Penulis: Nurul Azizah
Seperti biasa kalau tulisan sudah di-publish ke SintesaNews.com, kemudian link penulis share ke beberapa group medsos dan teman-teman seperjuangan termasuk ke kiai-kiai NU beserta ibu-ibu nyai Fatayat Muslimatnya.
Ketika tulisan tentang statement Gus Yahya, “NU tidak boleh jadi alat politik PKB, dan warga NU tidak wajib memilih PKB, penulis share ke beberapa kiai NU, ada berbagai reaksi. Diantaranya ada yang dibaca doang, ada yang membalas singkat, malah ada yang sudah terkirim tapi belum dibaca. Ya, wajarlah kiai-kiai NU banyak kesibukan di dunia nyata.
Baca: Gus Yahya: NU Tidak Boleh Jadi Alat Politik PKB, Warga NU Tidak Wajib memilih PKB
Penulis salut dengan KH. Amin Budi Harjono pimpinan Pondok Pesantren (Ponpes) Al Islah Kota Semarang juga pelestari tari sufi, beliau langsung merespon tulisan tersebut.
Beliau japri ke penulis, “Apik nuw” kemudian beliau menelpon ke penulis, karena penulis lagi ada di belakang, jadi tidak terdengar dering telpon. Kemudian penulis japri ke beliau, “Wonten duko punopo kiai?”
Karena beliau lagi online penulis pun gantian menelpon beliau.
“Assalamualaikum kiai, kulo Nurul siap didukani (dimarahi) kiai, kalau ada tulisan saya yang keliru.”
“Apik,” jawabnya singkat. Kemudian beliau berkata, “Keras.”
“Maksudnya nopo kiai?” tanyaku.
“Itu lho Gus Yahya, pernyataannya terlalu keras.” Gus Yahya seharusnya tidak usah terlalu keras merespon ulahnya Cak Imin. Memang disengaja Cak Imin berulah seperti anak kecil yang lagi NUakal.
“Jadi Cak Imin niku sengaja memancing PBNU njeh,” tanyaku.
“Iyo, Gus Yahya jangan sampai kebawa emosi,” sahut Kiai Budi.
“Kalau direspon terlalu keras takutnya nanti ada permusuhan diantara pendukung Cak Imin dengan pendukungnya Gus Yahya, Ketua PBNU.”
“Takutnya jadi salah faham dan fanatisme, kemudian berubah menjadi saling hantam, berselisih antara saudara sesama NU, takutnya lagi akan terjadi pertumpahan darah karena beda pilihan dan beda pendapat antara warga NU yang suka PKB nya Cak Imin dan warga NU yang tegak lurus dengan PBNU,” jelas kiai penulis buku kumpulan puisi ‘Pusaran Cinta.’
Apa yang disampaikan Gus Yahya ternyata banyak yang mengaitkan dengan polah tingkah Ketum PKB, Cak Imin. PKBnya Cak Imin ingin berkolaborasi dengan PKS. Aksinya yang berusaha meraih perhatian dan simpati dari warga NU serta kader-kader PKS membuat gerah Gus Yahya. Sehingga akhirnya Gus Yahya membuat pernyataan: NU tidak boleh jadi alat politik PKB, warga NU bebas dari kepentingan politik identitas.
“Semuanya, untuk semua partai. Jadi NU tidak atau enggak boleh digunakan sebagai senjata untuk kompetisi politik. Karena kalau kami biarkan akan terus begini,” Kata Gus Yahya saat pidato pada acara di kantor NU Kabupaten Kediri (6/3/2022).
Masih menurut Kiai Budi panggilan KH. Budi Harjono, Cak Imin berpolah kayak gitu karena dia punya uang. Apalagi Cak Imin pengen ikut capres, tentunya sudah tersedia dana.
“Ketegangan mereka akan merugikan NU sendiri, ayolah kembali ke khittah NU, jangan sampai kasus PPP terulang lagi,” kata Kiai Budi.
