Penulis: Ditya
Pagi ini saya mengunjungi suatu perusahaan, minggu lalu sudah janjian sama manajer QC (Quality Control, red.)-nya. Jam 8 ‘tit’ saya sudah masuk ke ruang tunggu, 8.10 dipersilakan masuk ke ruang manajer QC-nya.
Manajernya masih muda, sekitar umur 28 tahunan. Kemudian kami bersapa tanpa menyalam. Namanya Pak Rendra. Setelah kami duduk, cukup lama dia memandang saya. Sempet GR juga sih, wkwkwkwk.
“Ibu mamanya Kennard?” tanya dia dengan hati-hati.
Gantian saya yang kaget, kok dia tahu nama anak saya yang pertama. Wah jangan jangan….
“Betul Pak, saya mama Kennard, maaf kok tahu nama anak saya?” jawab saya juga dengan hati-hati.
“Aduh Bu, ternyata betul. Ibu lupa dengan saya? Saya Rendra, Bu. Anak bungsunya Bu Rokanah. Ibu saya dulu kerja sama ibu, momong Kennard sejak kecil,” katanya dengan ceria.
“Ya ampunnn…, dulu pak Rendra masih SD waktu ibu Rokanah kerja di rumah saya, jadi saya gak tahu lagi wajah Pak Rendra sekarang,” jawab saya sambil menahan haru.
Akhirnya kami sedikit cerita tentang keluarga dan perjalanan dia sampai bisa seperti sekarang.
Ibu Rokanah dulu kerja sama kami cukup lama sekitar 5 tahunan mulai Kennard bayi, momong kennard sampai Kennard masuk playgroup. Karena saya masih kerja sama orang maka Ibu Rokanah menjadi andalan saya untuk menjaga Kennard dan rumah. Sampai kemudian ada kejadian suami Bu Rokanah yang bekerja sebagai tukang bangunan kecelakaan di tempat kerja, akhirnya Bu Rokanah ijin utk berhenti kerja dan fokus merawat suaminya.
Rendra sendiri awalnya hanya lulusan STM Pembangunan di Semarang kemudian kerja serabutan, kemudian dia bekerja di Waskita Karya kurang lebih selama 5 tahun di NTT. Setelah itu melamar sebagai manajer QC di perusahaan PMA besar di Semarang, tempat dia bekerja sekarang.
Ya Allah…, sungguh mau menangis rasanya. Saya begitu salut dengan mereka. Sekalipun dari keluarga yang kekurangan tapi tidak patah semangat untuk maju mengubah nasibnya. Rendra tidak peduli dengan privilese yang dimiliki orang-orang sekitar atau teman-temannya, dia tidak pernah mengeluh, dia bisa membuktikan bahwa dia bisa maju dengan tekad dan kemauan. Saya yakin dia selalu belajar dan ditempa dari setiap liku-liku kehidupan yang dijalani.
Di akhir pertemuan kami, Rendra masih sempat mengucapkan terima kasih atas sedikit bantuan yang kami berikan kepada mereka saat bapaknya jatuh sakit. Saya kaget karena saya sudah lupa semua itu tapi dia masih ingat. Sungguh suatu didikan yang baik dari keluarganya. Selama dalam perjalanan pulang, saya bertanya, “Bisakah saya mendidik anak-anak saya seperti mereka, menjadi anak yang baik dan tidak takut bekerja keras?”
Memang kita bisa saja lahir tanpa privilese bawaan tapi jauh lebih membanggakan kalau dalam perjalanan waktu kita bisa menciptakan privilese kita sendiri. Hidup mengajarkan banyak hal. Kita tidak tahu kelak akan bertemu siapa, kelak ada di mana, bekerja dengan siapa dan siapa yg menolong kita.
Selamat Senin ~
______________
Tulisan ini telah ditayangkan di akun FB penulis. Red.