Gus Dur: Di MUI Tidak Ada Orang Pintar

Penulis: Nurul Azizah

Gus Dur itu waliyullah apa yang beliau ucapkan akan terbukti dengan sendirinya. Kata-kata Gus Dur untuk mengingatkan umat manusia, khususnya mengingatkan masyarakat Indonesia. Kata-katanya penuh makna, biasanya yang berhubungan dengan agama atau pun tentang negara. Sampai saat ini kata-kata Gus Dur masih sering diingat dan dikenang dalam hati masyarakat Indonesia.

Pada catatan akhir tahun (30/12/2007) di Hotel Santika, jalan KS Tubun, Jakarta, mantan presiden Abdurrahman Wahid alias Gus Dur menyampaikan orasi yang menyinggung keberadaan MUI. Kegiatan dihadiri berbagai tokoh lintas disiplin itu mendiskusikan kondisi Indonesia pada akhir tahun 2007 seperti sektor politik, ekononomi, dan kebebasan beragama.

-Iklan-

Di MUI seharusnya para ulama berdiskusi, bermusyawarah membuat aturan yang bisa diakses oleh masyarakat umum dalam membuat fatwa halal, agar masyarakat tidak lagi was-was saat mengkonsumsi suatu produk. Tapi yang ada sebagian anggota MUI malah bersikap intoleran, dan radikal.

Tugas sepenuhnya sebagai LSM belum terlaksana dengan baik.

Pada catatan akhir tahun 2007 Gus Dur memberikan kritik ke MUI. Wadahnya bernama Majelis Ulama Indonesia, tetapi di dalam MUI muncul ulama-ulama yang fundamentalis dan radikalisme.

“Munculnya fundamentalisme atau radikalisme ini diakibatkan oleh MUI sendiri yang mengatakan ajaran agama harus dilindungi,” jelas Gus Dur.

Pada kesempatan yang lain, beliau mengatakan, “Di organisasi MUI tidak ada orang pintar.”

Para anggota MUI belum bisa bekerja sesuai dengan tupoksi (tugas pokok dan fungsi) masing-masing. Inilah maksud dari perkataan Gus Dur, kalau di MUI tidak ada orang pintar.

Di sini letak para pengurus dan anggota MUI yang awalnya bertugas membuat fatwa halal malah disalahgunakan oleh oknum anggota yang intoleran dan radikal. Oknum ini berdalih melindungi ajaran agama. Ajaran agama yang bagaimana?

Ingat ini di Indonesia, penduduknya tidak hanya beragama Islam saja. Tidak hanya pemeluk dari 6 agama yang diakui tetapi ada yang masih menganut aliran kepercayaan.

Terus apa yang diperbuat MUI selain membuat stempel halal pada suatu produk. Inilah yang dimaksud oleh Gus Dur, “Di MUI tidak ada orang pintar.”

Malah terkadang MUI membingungkan masyarakat, seharusnya tugasnya membuat fatwa tetapi terkadang membuat lebel “sesat” pada suatu aliran kepercayaan.

Pemerintah dalam hal ini pihak yang terkait, harus hadir untuk mengaudit kinerja MUI, terutama laporan keuangan. Dalam aturan yang dibuat oleh MUI dapat dijelaskan, untuk biaya sertifikasi produk halal di BPJPH sekitar Rp 300.000,- sampai dengan Rp 5.000.000. Biaya tersebut diantaranya adalah untuk sertifikasi halal proses reguler, perpanjangan sertifikat halal, penambahan varian atau jenis produk, serta sertifikasi halal untuk luar negeri.

Untuk mendapatkan lebel “halal” prosedurnya bagaimana? Sertifikat halal masa berlakunya berapa tahun, dan lain-lain. Semua itu perlu dikaji ulang atau tidak. Dalam satu tahun berapa pemasukannya, biaya operasionalnya apa saja. Laba yang diperoleh untuk apa? Ini perlu diaudit oleh akuntan publik. Sehingga nantinya dapat diperoleh laporan keuangan yang akurat. Baik laporan rugi laba, laporan perubahan modal, neraca dan laporan arus kas. Apakah ini sudah dilakukan oleh MUI, kalau belum, berarti kata-kata Gus Dur terbukti lagi.

Laporan keuangan di MUI sangat penting di-publish ke masyarakat, agar masyarakat tahu, laba yang diperoleh dari usaha membuat fatwa halal bisa dipahami masyarakat.

