Habib Ahmad Assegaf Gubug, Guru yang Tinggalkan Kemewahan Dunia, Dekat dengan Masyarakat

Penulis (kiri) bersama Habib Ahmad Assegaf Gubug.

Penulis: Nurul Azizah

Pertama penulis berkunjung ke padepokan Habib Ahmad Assegaf Gubug Grobogan sangatlah terkejut. “Masih bagus rumahku,” gumamku dalam hati.

Padepokan di tepi sawah, dibangun dengan kayu dan bambu yang sangat sederhana. Padepokan yang kecil tanpa terlihat kemewahan sedikitpun. Tetapi ada kedamaian di Padepokan tersebut, setiap habis sholat fardhu pasti dilantunkan bacaan Al-Qur’an oleh para santri-santri beliau, juga tahlil dan kirim doa arwah.

-Iklan-

Penulis dikenalkan kepada Habib Ahmad Assegaf untuk berguru ke beliau oleh saudara-saudara penulis di Gubug yang sudah lama ikut jama’ah di padepokan tersebut.

Penulis (kanan) bersama teman (kiri), di padepokan Habib Ahmad Assegaf.

Penulis berkunjung ke padepokan karena ingin bertemu dengan beliau dan siap menjadi santrinya. Beliau pun menerima dengan senang hati.

Karena Habib Ahmad Assegaf ini ilmunya luas dan luwes, bisa mengobati segala macam penyakit. Terutama penyakit hati, yang semula hidupnya kurang tenang karena baru mendapatkan musibah bisa berobat ke Habib Ahmad atau Aby Ahmad panggilan akrabnya. Dengan mahar seikhlasnya, kalau tidak punya uang ya bawa yang dimiliki pasien, apakah itu buah, beras, atau sembako. Tidak membawa juga tidak apa-apa. Tapi ingat Habib Ahmad Assegaf ini tahu isi hati pasiennya. Kalau pasien sedang berbohong pasti ketahuan. Karena apapun penyakitnya yang akan diobati adalah hatinya dulu. Ikhlas dan sabar, mendekatkan diri pada Allah, inilah cara Habib Ahmad mengobati pasiennya.

Walau dia seorang Habib tapi tidak mau dipanggil Habib, malah lebih suka dipanggil Aby Ahmad. Karena hampir semua santrinya panggil Aby, penulis pun ikutan panggil Aby Ahmad.

Beliau sering memberikan amalan-amalan kepada penulis, agar hati ini ikhlas dan sabar atas semua takdir yang sudah digariskan oleh Allah SWT. Misalnya penulis disuruh puasa tiga hari berturut-turut, membaca QS Al-Fatihah tiga hari berturut-turut sebanyak 313 kali setiap harinya. Bahkan yang terbaru satu bulan sebelum perayaan Hari Raya Idul Adha, penulis dikasih ijazah suruh membaca QS Al-Fatihah sebanyak 313X selama 41 hari. Hal ini untuk memberikan ketenangan hati dan minta rejeki dari Allah SWT.

Setiap penulis berkunjung ke Aby Ahmad Assegaf Gubug Grobogan dapat dipastikan, penulis suruh mampir kholwat (menyendiri dan jauh dari pandangan orang lain) ke makam Simbah Munadi. Atau menarik diri dari keramaian dan menyepi untuk mendekatkan diri kepada Allah SWT.

Penulis berkholwat di makam Simbah Munadi

Saat kholwat dibarengi dengan membaca QS Yasin sebanyak 3X dan bacaan QS Al-Ikhlas sebanyak-banyaknya sambil menunggu datangnya sholat fardhu Magrib di komplek makam Simbah KH. Abdurrahman Munadi (Mbah Munadi) Desa Polaman Jati Pecaron Gubug Grobogan Jawa Tengah.

Menurut cerita dari warga sekitar makam dan dokumen yang ada di area makam. Simbah Munadi lahir di Dukuh Polaman Desa Jati Pecaron Gubug Grobogan, Mbah Munadi lahir pada tahun 1805 M atau 1220 H. Beliau putra dari Kiai Arifin bin Kiai Muttaqin bin Kiai Khomsah Baturagung bin Kiai Sihnun Selojari Klambu Kabupaten Grobogan bin Kiai Asyifak bin Kiai Hasan Besari Tegalsari Ponorogo Jawa Timur.

