Penulis: Bambang Tjuk Winarno
RABU, 17 Nopember 2021, Letjend TNI Dudung Abdurachman dilantik Presiden Jokowi sebagai Kepala Staf Angkatan Darat (KSAD). Acara pelantikan itu berlangsung di Istana Negara, yang kemudian diikuti kenaikan satu tingkat pangkatnya menjadi Jendral bintang empat (Jendral penuh).
Sejak menjadi orang nomor satu di lingkup Angkatan Darat, Dudung yang berjuluk ‘Jendral Baliho’ itu memang terlihat seperti bingung tentang apa yang mesti dikerjakan.
Publik menggelarinya sebagai ‘Jendral Baliho’ tersebut terkait aktivitasnya yang melakukan pekerjaan bukan porsinya, menurunkan baliho bernarasi Rizieq Shihab, yang harusnya menjadi domain Satpol PP.
Beberapa waktu berselang, Dudung membuat penyataan kontroversial terkait Kelompok Separatis Bersenjata (KSB) Papua, yang oleh pemerintah dikategorikan sebagai Kelompok Kriminal Bersenjata (KKB).
Terkait itu Dudung menyatakan, agar semua pihak tidak memusuhi dan menembaki KKB bahkan harusnya merangkul mereka. Lantaran, menurut Dudung, KKB adalah saudara kita yang belum memahami NKRI.
“Satgas tidak harus memerangi KKB, namun mereka perlu dirangkul dengan hati yang suci dan tulus karena mereka adalah saudara kita. Keberhasilan dalam tugas bukan diukur dengan dapat senjata namun bagaimana saudara kita bisa sadar dan kembali ke pangkuan NKRI,” kata Dudung (detikcom, Kamis 25/11).
Arahan Dudung yang tentu diproyeksikan kepada jajarannya (TNI AD) itu boleh jadi sebagai bentuk mengubah strategi, dari pendekatan senjata (militer) menjadi humanitarian approach (pendekatan kemanusiaan).
Barangkali model begitu jadi benar, jika yang dihadapi adalah kelompok kriminal (gangster) yang berusaha merampok bongkahan emas Freeport. Sekali lagi kelompok kriminal. Bukan kelompok separatisme.
Sedangkan yang dihadapi Dudung adalah kelompok separatisme di Papua, yang orientasi semangatnya ingin mendirikan negara (Papua) dalam negara yang menaunginya (NKRI). Atau dengan lain kata, mereka ingin memisahkan diri dari NKRI.
Namun apa lacur, sikap permisif dan kompromistis Dudung tersebut justru disambut teriakan keras dan tegas pihak KKB. Bahkan sebagaimana dilansir Terkini.id (Kamis, 25/11), juru bicara KKB, Sebby Sambom, menjawabnya dengan sebuah ‘penghinaan’, “KKB tidak sudi disebut bersaudara dengan Indonesia. Itu mimpi”.
Jawaban Sebby Sambom menjadi wajar, mengingat keinginan kelompok separatisme tersebut semacam ideologi ingin mendirikan Negara Papua Merdeka. Keinginan itu, boleh jadi, sebagai harga mati baginya.
Bertolak dari analisa tersebut, tidak ada cara yang lebih ampuh terkait keberadaan kelompok separatisme bersenjata kecuali dengan tegas menumpasnya. Bukan merangkulnya.
Tinggal bagaimana policy Presiden Jokowi. Berani atau takut menumpas separatisme. Diplomasi apa yang akan disampaikan Jokowi, bila terdapat teriakan negara luar tentang pelanggaran HAM terkait hal itu.
Nah, kembali ke pikiran Dudung. Ter-gres dia membuat pernyataan yang seharusnya tidak diungkapkannya lantaran bukan kapasitasnya. Dikatakan bukan kapasitasnya, lantaran ungkapannya menyangkut seluk beluk syariat Islam.
Menurut wartaekonomi.co.id (Rabu 1/12), Dudung mengaku usai sholat dia berdoa simpel, menggunakan bahasa Indonesia. Hal itu dikarenakan, menurut pikiran Dudung, Tuhan bukan orang Arab.
“Kalau saya berdoa setelah sholat, doa saya simpel aja, ya Tuhan pakai bahasa Indonesia saja, karena Tuhan kita bukan orang Arab,” aku Dudung.
Ungkapan Dudung itu benar, karena faktanya Tuhan (Allah SWT) memang bukan orang Arab. Karena bukan orang Arab, maka Dudung berkomunikasi menggunakan bahasanya sendiri (yang pasti dipahami Tuhan). Mungkin itu maksudnya.
Namun, maaf, Dudung ternyata tolol lantaran berani membuat imagery atau tamsil atau perumpamaan atau penyandingan antara Allah SWT dengan manusia (orang). Lebih jauh dari itu, ekstrimnya, pernyataan Dudung bisa dikategorikan telah menghina Agama Islam. Atau pelecehan terhadap Islam.
Bukankah Allah SWT merupakan Dzat yang tiada sanding dan banding, yang singgasananya kekal di Arrazy. Dengan begitu Allah SWT tidak bisa dibanding bandingkan dengan apapun dan siapapun.
Dudung adalah sosok murni militer. Tidak terlihat basic ke-Islaman yang cukup. Terlebih, dia juga bukan pakar Agama Islam namun telah berani membuat pernyataan tentang dunia Islam, yang jungkir balik dan membias. Akibatnya, kritikan dari berbagai pihak mengalir deras kepadanya.
Tak kurang, Imam Shamsi Ali, Imam di Islamic Center of New York yang juga Direktur Jamaica Muslim Center, ikutan tarik suara mengkritisi ucapan Dudung.
“Statemen Jendral keliru: 1) Tuhan memang pastinya bukan orang. Karena bukan orang maka 2) Tuhan tidak dibatasi oleh kebangsaan/etnis/ras,” kata Imam Shamsi Ali.
Di akhir kritikannya Imam Shamsi Ali menyarankan agar Dudung lebih baik fokus di bidangnya. Yang utama, menuntaskan perkara sipil bersenjata selaku separatisme Papua. *