Penulis: Dahono Prasetyo
Bagi generasi milenial yang atau yang lahir tahun 90an ke atas nama Gerakan Pemuda Marhaenis (GPM) tentunya masih asing. Ormas Nasionalis yang sempat vakum dari tahun 1983 hingga dibangkitkan lagi tahun 1998 oleh Almarhumah Rachmawati Soekarnoputri yang pada akhirnya kembali vakum setelahnya.
Di tahun 2019 sejumlah kader Marhaenis mencoba membangkitkan kembali semangat Soekarnoisme melalui forum deklarasi kebangkitan. Membentuk kepengurusan di tingkat DPD, DPC hingga PAC. Muncul nama Heri Satmoko sebagai Ketua Umum GPM Caretaker (sementara) sampai diselenggarakan Kongres untuk menetapkan Ketua Umum Definitif, 25 DPD (Propinsi) dan 125 DPC (kota/kabupaten) terbentuk.
GPM yang pada kiprahnya sebagai ormas politik berbasis ideologi mengalami jatuh bangun karena tekanan rezim orde baru. Memutuskan untuk tidak menjadi underbow partai politik manapun sudah tentu bukan pekerjaan mudah. Kader-kader muda bergabung para senior berjiwa marhaen sepakat menyambung benang merah sejarah ajaran Soekarno. Itu juga bukan berarti tanpa kendala.
Keinginan mulia menyelenggarakan Kongres berbuah dilematis. Utamanya persoalan dukungan logistik. Heri Satmoko yang dipercaya sebagai Ketua Umum Caretaker punya strategi berbeda yang pada akhirnya menjadi kesalahan fatal dalam perjuangan ideologi politik.
DPP GPM merapat ke kubu petinggi Orba (Golkar) untuk meminta restu pelaksanaan Kongres menjadi paradigma baru. Jangan dibayangkan restu sekedar jabat tangan dan kiriman karangan bunga. Transaksi logistik event Kongres tidak mustahil terjadi. Rilis berita pertemuan dua gerbong politik berbeda ideologi menjadi keuntungan politis dari kubu Partai Golkar. Tanpa harus membongkar kedok basa-basi keduanya, simbol-simbol jelas terbaca.
Kaum Marhaen yang berpuluh tahun merasakan tekanan de-Soekarnoisme, di bawah kepengurusan Heri Satmoko kini menyerah tanpa syarat di bawah kaki elite Partai Golkar.
Banteng GPM berubah berwarna kuning, musuh abadi dijadikan induk semang, ideologi tergadai militansi marhaen mendadak jinak dalam guyuran materi.
Jika ideologi sebagai satu-satunya kekuatan yang masih tersisa tergadai juga, maka selesai sudah. Marhaen sekedar jadi penonton di pojokan sejarah, banteng yang dicokok hidungnya pasrah diikat di bawah pohon beringin.
Apalagi yang tersisa untuk diwariskan kepada anak cucu? De-Soekarnoisasi sebagai karya terbesar rezim orde baru, sukses dengan gemilang justru disaat Republik ini sedang krisis Nasionalisme.
Ideologi tidak akan membuat perut kenyang. Namun itulah sejatinya sebenar-benarnya menjadi manusia berdaulat. Bukan manusia yang tanpa aurat.
Dahono Prasetyo
Depok 12/10/21