Inilah Kampung Miliarder “Nelayan”, Tak Kena Krisis Akibat Pandemi

SintesaNews.com – Pandemi Covid-19 yang melanda dunia sejak 1 setengah tahun ini tidak selalu tidak mempengaruhi perekonomian, contohnya di sebuah kampung “nelayan” di Kecamatan Juwana Kabupaten Pati Jawa Tengah.

Masyarakat di Kecamatan Juwana Kabupaten Pati sebagian besar berprofesi sebagai nelayan baik nelayan tangkap maupun nelayan tambak. Nelayan di wilayah ini adalah nelayan dengan kapal berbobot besar dengan wilayah jelajah sampai ke seluruh nusantara.

Boleh dikatakan, Kampung Juwana bisa disebut sebagai kampung juragan kapal.

-Iklan-

Hal ini dapat dilihat jika kita berkunjung ke Pelabuhan Bajomulyo Pati, Kapal-kapal besar bersandar dan berjejer di pelabuhan Bajomulyo serta ramainya aktifitas tempat pelelangan Ikan di Bajomulyo saat kapal-kapal datang dan membongkar muatan hasil tangkapan ikan.

Kapal yang berkapasitas 30 gross ton harganya sekitar Rp 5-7 miliar.

Berapa sih hasil melaut para juragan kapal di Kampung Juwana?

Sekali berlayar mencari ikan, para juragan kapal bisa mendapat untung Rp 1-2 miliar. Para nelayan di Kabupaten Pati berlayar selama 5-6 bulan di laut. Maka dalam setahun keuntungannya sudah di atas Rp 2 miliar.

Keuntungan 2 miliar itu merupakan 60% dari bagi hasil. Karena 30%-nya untuk kapten kapal atau tekong. Lalu 10% dari hasil tangkapan untuk para kru nelayan yang berjumlah sekitar 20-30 orang.

Para kru nelayan biasanya berasal dari desa tetangga Kampung Juwana.

Jika hasil tangkapan ikan selama 5 bulan mencapai nilai Rp 3 miliar, maka juragan kapal dapat hasil Rp 1,8 miliar, Tekong dapat Rp 900 juta, dan kru kapal 30 orang masing-masing dapat: 3 miliar x 10% = 300 juta, dibagi 30 orang kru nelayan Rp 10 juta tiap nelayan.

Modal biaya pembuatan kapal bisa mencapai Rp 7 miliar. Ditambah lagi para juragan kapal tidak hanya memiliki 1 kapal. Rerata dalam setahun para juragan sudah bisa balik modal.

Para nelayan berlayar hingga ke Laut Arafuru, yang dituju mencari ikan tuna dan tenggiri. Meski ikan-ikan lainnya juga ditangkap. Namun jika banyak mendapat tuna, apalagi tenggiri, hasilnya bisa 3 kali lipat dari perhitungan di atas.

Hasil tangkapan tuna yang berkualitas langsung diekspor ke Jepang. Dengan kualitas tuna yang bagus, wajar jika di Jepang harga ikan tuna sangat tinggi. Berkali-kali lipat dari harga di pasar lokal. Ikan tuna yang diekspor ke Jepang kualitasnya jauh berbeda dengan ikan-ikan tuna yang dijual di pasar-pasar lokal.

Namun dari keuntungan besar para juragan kapal, berbanding terbalik dengan hasil para kru nelayannya.

Disebutkan tadi di atas, hasil untuk para kru nelayan adalah Rp 10 juta per orang. Jika berlayar selama 5 bulan, praktis rumah tangga para kru nelayan hanya hidup dari pendapatan Rp 2-3 jutaan per bulannya.

Bagusnya, pendapatan ini bisa dibayarkan seperti pembayaran gaji tiap bulan, yang ditransfer oleh para juragan kapan ke masing-masing rumah tangga kru nelayan.

Meski pendapatannya kecil, para kru nelayan tidak ada pilihan lain.

Di masa pandemi Covid-19 dimana banyak sektor usaha yang terpengaruh, termasuk sektor transportasi laut, karena adanya berbagai pembatasan, sektor perikanan teenyata tidak banyak terpengaruh.

Ini menjadi bukti bahwa pengembangan ekonomi maritim sangat mutlak dilakukan, kalo dulu kita selalu swasembada pangan sektor pertanian maka sekarang kita juga harus mewujudkan swasembada dari sektor laut. Pemerintah berupaya mewujudkan ketahanan pangan yang bersumber dari laut.

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here