Penulis: Nurul Azizah
Masih ingat Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) Daerah Khusus Ibukota (DKI) Jakarta tahun 2017? Tentu masih ingat karena Pilkada DKI 2017 berbeda dengan Pilkada yang ada di Indonesia. Dalam Pilkada tersebut muncul kejadian yang berkaitan dengan agama tertentu yang dilakukan oleh kelompok radikal yang selalu membawa agama untuk tameng pergerakannya.
Munculnya kasus penistaan agama, aksi demo di Monas yang dilakukan oleh PA’ 212 yang selanjutnya kelompok tersebut dicap sebagai kelompok Islam Monaslimin. Apa yang dilakukan kelompok Monaslimin di Jakarta menjadi pembangkit semangat umat Islam untuk memilih pemimpin seagama. Hal inilah yang mempengaruhi warga Jakarta untuk tergerak memilih Anies sebagai gubernur DKI Jakarta dalam Pilkada DKI 2017. Aktifnya kelompok Islam Monaslimin menggerakkan warga DKI untuk memilih gubernur DKI yang seiman. Inilah yang dinamakan politik identitas agama. Kelompok Monaslimin terus kampanye menggerakkan masyarakat muslim untuk mendukung kemenangan Anies dalam Pilkada DKI Jakarta 2017.
Ada banyak sindiran yang ditujukan oleh Anies Baswedan karena dalam Pilkada 2017 banyak didukung oleh kelompok yang sering melakukan aksi bela Islam. Yaitu aksi bela Islam 411 dan 212 yang menuntut Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok dipenjara atas tuduhan penghinaan agama untuk memenangkan kandidat tertentu. Atas kejadian ini Jakarta dikenal sebagai kota intoleransi beragama.
Cukup DKI saja yang mengusung gubernur dengan membawa politik identitas agama tertentu. Jangan daerah lain, apalagi Indonesia.
Penulis pernah diundang pada acara seminar “Pencegahan Penyebaran Politik Identitas di Lingkungan Pendidikan” yang diadakan oleh Yayasan Santriversitas Harapan Indonesia bekerja sama dengan Kementerian Agama Republik Indonesia.” Bagus acaranya karena yang diundang para pengajar di Perguruan Tinggi (PT) baik swasta maupun negeri serta pengajar di Madrasah Aliyah se-Kota Semarang. Acara yang diadakan pada akhir Mei 2023 sangat luar biasa karena yang hadir sebagai narasumber Staf khusus Kementerian Agama Republik Indonesia bidang hukum dan hak asasi manusia, Kepala Litbang dan Diklat Kementerian Agama RI, beberapa dosen dan tenaga ahli.
Dalam acara tersebut narasumber memaparkan problem-problem politik identitas. Warga masyarakat diharapkan bisa berfikir rasional dan tidak berfikir secara emosional, terutama komunitas warga kampus dan pendidik untuk bisa berfikir secara rasional.
Jangan sampai politik identitas agama pada Pilkada DKI 2017 terulang lagi di Pilpres tahun 2024. Pada pilpres 2024 seharusnya mengusung identitas bangsa Indonesia yang plural, majemuk, berbagai suku, agama, bahasa dan budaya yang berbeda-beda. Indonesia yang besar ini tidak dibangun dengan identitas tertentu saja.
Kita sebagai warga negara, selalu ingat bahwa bangsa Indonesia dibangun oleh para pendiri bangsa dengan mengedepankan kemajemukan, banyak suku, agama dan kebudayaan. Bangsa Indonesia dibangun atas kemajemukan dan pluralisme.
Jangan sampai pilpres 2024 diwarnai oleh politik identitas. Apalagi memiliki statement kalau tidak memilih calon yang beragama Islam maka orang tersebut sesat, atau dibilang murtad dan tidak masuk surga.
Jangan sampai pilpres 2024 ada calon presiden dari suku tertentu dan berkampanye orang Jawa harus memilih calon dari Jawa. Karena hal ini memakai RAS untuk dieksploitasi dalam konteks politik.
Jangan sampai praktek politik identitas Pilkada 2017 terulang lagi pada pilpres 2024. Rakyat Indonesia sudah cerdas, biarlah Jakarta saja yang kena imbas dipimpin oleh gubernur dari hasil pilkada dengan nuansa politik identitas, jangan Indonesia. Indonesia dihuni oleh kemajemukan dan pluralisme agama, suku bangsa, budaya, bahasa dan lain sebagainya. Kalau ada capres dan cawapres yang menggunakan politik identitas untuk tujuan politiknya tidak usah dipilih saja.
Pernyataan Menteri Agama Gus Yaqut Cholil Qoumas, usai menyebut ada figur capres yang punya rekam jejak melakukan politisasi agama saat pemilu ya wajar saja. Karena Gus Yaqut memberikan pendidikan berpolitik bagi masyarakat. Yaitu politik yang mengusung identitas bangsa Indonesia yang plural, majemuk, berbagai suku, agama, bahasa dan budaya yang berbeda-beda.
Gus Yaqut mengingatkan agar masyarakat tidak memilih calon pemimpin yang menggunakan agama sebagai kepentingan politik. Hal tersebut disampaikan oleh Menteri Agama saat memberikan sambutan pada acara doa bersama Wahana Nagara Rahaja bersama umat Buddha di Hotel Alila, Solo Jum’at (29/9/2023). Kalau ada capres atau pihak lain yang tersinggung dengan ucapan Gus Yaqut ya mulai menata diri. Bahwa bangsa Indonesia adalah majemuk dan plural, bukan dikuasai oleh agama tertentu saja.
Nurul Azizah penulis buku Muslimat NU Militan Untuk NKRI.
PESAN SEGERA BUKUNYA SEBELUM KEHABISAN!
Hub. +62 851-0240-8616