Konon menurut cerita Dukuh Polaman disematkan oleh Kakek saudarnya Mbah Munadi yaitu Mbah Imam Biyoro seorang Kiai dari Kediri Jawa Timur yang saat itu dikejar oleh pasukan Belanda dan bersembunyi di daerah Polaman yaitu dari kata pol dan aman, artinya aman sekali.

Dalam suatu kisah di Kecamatan Gubug terjadi pagebluk (wabah penyakit), sore sakit paginya meninggal, pagi sakit sore meninggal. Kemudian Bapak Hadiprojo Wedana Gubug (pembantu Bupati yang membawahi beberapa kecamatan) meminta barokah doa kepada Simbah Munadi. Simbah mau mendoakan tapi dengan syarat Wedono dan masyarakat Gubug harus taat kepada Allah SWT. Dengan mengadakan selamatan dengan membuat kue onde-onde dan kue lapis warna merah putih.

Simbah Munadi berkata, “Kalau masyarakat Jawa bisa bersatu seperti wijen yang nempel di onde-onde maka akan menjadi kue lapis.” Artinya kalau masyarakat Jawa mau bersatu dalam suatu wadah (organisasi) maka persatuan akan merekat kuat satu dengan lainya seperti lapis, di bawah naungan bendera merah putih.

Tidak dijelaskan apa makna wijen di onde-onde dan kue lapis merah putih. Setelah masyarakat mengadakan selamatan dengan membawa kue tersebut, maka wabah penyakit itu hilang dan Wedana dan masyarakat Gubug berterima kasih kepada Simbah Munadi.

Demikian juga guru Aby Ahmad Assegaf asalnya dari Kauman Semarang, yang saat itu sedang sakit berat dirawat di Rumah Sakit sampai satu bulan lebih. Begitu sembuh beliau langsung meninggalkan gemerlap dunia dan berkholwat di makam Simbah Munadi di Polaman.

Kemudian Aby Ahmad Assegaf bersama masyarakat Gubug mendirikan padepokan di area dekat persawahan.

Ketika penulis tanya mengapa Aby Ahmad membangun padepokan di area dekat persawahan. Beliau menjawab, “Saya meniru Nabi Nuh membangun kapal untuk menyelamatkan kaumnya yang beriman, agar terhindar dari malapetaka dan musibah yang akan menimpa seseorang atau masyarakat.”

Menurut Habib kelahiran tahun 1957, dunia ini sudah mendekati ambang kehancuran, siapa yang mau berserah diri kepada Allah dengan memperbanyak ibadah, membaca Al-Qur’an, berdzikir kepada Allah dan bersholawat atas Nabi Muhammad SAW maka ia akan selamat hidup di dunia dan akhirat.”

Penulis bersyukur kepada Allah SWT, di ujung usia yang sudah tidak muda lagi, dipertemukan dengan beberapa guru, diantara guru Habib Ahmad Assegaf dari Semarang yang saat ini dan seterusnya menetap di Gubug dekat makamnya Simbah Munadi Polaman.

Untuk urusan penyakit hati dan kedekatan dengan Allah dan Rasulnya ada guru Aby Ahmad Assegaf, untuk ke NU-an dan ulama-ulama Nusantara dan segala macam tipu daya dan hoax yang mengancam NU dan NKRI juga ada gurunya yaitu santri-santrinya Gus Dur.

Guru fikih, kitab Nashoihul Ibad, ibadah sehari-hari yaitu KH. Iman Fadhilah, M.Si serta guru-guru yang lain.

Semoga ilmu yang penulis peroleh dari guru-guru, baik guru ngaji, guru dari santrinya Gus Dur dan dari para Ulama serta dari para Habaib khususnya Habib Ahmad Assegaf Gubug bisa penulis tularkan kepada masyarakat umum, baik lewat kegiatan rutinitas sehari-hari atau lewat torehan tulisan di beberapa media sosial.

Wallahu a’lam bishawab.

Nurul Azizah penulis buku “Muslimat NU di Sarang Wahabi”, (2023), dan “Muslimat NU Militan untuk NKRI”, (2021).

Buku-buku karya Nurul Azizah.

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here