komoditi ini.
Kebijakan Presiden Joko Widodo yang nekad ini tentu saja mengagetkan semua pihak. Apalagi para mafia-migor itu. Kalau saja sampai Presiden menugaskan Bulog –untuk sementara waktu misalnya– mengambil alih semua (atau sebagian besar) distribusi migor, maka struktur pasar oligopolistik mereka bisa berantakan.
Kecuali tentu mereka mampu “merestrukturisasi” pola kartel-oligopolistiknya dengan “mengabsorbsi” Bulog ke dalam pola permainan mereka. Namun ini tentu butuh teknik kolusi tingkat tinggi. Dan kemungkinan ini nampaknya kecil. Bukan begitu Pak BW (Dirut Bulog)?
Sekarang ini yang jelas para mafia-migor itu sedang ketar-ketir.
Sampai kapan mereka mesti ketar-ketir? Sampai batas waktu yang ditentukan kemudian!
23/04/2022
Andre Vincent Wenas, Direktur Eksekutif Lembaga Kajian Strategis (LKS) PERSPEKTIF, Jakarta.