Penulis: Andre Vincent Wenas
Ini isu hukum atau isu politik? Dua-duanya! Politisi korup dan dihukum.
Korupsi adalah kejahatan luar biasa (extra-ordinary crime). Tapi dengan alasan telah bekerja dengan baik selama menjabat Menteri Kelautan dan Perikanan RI maka dalam amar putusan kasasi Hakim MA mengorting vonis hukuman Edhy Prabowo. Apa-apaan ini?
Ketika kabar soal ini tersiar, sontak PSI lewat Ariyo Bimmo, SH,LLM., Jubir Bidang Hukum, protes keras. Jangan mengada-ada!
“Ini bisa jadi preseden buruk, suatu putusan dengan alasan yang mengada-ada. Bagaimana mungkin jabatan yang baru diemban sekitar 1 tahun dan kemudian ditangkap ketika selesai membelanjakan uang hasil korupsinya dikatakan telah bekerja dengan baik?” begitu protes Ariyo Bimmo.
Ini bisa jadi preseden buruk dalam tatanan hukum kita, bagaimana kalau keputusan yang dianggap ceroboh ala hakim MA ini jadi jurisprudensi? Khan repot jadinya.
Sepanjang 2021-2022 saja masih berentetan, ada kasus Jaksa Pinangki, kasus Djoko Tjandra, kasus Juliari Batubara, kasus RJ Lino dan terakhir kasus Azis Syamsuddin yang nyatanya hanya divonis 3,5 tahun penjara.
Lagi pula, apa urusannya MA kok malah jadi penilai kinerja seorang Menteri? Apakah baik atau buruk kinerja menteri itu urusan presiden (eksekutif), bukan MA (judikatif). Tapi kalau di tengah masa jabatan si menteri tertangkap basah (di OTT KPK) lalu masuk ke ranah hukum, nah itu jelas jadi urusannya MA. Ini legal-review atau management-review?
Sekedar info, dalil MA soal yang dibilang kinerjanya baik itu adalah: Edhy Prabowo mencabut Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan No.56/2016, diganti dengan PerMen Kelautan dan Perikanan No.12/2020 yang dianggapnya sebagai upaya menyejahterakan nelayan kecil (soal benih lobster itu). Sic!
Tak heran jika Ariyo Bimmo menilai bahwa keputusan MA ini pekat berbau muatan politis. Tercermin juga dari pidana tambahan pencabutan hak politik dikurangi dari 3 tahun (putusan banding), menjadi 2 tahun. Bukankah dua tahun lagi ada Pemilu Serentak 2024 (pilpres, pileg dan pilkada)?
Kita juga jadi teringat soal penolakan DPR-RI baru-baru ini yang mengeluarkan RUU Perampasan Aset Tindak Pidana Korupsi dan RUU Pembatasan Transaksi Uang Kartal dari Program Legislasi Nasional (Prolegnas) 2022. Dan DPR itu isinya ya orang-orang dari partai politik.
Maka lagi-lagi, apakah ini terkait dengan selentingan kabar bahwa fulus hasil korupsi itulah yang bakal jadi “semacam mahar” untuk kepentingan logistik parpol? Walau ada parpol yang mengaku sistem perekrutannya tanpa mahar segala.
Lantaran “ulah” hakim MA ini pekat “berbau” politis, maka wajar pulalah jika publik saat ini juga ikut mempertanyakan sikap resmi partai-partai politik lainnya.
Terhadap kasus “pengkhianatan” terhadap semangat anti-korupsi ini apakah parpol-parpol itu masih konsisten dan tidak omdo saja, berjualan slogan anti-korupsi hanya semasa kampanye?
Sementara ini yang sudah jelas adalah sikap politik dari Partai Solidaritas Indonesia (PSI). Walau masih sebagai parpol non-parlemen (DPR-RI), toh ia konsisten dalam kerja politiknya.
Bagaimana dengan parpol lainnya? Setujukah dengan putusan kasasi MA ini? Mana suaranya?
“A corrupt judge does not carefully search for the truth.” – Horace.
11/03/2022
Andre Vincent Wenas, Direktur Eksekutif Lembaga Kajian Strategis (LKS) PERSPEKTIF, Jakarta.