Penulis teringat dalam tubuh Partai Persatuan Pembangunan (PPP) selalu mengalami ujian. Dimana kiai-kiai yang berkecimpung di dunia politik memiliki perbedaan cara pandang dalam berpolitik. Kiai boleh beda pendapat, tapi jangan sampai menjadi pertumpahan darah, apalagi sesama umat islam. PPP pernah mendapatkan posisi terhormat, sehingga warga NU menerima kehormatan untuk menempatkan kader terbaiknya Hamzah Haz sebagai Wapres RI.
Meski demikian, PPP juga pernah mengalami masa surut dengan berbagai dinamika sehingga memunculkan wacana untuk membentuk PPP Reformasi. Dualisme kepemimpinan PPP yaitu PPP kubu Romahurmuzy (Romi) yang diakui KPU dan PPP kubu Djan Faridz versi muktamar PPP di Jakarta.
Belajar dari kejadian dualisme kepemimpinan di tubuh PPP, seharusnya para petinggi NU baik yang ada di PBNU, maupun yang ada di PKB bersatu mengakiri perselisihan agar warga NU tetep adem tanpa adanya gonthok-gonthokan (bermusuhan).
Warga NU seharusnya cerdas, karena di NU beda pendapat itu hal yang biasa. Perbedaan pendapat itu sudah dimulai saat Hadratus Syekh Hasyim Asy’ari pendiri dan Rais Akbar NU, dengan KH. Faqih Mas Kumambang yang merupakan wakilnya, sudah sangat populer di kalangan kiai. Namun kedua kiai besar NU tetap santun dan saling menghormati.
Demikian pula perbedaan pendapat antara KH. Wahab Chasbullah dengan KH. Bisri Syansuri juga menjadi legenda di kalangan NU. Pernah juga dialami oleh Gus Dur juga sempat berpolemik beda argumen di media massa dengan adiknya Gus Sholah, tapi mereka tetap rukun sebagai saudara dan teman berdiskusi.
Mereka biasa beda pendapat saat berdiskusi, tetapi beliau-beliau melakukan diskusi dengan sopan, hormat, dan fokus pada persoalan yang dihadapi, tidak menyerang fisik atau individu kiai.
Ayo warga NU bersikap dingin, santai saja, perbedaan itu merupakan Sunnatullah, yang harus dihadapi dengan kepala dingin tanpa ada permusuhan.
Gus Yahya dan Cak Imin sama-sama kader NU, sama-sama putra kiai-kiai khos NU. Boleh kita memihak diantara mereka, tetapi tetep dingin kepalanya. Jangan sampai ngegas bahkan adu jotos. Kembalilah ke khittah NU.
“Mbak Nurul, saya pesan agar semua Nahdliyin kembali lagi ke khittah NU,” ujar kiai yang aktif di teater Wadas.
Monggo sederek NU kembali lagi ke khittah NU, yaitu kita kembali ke garis perjuangan NU dan secara normatif didefinisikan sebagai pedoman berfikir, bersikap, dan berprilaku bagi warga Nahdliyin di dalam berkhidmat di segala aspeknya.
Nahdlatul Ulama (NU) sebagai organisasi Islam memiliki khittah untuk dapat menuntun umat kepada kebaikan. Khittah NU berisi antara lain pedoman tentang dakwah, pendidikan, dan peraturan perundang-undangan.
Untuk mewujudkan khittah tersebut perlu diambil langkah-langkah yang strategis menurut pandangan para kiai yang terjun ke dunia politik. Langkah-langkah untuk mewujudkan khittah NU namanya khutwah.
Khutwah berupa langkah-langkah yang dinamis sesuai dengan situasi, lingkungan dan kondisi yang dihadapi. Baik khutwah dan khittah memiliki tujuan untuk kemaslahatan masyarakat terutama warga Nahdliyin.
Khittah NU itu permanen, sedangkan khutwah adalah perubahan-perubahan yang tidak keluar dari garis khittah.
Nurul Azizah, Penulis buku “Muslimat NU, di Sarang Wahabi“, minat hub. penulis 0851-0388-3445 atau SintesaNews.com 0858-1022-0132.
Baca juga:
Gus Yahya: NU Tidak Boleh Jadi Alat Politik PKB, Warga NU Tidak Wajib memilih PKB