Hati yang Tertinggal di Anfield

Penulis: Erri Subakti

“Hi Re.., how r u..?”

Tiba-tiba muncul pesan di inbox LinkedIn-ku dari seorang sahabat yang lebih dari setahun ini menghilang bak di telan bumi. Meski sebelumnya ia telah memberitahuku bahwa ia akan pergi selama beberapa waktu.

-Iklan-

Erriana, seorang gadis yang sangat dekat denganku sejak 10 tahun lalu di Bali Writers Festival 2013. Hampir sehari semalam kita seperti tak berhenti saling tukar pikiran di Bali, tak hanya soal penulisan, perbincangan sampai jauh ke politik, drakor vs netflix series, sampai soal agama.

Pertemuan yang rasanya terlalu singkat kala itu.

“Hiii… Rianaa… just fine.. thx.., what about u? where have u been? give me a call or whatsapp sometimes.. need to talk to u.. pls…”

Apakah ini yang disebut kontak bathin? Di saat aku memang sedang galau dan membutuhkan seorang teman untuk berbagi, tiba-tiba seorang sahabat yang telah lama tak bertegur sapa, muncul kembali?

“Aku telah kembali ke kota ini tiga hari yang lalu… Bagaimana kalau kita bertemu sore ini? Aku akan ke tempatmu nanti…” jawab Erriana.

Tanpa menunggu lama aku pun menyetujuinya.

***

“Apa ini?! Kamu menulis fiksi macam drakor ini Re?! Sejak kapan? Fiksi ini jelek.., buruk sekali..!”

Riana mengejekku saat menemukan draft naskah yang mau kukirimkan ke salah satu sutradara untuk dijadikan skenario film.

“Bukan, itu bukan karyaku…,” aku mencoba ngeles. “Mmm… kamu tau kan tentang hal ini sebelumnya? Aku pernah cerita tentang….”

“Ya.. ya.. ya.. aku tau.. tentang si ‘Daun Maple’ itu… biarlah Re… biarkan daun itu terhempas dalam genggaman angin… lepaskanlah… bukankah kamu sendiri pernah bilang bahwa ‘taman yang indah itu bukan berarti tanpa daun berguguran’ kan…”

“Biarkan daun mencari jalannya sendiri.. dan kau tetaplah kokoh bagai pohon yang akarnya kuat mencengkeram bumi…”, ucap Erriana panjang lebar.

Erriana memang selalu begitu. Ia paling benci dengan kisah cinta yang mendayu-dayu.

“Bullshit..!” itu ungkapnya tentang kisah-kisah romansa dalam fiksi. Menurutnya, “Hidup tak seindah drakor!”

“Sebenarnya, banyak yang aku ingin share ke kamu Re. Tentang duniaku….” suara Erriana mulai melunak.

“Akhir-akhir ini aku sering sekali sakit, sering pingsan. Lelah harus selalu ke dokter. Sedih sekali.”

“Jika Tuhan mengizinkanku hidup lebih lama, aku ingin membantu semua orang yang kesulitan. Masih banyak orang yang membutuhkanku. Aku ingin mati tak ada beban…”

Begitu terkejutnya aku dalam kebingungan mendengar kisah Erriana.

Ternyata selama ini dirinya telah menderita kanker otak.

Namun begitu, sejak divonis dokter bahwa hidupnya hanya tinggal sebelas minggu, Erriana justru malah banyak menghabiskan waktu membantu para tunawisma dan terlibat dalam bantuan sosial ke berbagai negara-negara miskin.

Aktivitas-aktivitas sosial dan kemanusiaan itulah yang selama setahun belakangan ini ia lakukan.

Ajaibnya kegiatan-kegiatannya itu malah memperpanjang usianya melampaui vonis dari dokter.

“Saat ini pun sebenarnya aku masih terlalu lemas. Tapi Tuhan masih ingin aku hidup. Aku butuh penyemangat lebih. Temani aku ya Re dalam menjalani kemoteraphy yang harus aku lakukan dalam minggu ini..,” pinta Erriana.

“Hei.. bagaimana jika setelah kita habiskan fettucini buatanku ini, let’s have a walk?” ajakku pada Erriana mencoba mengembalikan senyuman di wajahnya.

“Sure…! I’d love it..!” jawab Erriana antusias.

Temaram lampu jalan seolah saling berlomba untuk menarik hati para pejalan kaki dengan keindahannya. Bintang di langit pun redup hampir tak terlihat kerlipnya dalam abu-abunya malam ini.

“Kamu ingat Re, saat dulu kita bertemu lagi di bus menuju Anfield, Liverpool. Di gerbang Shankly Gate kamu baca puisi buat aku…. hahahaha….,” Erriana menggodaku.

“Astagaaa… kamu masih ingat? Aku aja udah lupa. Puisi apa ya dulu yang kubuat?” aku tengsin.

“Puisi plagiat itu, nyontek lirik lagu Bruno Mars, hahaha…”

“Segila itu ya aku dulu?”

“Kamu kan memang tergila-gila sama aku. Ngaku deh…,” Erriana terus membuatku malu sendiri.

Kita berdua larut dalam canda dan tawa.

Dan aku semakin malu akan diriku sendiri. Betapa aku masih belum seberapa dalam menjalani masalah kehidupanku dibanding Erriana.

Ia yang sesungguhnya dalam kondisi ‘sekarat’ masih bersemangat untuk hidup bahkan menolong, menghibur banyak orang yang membutuhkan.

Sungguh sebuah semangat hidup yang luar biasa dari seseorang yang sedang menunggu kematiannya sendiri.

Malam semakin diam.

Halus Erriana berbisik di telingaku…, “Kembalilah menjadi dirimu sendiri Re, kalau selama ini kamu telah memilih jalan yang salah. Temukan lagi kekuatanmu.”

Aku tak menjawabnya.

“Thank you for this beautiful night you gave me. Terimakasih bisa kenal kamu. Doakan kesehatanku ya… Kamu akan menjadi orang pertama yang akan mendengar kesembuhanku, Re…”

***

31 Mei 2023, Erriana tak menderita sakit lagi.

***

Hidup bukanlah menuju ke ‘belakang.’

Ia mengarah ke depan….

Ya, ada masa-masa dalam hidup ini dimana kita ber-’andai-andai’ kita bisa mengalaminya lagi, re-live….

Tapi jika kita telah mengalami masa-masa itu dengan indah, perfectly…., mengapa kita musti mengalaminya lagi?

Petualangan hidup adalah selalu ada sesuatu yang baru, tantangan baru, pengalaman baru.

Game yang menyenangkan adalah permainan yang semakin lama semakin sulit dan menegangkan.

Begitulah adanya dengan hidup ini…. Segalanya sungguh luar biasa di masa lalu. Sekarang itu semua berakhir, dan menjadi masa yang istimewa dalam hidup. Namun jangan berhenti di satu ‘titik…’ (Erri Subakti)

You’ll Never Walk Alone

When you walk through a stormHold your head up highAnd don’t be afraid of the dark

At the end of a stormThere’s a golden skyAnd the sweet silver song of a lark

Walk on through the windWalk on through the rainFor your dreams be tossed and blown

Walk on, walk onWith hope in your heartAnd you’ll never walk alone

You’ll never walk alone….

(Gerry & The Pacemakers)

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here