Herry Orang Indonesia

Penulis: Roger “Joy” Paulus Silalahi

Nomor celananya saat kuliah 29, sekarang 34, dan nomor sepatunya 42…!!!

Lahir dari seorang Pekerja Pertambangan Minyak Bumi dan Gas Alam bernama Sulistyo Tresnotiyoso dan seorang Ibu Rumah Tangga bernama Sri Harini, lelaki ini diberi nama Herry Yanto. Lahir di Cepu sebagai anak bungsu dari 7 bersaudara pada 13 Juni 1971, menjalani pendidikan dasar dan menengah pertama di Cepu. Lepas SMP, mau masuk SMA Herry mulai merasa perlu menantang diri sendiri, masuk ke tempat yang lain, ingin mencari pengalaman yang lain, Jakarta pilihannya. Bermodal otak yang pintar dengan bukti Nilai Ebtanas Murni yang cukup tinggi, Herry diterima di SMA Negeri 8 Jakarta. Well done.

-Iklan-

Belajar nampaknya bukan sebuah kegemaran, jiwa petualangnya lebih kuat dan menggelora, sehingga buku tidak terlalu jadi teman, tapi alam menjadi sahabatnya. Mungkin karena terlalu banyak bergaul dengan alam inilah Herry hidup sebagai manusia yang seolah tidak punya emosi negatif, tidak pernah marah, terlalu sabar kalau menurut saya. Tapi pelajaran tidak ditinggalkan juga, dia tetap berhasil mengolah dan mencerna pelajaran di sekolahnya.

Lulus SMA pada tahun 1990, manusia tanpa emosi ini entah tersambat apa, mencoba masuk ke jurusan yang nota bene dekat dengan kekerasan, Kriminologi – Universitas Indonesia, dan masuk. Di sini lah saya berkenalan dan mulai berteman dengan Herry. Sebagai orang super sabar, hampir semua orang menyukai Herry, tutur kata lembut dengan logat Jawa yang kental, membuat semua yang bicara dengan Herry menjadi tenang, nyaman.

Kuliah berjalan 1 semester, mulailah pemahaman dan penilaian mengenai kesesuaian antara harapan dan kenyataan menjadi terang. Herry memutuskan ikut UMPTN lagi, dan berhasil menjerumuskan dirinya ke jurusan Sastra Belanda – Universitas Indonesia, memang pintar anak ini.

Perkuliahan berjalan, dan Herry menjalaninya dengan senang hati. Ikut unit kegiatan Merpati Putih sampai Ban Truk (maaf, saya lupa dia sampai ban apa), yang pasti cukup lama, cukup mendalami, tapi tetap tanpa emosi, super sabar, sehingga semakin digemari semua orang.

Teman-teman dekatnya tidak pernah menganggap Herry sebagai orang, sama seperti saya, semua teman dekatnya menganggap Herry adalah tumbuhan, sejenis bayam, karena tidak pernah marah, selalu lembut, dan sangat gemar menolong orang.

Tercatat sekian banyak perempuan berharap namun terabaikan, karena Herry terlalu pemalu, tidak berani mengambil resiko, apalagi ketika yang datang dinilainya terlalu jauh di atas dirinya secara ekonomi, “Isin aku…”, begitu ujarnya.

Orang yang sangat sederhana, sangat penyabar, tapi jangan salah, soal nyali luar biasa. Tercatat sebuah kejadian, seorang teman Herry mengamuk karena anjing temannya ditakut-takuti dan diarahkan ke tengah jalan Margonda oleh para supir dan kernet PO Deborah, harapannya anjing tertabrak dan mati lalu bisa dimakan.

Ya, anjing tertabrak dan mati, tapi si pemilik, Royan, anak Teknik 1990 melihat kejadiannya, mengangkat mayat anjing itu, Bonny namanya, dan membawanya ke kost teman Herry di seberang Wijaya Motor, Margonda – Depok. Teman ini langsung mengambil pedang yang tersimpan di kost nya, menghampiri PO Deborah dengan amarah besar.

Melihat hal itu, teman berteman saling memberitahu, dan Herry lari mengejar ke arah PO Deborah. Gerbang PO Deborah sudah ditutup dan digembok Satpam, teman Herry berteriak-teriak memaki sambil menantang keluar para supir dan kernet. Pedang diayun dan disabetkan ke pagar PO Deborah. Teman yang lain hanya melihat dengan cemas, tapi Herry dengan ke-Jawa-an yang maksimal menghampiri temannya itu dan berkata; “Jo… Bejo… (demikian dia memanggil temannya), ta’ pinjem pedangnya yo… Ta’ pinjem sebentar saja…”.

Orang Batak yang dipanggilnya Bejo itu entah kenapa menurut, Herry mengambil pedang itu, lalu mengajak Bejo pulang. Tidak takut dia tersambar pedang yang diayun-ayunkan Bejo, sangat tenang.

Di perkuliahan, Herry bukan tidak mampu, tapi terlalu asyik mencari uang, yang tujuan awalnya adalah untuk membiayai kuliahnya, dia tidak mau memberatkan orang tuanya, tapi terlalu asyik, terlalu sibuk, lupa kuliah. Alhasil Herry akhirnya drop out. Drop Out dari Kriminologi UI, drop out dari Sastra Belanda UI (padahal tinggal skripsi).

Apa boleh dikata, nasi sudah jadi bubur, Herry ambil ayam dan kecap, dan menikmati keseluruhannya sebagai sudah jalannya seperti itu, sabar, tenang, bikin gemas teman-temannya.

Sampai sekarang, Herry melanjutkan hidupnya dengan menekuni dunia percetakan, dan membangun sebuah usaha yang dia beri nama “Rumah Tombo”, beroperasi hingga hari ini di Jalan Saminten 6 Nomor 70, Bakti Jaya, Kecamatan Sukamulya, Depok.

Sikap sabar, seolah tanpa emosi, selalu menolong orang lain, tidak materialistis, berjuang untuk bisa kuliah dan hidup dalam kejujuran dan kesederhanaan, mengambil resiko saat memang harus, dengan dasar demi kebaikan, itulah Herry. Satu dari segelintir manusia yang saya kagumi di hidup saya. Sahabat yang selalu menghadapi segala hal dengan kesederhanaan pikir dan penerimaan bahwa segala hal adalah yang terbaik dari Tuhan. Contoh yang sangat baik untuk saya dan untuk banyak orang di sekitarnya.

Terlalu banyak butir Pancasila yang dipenuhi  seonggok makhluk bernama Herry Yanto sebagai pribadi. Terlalu banyak jenis kebaikan yang dilakukannya. Tidak pandang siapa, tidak pandang posisi, tidak pandang materi, tidak pandang suku, tidak pandang agama, semua sama di hadapannya. Semua teman, semua diperlakukan dengan sangat baik. Seandainya semua orang Indonesia seperti Herry, maka Indonesia penuh dengan bayam, maksud saya, penuh dengan damai, sangat Indonesia.

Herry, orang Indonesia… Kamu…?

-Roger Paulus Silalahi-

 

Artikel ini merupakan seri tulisan “Seberapa Indonesia Kamu?”

Baca artikel lainnya:

Kisah Hiero Silalahi, Ikhlas Ketika Tertipu, Tetap Berusaha Keras untuk Kebaikan Sekitar

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here