Seakan-akan MUI itu lembaga yang kelas wahid, kebal hukum, tidak ada yang berani menjamah dan mengkritik MUI. Karena keanggotaan MUI adalah ulama, tidak ada yang berani menentang, begitu menentang ulama hukumnya dosa, kualat tidak masuk surga dan lain-lain dalih agama.

Masih menurut Gus Dur pada akhir 2007, apa MUI sudah lupa kalau Indonesia bukan negara Islam? Indonesia adalah negara nasional. “Jadi bubarkan MUI, dia bukan satu-satunya lembaga kok, masih banyak lembaga lain seperti NU, Muhammadiyah. Jadi jangan gegabah keluarkan pendapat,” cetusnya.

Apakah fatwa-fatwa MUI itu benar-benar dilaksanakan oleh masyarakat. Contohnya pada bulan Juni 2017, MUI pernah mengeluarkan fatwa halal-haram dan panduan bermedia sosial. MUI melabelkannya dengan fatwa Medsosiah.

MUI yang digawangi oleh KH. Ma’ruf Amin, belum totalitas bekerja. Medsos menurutnya, sudah banyak dibanjiri berita bohong, adu domba, pornografi, kebencian dan permusuhan.

Label halal haram bermedsos apakah benar-benar disosialisasikan oleh MUI kepada masyarakat pengguna medsos. Kok tidak ada gaungnya kinerja MUI. Hanya menyampaikan fatwa saja, tetapi tidak memberi solusi kepada masyarakat. Memberikan problem solving, solusi bagaimana bermedsos yang baik dan bermanfaat kepada masyarakat.

MUI seakan-akan jauh dari masyarakat, sebagai LSM yang ekslusif. Tidak ada yang berani campur tangan urusan MUI.

Sampai pada akhirnya ada anggota MUI yang ditangkap oleh Densus 88 antiteror di Bekasi, Jawa Barat pada tanggal 16 November 2021. Tiga orang yang diduga terlibat dalam jaringan terorisme itu salah satunya merupakan pengurus MUI pusat.

Ketiganya yakni Ustad Ahmad Farid Okbah, Ustad Anung Al-Hamad dan ustad Zain An-Najah. Nama terakhir disebut sebagai anggota Fatwa Majelis Ulama Indonesia.

Densus 88 antiteror tidak bisa bekerja sendirian. Untuk itu Densus 88 meminta masyarakat ikut berpartisipasi mencegah aksi-aksi para pelaku teroris.

Saat ini baru ramai netizen 62 menyuarakan hashtag #bubarkanMUI. Karena rakyat Indonesia tidak mau, lembaga yang anggotanya para ulama malah menjadi teroris.

MUI dari singkatannya saja Majelis Ulama Indonesia, mengapa oknum ulamanya tidak bisa memberi contoh kepada masyarakat. Predikat ulama sangatlah berat. Ulama seharusnya memiliki sanad keilmuan yang jelas melalui para guru yang terhubung langsung dengan Rasulullah tanpa putus.

Terus akan dibawa ke mana MUI ke depannya kalau di dalam MUI sendiri ada oknum ulama yang intoleran, radikal dan bahkan menjadi teroris. Terus dari mana biaya untuk kegiatan-kegiatan teroris yang dilakukan di Indonesia.

Yang lebih parah lagi Wakil Ketua Dewan Pimpinan MUI periode 2020-2025 Dr. H Anwar Abbas Kader dari Muhammadiyah malah bersuara sumbang. Anwar Abbas sebut, “Kalau MUI dibubarkan, Indonesia juga!”

Mengetahui pernyataan Anwar Abbas warganet 62 geram, mereka rakyat Indonesia tidak terima. Saat ini Anwar Abbas dibanjiri ‘serangan’ dari netizen 62 hingga trending di twitter.

“Seandainya atas dasar itu mereka minta MUI dibubarkan, maka saya meminta supaya Republik Indonesia dibubarkan. Atas dasar apa? Karena Jamaah Islamiah (JI) adalah rakyat Indonesia juga,” imbuh Anwar Abbas.

Aduh saya tidak bisa berkata-kata lagi terhadap statement Anwar Abbas Waketum MUI itu, ingatan saya hanya teringat dengan kata-kata Gus Dur, “Di MUI tidak ada orang pintar.”

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here