Jangan Cuma Omong? Jangan Cuma Beropini? Pertarungan Menjernihkan Ruang Publik dan Merawat Memori Publik

Penulis: Andre Vincent Wenas

Parle, adalah asal kata yang membentuk kata Parlemen. Etimologis kata ‘parle’ itu (menurut Mirriam-Webster Dictionary) adalah:

“Middle English parlen ‘to speak, talk, confer,’ borrowed from Anglo-French parler ‘to speak, talk’”.

-Iklan-

Begitulah. Jadi memang tugas parlemen, juga parpol dan mereka yang peduli dengan politik (dalam artinya yang mulia) adalah terus bicara, wacanakan, ingatkan lewat percakapan lisan maupun tertulis. Beropini juga boleh, tentu dalam rangka merawat memori publik (yang nota bene memang gampang lupa).

Selain merawat memori publik juga untuk semakin mengasah daya kritis, mendewasakan kebiasaan dialog yang cerdas dan membangun. Silih asah silih asuh dan silih asih. Tidak mencaci, apalagi menyebar hoaks dan fitnah.

Perbincangan publik (public discourse) berperan membentuk opini publik, yang pada gilirannya mempengaruhi sikap dan tindakan publik.

Persoalan kata ‘parle’ ini perlu kita angkat ke permukaan lagi. Lantaran – dari pengalaman kita – masih banyak yang mengomentari tulisan, atau opini yang dibagikan ke publik dengan kata-kata seperti: “jangan cuma omong doang, jangan hanya beropini tapi action dong, ah bosan dengan omongan atau tulisan macam begini,” dan seterusnya dengan berbagai varian sejenis.

Selain itu, kita sama-sama tahu bahwa ruang publik kita sekarang kerap dikotori dengan narasi tipu-tipu alias hoaks. Kabar bohong yang insinuatif, mengarah ke fitnah. Ini menyesatkan, membodohi publik, maka itu juga berbahaya.

Berbahaya untuk spirit persatuan dan kesatuan. Juga berbahaya lantaran jalan “Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan,” bisa bengkok jadi kerakyatan dan dipimpin oleh hoaks dan fitnah untuk merekayasa musyawarah demi mufakat yang palsu. Gawat khan?

Maka “pertarungan” di ruang publik semata-mata adalah untuk menyediakan narasi-tandingan. Dimana masyarakat secara bebas diberi kesempatan untuk melakukan komparasi antar berbagai narasi yang berseliweran di ruang publik. Alam demokrasi memang memungkinan berseliwerannya berbagai narasi di ruang publik.

Narasi-tandingan penting untuk dipakai jadi perbandingan dengan narasi sebelumnya. Harapannya, dengan segala kejujuran hati dan kecerdasan intelek yang semakin bertambah, publik bisa mencerna, bisa memilah-milah dan akhirnya bisa memilih dan melakukan yang benar, baik, indah dan bermanfaat. Saringan ala Sokrates.

Perhatikan juga kalimat diatas yang bilang, “…publik secara bebas…” Ya, bebas artinya tak ditakuti-takuti dengan ancaman doktrin maupun tekanan pemberhalaan (idolatry) terhadap apa pun. Freedom to think, kebebasan dalam berpikir. Lepas dari ancaman surga-neraka misalnya. Juga tidak terbelenggu dengan “pemberhalaan” tentang figur tertentu (seolah ia selalu pasti benar).

Jadi, publik yang “sadar politik” seyogianya punya kewajiban moral, panggilan etis, untuk ikut “menjernihkan” ruang publik dari polusi hoaks, kabar bohong dan apalagi fitnah yang jahanam itu.

Ingat, tiga cabang dalam tata negara kita, ada eksekutif, yudikatif dan legislatif (parlemen) yaitu mereka yang mewakili rakyat (disebut wakil rakyat). Tugas parlemen adalah menyuarakan kepentingan rakyat.

Dan rakyat yang punya kepentingan itu juga bukanlah entitas yang gagu. Rakyat bisa, boleh dan malah wajib untuk ikut bersuara secara kritis. Platformnya adalah ruang publik.

Optimalisasi ruang publik untuk merawat memori publik tentang isu penting yang belum (selesai) dikerjakan eksekutif, yudikatif bahkan juga legislatifnya. Apalagi kalau parlemennya kerap bisu, entah lantaran terbelenggu berbagai kepentingan. Membangun masyarakat yang komunikatif memang jalan panjang, bahkan ‘the less travelled road’.

Maka, teruslah berbicara, bersuara, menulis, beropini. Jernihkan ruang publik kita yang keruh ini. Parle!

02/12/2022
Andre Vincent Wenas, Direktur Eksekutif Lembaga Kajian Strategis PERSPEKTIF (LKSP), Jakarta.

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here