Jokowi dan 5 Belalang, Makna Sebuah Lukisan

Namanya Suwito, berprofesi sebagai pelukis. Di bilangan Gunung Sahari dia menempati sanggar sekaligus tempat tinggalnya. Belajar melukis secara otodidak bersama komunitas pelukis di Pasar Seni Ancol, era 90an.

KOLOM

Dahono Prasetyo

-Iklan-

 

 

Otodidak dalam seni terkadang jadi kunci penentu ketekunan seseorang dalam berkesenian. Seorang Suwito yang barangkali hanya punya sedikit bakat seni, namun dengan ketekunannya belajar di jalanan, membuat kualitasnya terasah secara otomatis.

Suatu saat pada bulan Februari 2019, di sebuah restoran, Suwito dipertemukan oleh seseorang. Suwito yang lahir di Boyolali berkenalan dengan pria separuh baya yang juga punya keluarga besar di Boyolali. Namanya Agus, namun sering dipanggil Romo Agus (sebutan Romo untuk orang tua yang dihormati layaknya bapak sendiri).

Saat itu Suwito duduk satu ruangan bersama tamu lain yang sebagian besar terlihat begitu menghormati sosok Romo Agus. Merasa dirinya bukan siapa-siapa, Suwito perlahan duduk menjauh. Namun belum sempat sampai di tempat duduk, Romo Agus memanggil.

“Itu siapa kok duduknya malah menjauh?”

Suwito diperkenalkan sebagai pelukis jalanan dari Boyolali.

“Ya sudah, kesini saja duduk bareng, jangan misah. Kita keluarga besar di Boyolali juga kok…,” pinta Romo Agus.

Keakraban mereka berlanjut di luar restoran, saling berkomunikasi melalui WA dan telephone. Beberapa falsafah Jawa dari Romo Agus menjadi nasihat indah dalam memahami hidup yang sudah semakin carut marut.

Lamun siro sekti ojo mateni” (Meskipun kita hebat berkuasa, tapi jangan sekali kali menjatuhkan).

Lamun siro banget, ojo dhisiki” (Meskipun kita lebih cepat tapi jangan me dahului).

Lamun siro pinter ojo minteri” (Meskipun kita pandai, jangan menggurui).

3 Falsafah Jawa tersebut disampaikan Romo Agus kepada Suwito. Menurut Romo Agus 3 petuah itulah yang dipegang teguh oleh seorang Joko Widodo.

Siapakah Romo Agus yang berpenampilan sederhana, berkharisma dan mengayomi dengan segala tutur katanya?

Beliau adalah paman dan Presiden Indonesia ke 7, Joko Widodo. Agus Supriyanto adalah paman sepupu Jokowi dari jalur ibundanya.

Kepada Suwito, Romo Agus sering bercerita tentang masa kecil Jokowi saat masih hidup susah. Salah satunya adalah kesukaan Jokowi kecil mencari belalang di kebun.

Entah mengapa akhirnya Suwito terbersit ide untuk membuat lukisan Jokowi dan 5 ekor belalang dengan warna yang berbeda.

Cerita tentang belalang sedikit banyak menginspirasi strategi pembangunan infrastruktur di Indonesia.

Pembangunan Bandara di beberapa kota dilakukan, mengadopsi lompatan belalang dari satu tempat ke tempat lain dengan cepat. Percepatan distribusi ekonomi sebagai negara kepulauan dilakukan “loncatan belalang” antar bandara.

Tetapi secara spesifik pengalaman saat Jokowi hidup susah dengan berburu belalang, bisa multi tafsir. Entah digoreng untuk tambahan lauk layaknya kebiasaan masyarakat miskin pedesaan, hanya Jokowi dan Romo Agus yang tahu.

Lukisan Jokowi dan belalang yang direstui Romo Agus baru sebatas ide yang suatu saat akan direalisasikan Suwito ke dalam canvas. Namun takdir berkata lain. Romo Agus meninggal dunia dalam pesawat yang membawanya dari Solo ke Jakarta. 27 November 2019 menjadi hari kesedihan yang mendalam bagi keluarga Jokowi. Agus Supriyanto bukan sekedar paman, tetapi sudah dianggap pengganti orang tua di keluarga besar Jokowi.

Wafatnya Romo Agus juga meninggalkan duka mendalam bagi Suwito yang malam harinya, sehari sebelum meninggal sempat berkomunikasi. Seolah mendapat pesan, bahwa ide lukisan Jokowi dan belalang itu harus segera dibuat.

Tanggal 3 Agustus 2020 sentuhan pertama kuas Suwito menggores canvas berukuran 120×140 cm. Dan di akhir bulan lukisan itu selesai dengan penuh keharuan layaknya mempersembahkan sesuatu untuk Romo Agus dan Jokowi.

Saya catat satu persatu saat Suwito mengisahkan sejarah lukisan tersebut yang kini masih tersimpan rapi di galerinya. Keinginannya memberikan kepada Jokowi begitu menggebu. Seolah ini menyimpan sejarah masa kecil Jokowi tentang belalang. Romo Agus menjadi saksinya.

Kepadanya saya sampaikan, siap bantu mengabarkan perihal lukisan ini kepada Jokowi. Menjadi persembahan tanpa pamrih dari seorang seniman yang mengapresiasi 5 belalang sebagai sila dalam Pancasila

Entah bagaimana caranya saya yakin pasti ada jalan. Karena sama seperti Suwito, sayapun juga tahu diri bukan siapa-siapa. Hanya salah satu butir dari jutaan kilo pasir yang bercampur semen, membentuk pagar tembok luar penjaga Istana Jokowi. Bukan perangkat di ruang kerja Jokowi.

Sabar ya Pak Wit.

1 COMMENT

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here