SintesaNews.com – Tanggal 5-7 November Gerakan Pemuda Marhaenis (GPM) melaksanakan hajatan organisasi bertajuk Kongres Persatuan dan Kesatuan Kebangkitan Kaum Marhaenis Indonesia. Agenda utamanya memilih Ketua Umum beserta jajaran kepengurusan DPP. Sebanyak 34 DPD (propinsi) dan 125 DPC (kota/kabupaten) hadir di acara yang rencananya digelar di Istana Tampaksiring Bali.
GPM di bawah kepemimpinan Heri Satmoko dalam beberapa pemberitaan media menyimpan banyak persoalan internal, utamanya terkait legalitas hukum organisasi. Akta notaris sebagai dasar hukum organisasi disinyalir hasil dari manipulasi akta notaris sebelumnya yang sengaja dihapus.
Dari penelusuran beberapa kader dan pengurus GPM dengan mendatangi 2 orang notaris, Nisa Rahmasari SH yang mengesahkan akte pertama dan Sasmito Raharjo SH yang menanda tangani akte kedua, didapat fakta yang cukup mengejutkan.
Nisa Rahmasari menyatakan pernah menolak perubahan akta yang diajukan Heri Satmoko dan 8 orang lainnya yang sebagian besar para Dewan Pembina dan Penasihat GPM. Penolakan didasarkan isi akta yang tertera, bahwa untuk merubah akta diwajibkan sebagian besar penanda tangan akta sepakat dan hadir.
Di tempat notaris Sasmito Raharjo didapat keterangan bahwa Heri Satmoko benar telah mengajukan perubahan akta yang dikeluarkan oleh notaris Nisa Rahmasari. Syarat mutlak perubahan akta Nisa Rahmasari yang mewajibkan sebagian besar penanda tangan akte hadir dihilangkan oleh Heri Satmoko. Hasilnya akte yang dikeluarkan oleh Sasmito Raharjo tinggal menyisakan 3 orang penanda tangan yaitu Didik Supandri, Soenartiyono dan Heri Satmoko sendiri. Ke enam orang lainnya yang merupakan nama nama deklarator kebangkitan GPM dan juga jajaran Dewan Pembina dihilangkan.
“Saya akan tuntut di jalur hukum Heri Satmoko, Didik Supandri dan Soenartiyono yang sengaja memanipulasi akta baru,” tegas Williem M Tutuarima selaku Ketua Dewan Pembina dalam keterangan via telepon.
“Apapun keputusan dan hasil Kongres GPM di Bali cacat hukum. Karena menggunakan akta palsu. Kita akan meminta Kemenkumham untuk membatalkan SK GPM yang diajukan oleh Heri Satmoko,” lanjutnya.
Perseteruan antara Dewan Pembina dan Deklarator GPM dengan Heri Satmoko diprediksi akan semakin memanas usai Konggres di Bali. Kongres yang seharusnya menjadi momentum pemersatu kaum Marhaenis di Indonesia justru terjadi sebaliknya.
Reportase: Dahono Prasetyo
Baca juga:
Gerakan Pemuda Marhaenis Kelabakan Paksakan Kongres di Bali, Ada Siapa di Belakangnya