Penulis: Nurul Azizah
Pada hari Sabtu, 14 Mei 2022 jam 20.00 WIB warga Perum Durenan Asri Meteseh Tembalang Semarang atau warga di sekitar Aula Majelis Sholawat dan dzikir Al-Fadhilah mengadakan acara halal bihalal. Mauidhoh hasanah diisi oleh KH. Dr. Iman Fadhilah, M.Si.
Pada awal mauidhohnya beliau mengatakan bahwa tradisi halal bihalal dicetuskan oleh KH. Abdul Wahab Chasbullah pada tahun 1948 yang melibatkan Presiden RI yang pertama yaitu Ir. Soekarno.
KH. Wahab Chasbullah merupakan ulama pendiri NU (Nahdlatul Ulama) dan Pahlawan Nasional. Pada bulan Ramadhan KH. Wahab Chasbullah dipanggil Ir. Soekarno untuk dimintai saran pada saat negara masih masa revolusi.
Presiden Soekarno resah, pada masa kondisi politik dalam negeri yang tidak kondusif meminta saran kepada KH. Wahab Chasbullah.
Kiai Wahab kemudian menyarankan untuk mengadakan silaturahmi yang disunahkan kepada umat muslim saat hari Raya Idul Fitri.
Presiden Soekarno meminta Kiai Wahab untuk mencari istilah yang tidak kental dengan nuansa politik. Maka Kiai Wahab Chasbullah memberi nama dengan “halal bihalal.”
Yang tujuannya adalah untuk menghalalkan politisi dengan cara duduk di satu meja dan saling memaafkan kesalahan satu sama lain. Tradisi saling memaafkan inilah yang masih terjaga oleh masyarakat Indonesia sampai sekarang.
Tradisi halal bihalal yang dilakukan oleh masyarakat pasca kemerdekaan Indonesia yang baru merdeka hingga sekarang masih dipraktekkan sebagai kegiatan silaturahmi. Baik ke orang tua, tetangga, saudara, poro alim ulama, guru serta sesepuh pinisepuh.
“Halal bihalal ya seperti yang bapak ibu lakukan tadi, yaitu saling bersalaman satu sama lain,” kata pak Iman yang juga Dekan Fakultas Agama Islam Unwahas Semarang.
Ketika sudah saling memaafkan ya jangan ada permusuhan lagi, tidak ada dendam di antara warga masyarakat, saling memberi maaf kalau ada kesalahan dan meminta maaf apabila salah. Jadi langkah kita ringan untuk hidup bermasyarakat, tiada dusta di antara kita, jelas pak Iman.
Acara halal bihalal juga mengacu pada tali persaudaraan atau ukhuwah. Baik ukhuwah wathaniyah, ukhuwah basyariyah dan ukhuwah islamiyah.
Ukhuwah wathaniyah adalah sikap persaudaraan karena satu sama lain merupakan bagian dari bangsa yang satu, yaitu bangsa Indonesia.
Ukhuwah basyariyah adalah persaudaraan karena satu sama lain adalah bagian dari umat manusia, makhluk ciptaan Allah SWT.
Sedangkan ukhuwah islamiyah adalah persaudaraan antar sesama pemeluk agama Islam.
Pak Iman juga memberi contoh keteladanan Kanjeng Nabi Muhammad SAW yang penuh kasih sayang kepada siapapun, termasuk kepada pengemis Yahudi yang buta.
Kisah Kanjeng Nabi menyuapi pengemis Yahudi yang buta. Di sudut pasar Madinah ada pengemis Yahudi buta, hari demi hari kalau ada orang yang mendekatinya, pengemis itu selalu berkata, “Wahai saudaraku jangan dekati Muhammad, dia itu orang gila, dia itu pembohong, dia itu tukang sihir, apabila kalian mendekatinya kalian akan dipengaruhinya.”
Setiap pagi Rosulullah mendatanginya dengan membawa makanan, dan tidak berkata sepatah katapun Rasulullah SAW menyuapi makanan yang dibawakannya. Setiap kali disuapi Kanjeng Nabi, pengemis itu selalu berpesan, agar tidak mendekati orang yang bernama Muhammad.
Rasulullah SAW melakukannya setiap hari hingga menjelang Beliau wafat. Setelah Rasulullah wafat tidak ada lagi orang yang membawakan makanan untuknya.
Suatu hari Abu Bakar RA pergi ke pasar dengan membawa makanan untuk diberikan kepada pengemis. Ketika Abu Bakar mulai menyuapinya, si pengemis marah dan berteriak, “Siapa kamu?” Abu Bakar menjawab, “Aku orang yang biasa,” “Bukan!” “Engkau bukan orang yang biasa mendatangiku. Dia sangat lembut memperlakukanku.”
Abu Bakar RA tidak bisa menahan air matanya, ia menangis sambil berkata pada orang itu. “Aku memang bukan orang yang biasa datang padamu, aku adalah salah satu dari sahabatnya, orang yang mulia itu telah tiada lagi, Beliau sudah wafat, ia adalah Muhammad SAW.”
Setelah pengemis itu mendengar cerita dari Abu Bakar, ia pun menangis dan berkata, “Benarkah demikian? Selama ini aku selalu menghinanya, memfitnahnya, ia tidak pernah memarahiku sedikitpun. Ia membawa makanan setiap pagi, ia begitu mulia. Pengemis Yahudi yang buta itu kemudian bersyahadat di hadapan Abu Bakar RA.”
Dari kisah ini, kita ambil pelajaran bahwa kita harus mencintai sesama makhluk Allah.
Saling memaafkan minimal setahun sekali, bapak kepada ibu, ibu kepada bapak, anak kepada orang tua.
Manfaat dari acara halal bi halal, adalah wujud kasih sayang.
Kasih sayang kepada sesama makhluk, kasih sayang karena cinta pada tanah air, cinta karena sesama pemeluk agama islam.
Yang paling penting memahami sifat kasih sayang, hubungan sesama orang lain kok baik, itu bagian dari amal sholeh.
Falyasir rohimah, sambunglah tali silaturahim. Dengan orang tua, saudara, teman, tetangga, siapa saja. Dengan silaturahmi, Insya Allah akan melancarkan rizki.
Allah SWT menciptakan manusia beragam jenis dan suku bangsa, agar saling mengenal. Ini sesuai dengan firman Allah dalam QS Al-Hujurat ayat 13.
Berbeda-beda dari berbagai suku, agama, jenis kelamin, usia, bahasa dan lain-lain, karena kasih sayang. Dengan saling mengenal maka manusia yang berbeda ini saling mengasihi dan semua dapat dipersatukan.
Sampun sempurna dalam menjalankan ibadah puasa, zakat, dan sholat lima waktu. Kita sudah diberi rejeki oleh Allah SWT, tapi kadang kita kurang bersyukur dan masih iri kepada tetangga kita. Berawal dari iri dengan tetangga, munculah ‘gosip’ yang bisa jadi menimbulkan fitnah. Dari fitnah muncullah permusuhan dengan tetangga, itulah pentingnya halal bi halal. Saling memaafkan satu dengan lainnya. Agama mengajarkan kepada kita pentingnya bersyukur, agama mengajarkan kita pentingnya tali silaturahmi.
Demikian tausiyah dari KH. Dr. Iman Fadhilah yang ditulis ulang oleh penulis.
Nurul Azizah, penulis buku “Muslimat NU di Sarang Wahabi“. Minat, hubungi penulis atau SintesaNews.com 0858-1022-0132.