Penulis: Erri Subakti
Pukul 5.00 WITA Jess sudah terbangun di ranjang mess karyawan kantor regional di Kalimantan Selatan. Sejenak duduk di tempat tidur untuk lalu menuju ke kamar mandi. Jadwal pagi ini ia harus kembali ke Jakarta dengan penerbangan pukul 8.35 WITA. Dia akan mewawancarai seorang calon anak buahnya. Setelah bulan sebelumnya dia ajukan permohonan ke direksi dan HRD untuk kebutuhan pekerjaan di bidang yang ditanganinya, Corporate Communication (Corcom), untuk sebuah posisi non struktural. Posisi fungsional, sebagai socio cultural analyst yang laporannya bisa langsung ke dirinya dan direksi, tak hanya ke GM (General Manager) operasional di site.
Jess sebagaimana latar belakangnya di bidang jurnalistik hingga menjadi anchor berita di beberapa stasiun televisi meyakini bahwa dengan riset turun ke lapangan langsung dan mendapat data riil masyarakat mengenai hubungan perusahaan dengan masyarakat lokal maka akan didapatkan analisa yang bisa memberikan rekomendasi program untuk Corcom.
Tiga puluh menit kemudian Jess telah bersiap memakai blazer putihnya. Setelah memulas sedikit wajahnya dengan riasan sederhana namun memancarkan aura elegan yang tak menghilangkan kecantikan aslinya. Ia tak perlu mampir ke kantor regional pagi ini. Supir kantor telah menantinya di bawah depan mess karyawan.
Ia menarik kopornya keluar kamar dan turun ke bawah. Supir kantor bernama Marwan sigap menyambutnya, “Selamat pagi Bu Jessica, mari saya bawakan ke dalam mobil.”
Senyum tipis, tipis sekali nyaris tak terlihat, membalas sapaan Marwan. Dan membiarkan Marwan mengangkat kopornya ke dalam mobil.
Marwan berasal dari Kalimantan Tengah, sikap dan pembawaannya seandainya dia tidak sedang menjadi supir sebenarnya tak beda jauh dengan anak muda tongkrongan Jaksel. Bedanya paling hanya di logat Banjar yang masih kental.
Rambut Marwan selalu klimis dengan Pomade. Pakaiannya rapi, bertubuh tidak kurus tidak gemuk, proporsional. Usianya 23 tahunan. Jess kerap memilih Marwan sebagai supirnya saat ia berkunjung ke RO (Regional Office) di Kalimantan, karena secara wawasan ia bisa diajak bicara banyak hal. Bahkan suatu kali ia pernah mampir ke rumah Marwan dan keluarganya di Kalimantan Tengah. Dan terjawab sudah mengapa Marwan meski hanya seorang supir namun memiliki attitude yang baik. Rumah keluarga Marwan cukup besar. Terlihat perekonomian keluarganya bukan orang susah. Namun entah dia enggan meneruskan pendidikannya ke jenjang perguruan tinggi dan memilih bekerja saja sebagai supir. Tapi kalau melihat caranya membawa mobil nampak sekali ia sangat menyukai menyetir mobil antar kota antar provinsi di jalan-jalan Kalimantan ini. Ia selalu happy jika menyetir, namun kurang betah untuk bekerja di kantor layaknya kelas menengah di kota.
Kantor RO tak jauh dari Bandara, hanya 30 menit sampai. Marwan memarkir mobilnya. Jess turun dari mobil. Sementara Marwan mengambil kopor Jess.
“Selamat jalan Bu Jessica,” ucap Marwan.
“Ya, terimakasih Marwan, sampai bertemu lagi,” balas Jess ramah namun tanpa senyuman.
Selang waktu Jess sudah duduk di kursi penumpang. Ia tak pernah memilih kelas bisnis meski berhak menggunakannya dengan fasilitas kantor. Sama seperti ia lebih memilih menginap di mess kantor meski ia berhak untuk menginap di hotel bintang 5 sekali pun.
Hal ini mungkin yang menjadi keunikan seorang Jessica yang dingin, angkuh, dengan pembawaan berkelas. Meski dirinya seorang yang dihormati di kantor tapi ia tak senang berada dalam posisi yang terlalu nyaman duduk di kursi empuk.
Latar belakangnya sebagai jurnalis dan anchor TV yang sering diturunkan ke lokasi-lokasi berbahaya dan berisiko membuatnya terbiasa menjalani pekerjaannya di wilayah-wilayah yang sangat sangat tidak nyaman di berbagai daerah.
Peristiwa Bom Bali salah satunya. Bagaimana ia langsung terbang ke TKP (tempat kejadian perkara) dan berada persis di kawasan tempat ledakan terjadi. Kelabu sangat kelabu bahkan gelap, menyusuri mayat-mayat bergelimpangan, yang secara perasaan sulit untuk digambarkan saat itu, apalagi dia masih jurnalis muda. Emosinya menggelegak tapi harus ia tahan untuk melaporkan pemberitaan agar kata-katanya keluar dengan baik.
Setelah melihat-lihat berbagai pilihan film di pesawat yang tak membuatnya tertarik, rasa kantuk datang. Jess terlelap. Ia lebih mudah tidur di dalam perjalanan. Darat maupun udara. Berbeda jika di dalam kamar dengan ranjang yang nyaman, ia sulit untuk tidur. Maka waktunya lebih banyak ia habiskan untuk bekerja dan aktivitas lainnya. Sibuk sesibuk-sibuknya. Lebih tepatnya menyibukkan diri dan pikirannya terus pada pekerjaan dan pekerjaan.
Jess bekerja sangat “mengerikan”, perfectionist, segalanya harus cepat dan baik. Anak buahnya jarang santai di bawah koordinasinya. Ia terobsesi membuat timnya “the dream team” dalam perusahaan.
Mungkin memang begitu sifatnya, atau Jess tumbuh dan terbentuk seperti itu. Obsesi dan ambisi menjadi yang terbaik. Namun juga tidak bisa dipungkiri ada hal lain yang membuatnya kerja gila-gilaan.
Tiga tahun lalu pernikahannya mengalami prahara besar yang akhirnya kandas, menimbulkan luka yang begitu mendalam di hatinya. Sejak itu ia langsung “full” hidup dengan “pacar”nya yaitu pekerjaan.
“Aku harus melupakan masa-masa kelam perceraianku dengan bekerja keras. Keras sekali,” begitu ia akui kepada psikolognya karena mentalnya drop saat itu. Jess mengalami stress berat.
Ambisi mewujudkan program besar di bidang komunikasi perusahaan berskala nasional namun menyeluruh di seluruh site perusahaan ia rancang. Obsesinya menyelesaikan berbagai persoalan-persoalan konflik perusahaan dengan masyarakat lokal dan komunitas adat, tekanan LSM lokal dan NGO nasional dan asing, juga pemberitaan miring media atas perusahaannya. Ia mau semuanya tuntas tas tas dan tak lagi ada masalah di kemudian hari yang menjadi PR berlarut-larut.
Maka tak ayal ia divonis dokter sebagai penderita hipertensi akut. Sehingga dokter pribadinya memberi ultimatum untuk menjaga pola hidup sehat dan meminum obat hipertensi setiap hari.
“Ingat, setiap hari Jessica. Bukan sekali. SETIAP HARI!”
Itu yang selalu didengung-dengungkan oleh dokternya.
Bersambung….
Baca sebelumnya: